PuloTravels #86: Trip Jelajah Pulau Sumatera [2] – Menuju Bengkulu Melalui Jalur Sekayu

36D5A1A5-8A4F-4B7F-94B1-C5F601950032.png

Semester pertama pendidikan spesialis yang sangat berat telah kami lewati dengan sempurna, kini pada awal 2012 tibalah kami pada semester yang ditunggu-tunggu karena akan berangkat ke Bengkulu. Kami akan dikirim ke Negeri Putri Gading Cempaka selama sepuluh minggu, bertugas di Rumah Sakit Muhammad Yunus, di bawah supervisi dokter-dokter spesialis penyakit dalam di sana.

Sangat ditunggu-tunggu karena kami akan terbebas (sementara) dari belenggu para senior, dari jadwal jaga yang sangat padat, dari tugas-tugas yang seakan tak kunjung habisnya, juga dari rutinitas wajib main bola tiap hari minggu. Ya, di Bengkulu kami bisa lebih leluasa mengatur waktu. Bahkan kami dapat mengunjungi InulVista untuk menyanyikan beberapa lagu. Bayangkan, sangat indah dan melegakan. Juga dapat mengunjungi Pantai Panjang, Fort Malborough, Rumah Pengasingan Soekarno dan lokasi-lokasi wisata lainnya, serta menyicipi aneka kuliner di Bumi Raflesia.

Ah, saya membayangkan betapa enaknya di sana. Walaupun saya belum pernah menginjakkan kaki di Bengkulu, tapi saya sudah mendengar cerita dari senior-senior yang telah bertugas di sana. Mereka bilang, tugas di Bengkulu seperti sedang liburan saja. Saya semakin tergoda dan ingin cepat-cepat tiba di sana.

Kami harap-harap cemas menunggu jadwal siapa yang akan berangkat berikutnya, sebab jumlah angkatan kami sepuluh orang. Sementara dua teman kami telah berangkat kloter pertama dan akan segera kembali. Kini giliran dua orang lagi berangkat menggantikan dua teman saya tadi.

1B6E5CEF-8FF5-4F4C-9D13-3FB64384488F.jpeg
Lima diantara kami: Saya, Afif, Edi (duduk), Suhaila, Ari (berdiri)

F6E2BCDA-DAD5-4138-829A-79D00FEE98E3.jpeg
Komposisi 9 orang minus Ade Rina, saat buka puasa bersama

Dua hari menjelang keberangkatan kloter berikutnya, keluarlah pengumuman: yang bertugas ke Bengkulu adalah dr. Edi Hidayat dan saya! Betapa senangnya saya, sebuah kebetulan yang tak disangka-sangka. Saya berangkat bersama dr. Edi, yang juga sahabat dekat saya karena sama-sama berasal dari Aceh!

Kami segera menyusun agenda keberangkatan karena kami akan pergi ke sana dengan mobil pribadi, mobil saya: Mitshubishi Lancer Evo IV keluaran tahun 2002. Praktis, usianya pada tahun 2012 sepuluh tahun, cukup tua memang, tetapi masih terawat baik dan nyaman dikendarai. Sebelum berangkat, mobil sudah saya servis, ganti ban dan ganti oli. Pokoknya mobil siap dan berada di pihak kami.

868986A8-DC66-44ED-8FEB-C09CD04C63E9.jpeg

27212932-CCD5-4798-AA6A-08043AF2B9F0.jpeg

Sebelumnya kami sudah tanya-tanya sama senior, jalur mana sebaiknya kami tempuh menuju Bengkulu. Karena kami belum pernah ke sana, inilah pengalaman pertama sehingga sangatlah panasaran dengan petualangan ini. Kami menggambarkan peta manual pada secarik kertas sesuai arahan senior, tapi juga menyesuaikannya dengan google map. Jalur yang dianjurkan tersebut adalah lintasan Sekayu. Jalur ini terhitung lebih dekat ketimbang jalur satunya lagi (jalur yang ini akan saya ceritakan pada postingan lainnya).

Melintasi Jalur Sekayu
Minggu sekitar pukul 10 pagi di awal Februari 2012, dengan gembira kami tancap gas menuju Bengkulu. Kami bersenandung, senang sekali, membayangkan liburan, bebas dari belenggu senior, oh asyiknya.

Kami melaju sepanjang jalan Lintas Timur Palembang-Jambi. Kondisi jalan cukup baik, walaupun di beberapa titik, jalan berlubang Lalu lintas cukup padat, banyak truk lewat. Kami menikmatinya sambil menikmati pemandangan sekitar, perkampungan penduduk dan kebun-kebun karet. Sekira satu jam perjalanan, tibalah kami di Betung. Nah, sesuai dengan peta manual dan google map, di Betung ini adalah persimpangan menuju Jambi dan Sekayu.

Ambil jalur lurus arah kanan, akan membawa kita ke Jambi. Belok kiri, memasuki badan jalan lebih kecil dan lebih buruk, adalah jalur sekayu. Inilah jalur yang akan kami lalui. Kami harus tiba di Sekayu, sebuah kecamatan yang menjadi ibukota Kabupaten Musi Banyuasin. Namun, sebelum menjajal jalan buruk tersebut, kami santap siang dulu di Restoran Sederhana, yang lokasinya pas di seberang titik pertigaan ini.

Setelah makan siang, segera kami memasuki jalan menuju Sekayu tersebut. Dalam perjalanan kami banyak menjumpai aspal yang rusak, lobang di sana-sini, berbatu, yah, bisa dibilang jalannya compang-camping. Saya tidak tahu bagaimana kondisi jalan tersebut sekarang (2018), semoga telah diperbaiki dan nyaman dilalui.

Saya begitu kuatir, sebab kami tidak tahu bagaimana medan di depan. Saya takut terjadi sesuatu dengan mobil, karena memakai velg racing. Yang membuat mobil agak lebih rendah ground clearance-nya. Kami terus melaju, lebih 30 menit perjalanan, kondisi jalan belum membaik. Hingga akhirnya kami memasuki kota Sekayu, barulah kondisi jalan mulus dan enteng dilalui Lancer Evo IV kami.

Saya terus saja membalap Lancer kami, memasuki jalan raya Sekayu-Lubuk Linggau. Kondisi jalan lumayan baik. Tapi satu hal yang menyeramkan: Suasana lalu lintas sangat sepi dan di kiri kanan jalan dipenuhi kebun karet, sawit, dan duku. Kadang diselingi oleh semak belukar dan hutan.

E0A5F6A0-02E8-4F15-877E-CC879A92A6F8.png

Tidak ada satu pun SPBU sepanjang jalan ini, untung saja bensin sudah saya isi full sejak dari Palembang. Kami was-was sekaligus tertantang.

Tiba di Lubuk Linggau
Kami bersyukur, akhirnya tiba di Lubuk Linggau dengan selamat, setelah melewati Muara Kelingi. Terhitung lebih kurang enam jam sudah perjalanan kami sejak dari Palembag. Kami rehat sejenak di kota ini. Lubuk Linggau, masih termasuk wilayah Sumetara Selatan dan merupakan kota perbatasan dengan Provinsi Bengkulu. Kota ini bentuknya memanjang. Sekitar tujuh kilometer deretan pertokoan berjejer di kiri dan kanan.

Setelah mengisi full bensin di SPBU, kami melaju menuju Curup. Jalan ke ibukota Rejang Lebong, salah satu kabupaten di Bengkulu ini sempit, berkelok dan mananjak. Jalan ini merupakan jalan utama ke Provinsi Bengkulu. Lalu lintas jalan ini relatif sepi, sebab Bengkulu bukanlah daerah perlintasan yang banyak dilalui kendaraan.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suguhan pemandangan di depan, kiri dan kanan kami. Sangat indah, semburat matahari sore menciptakan banyak warna di sekeliling kami. Beberapa saat sebelum sampai di Kota Curup, kami betul-betul tercengang dengan alam sekitar, seolah berada dalam mimpi. Kebun kopi, tanaman sayur mayur, holtikultura berhampar luas, sejauh mata memandang. Bukit-bukit tampak biru kehijauan di kejauhan sana, semburat orange jingga sang surya merubah komposisi alam bagaikan lukisan. Kondisi jalan pun semakin mulus, tanpa sadar saya memelankan laju mobil, lalu menyesap segala keindahan yang tersaji. Amazing! Anda harus datang ke sini, sahabat steemian. Dijamin akan akan terkenang sepanjang masa.

Suasana alam sangat sejuk, kabut juga tampak turun menutupi permukaan, wow! Permukaan sebuah danau! Terletak sangat dekat dengan jalan raya yang kami lalui. Di bagian terjauh danau, tampak bukit-bukit menawan, yang di sekitarnya ditanami sayur-sayuran, tampak hijau rupawan. Sampai di sini, seolah rasa lelah hilang begitu saja. Kami tidak mau terlena, apalagi tergoda, sebab perjalanan masih sangat jauh. Saya tancap gas lagi.

Beberapa saat kemudian, kami melihat kios-kios penjual buah-buahan berjejer sepanjang jalan. Mereka menjual alpukat, jeruk, pisang, semangka, jagung, dan aneka buah lainnya. Wajar, karena Curup merupakan dataran tinggi yang berada dalam gugusan Bukit Barisan.

Tak lama kemudian, akhirnya kami tiba di kota Curup. Kami tidak singgah di kota ini, mengingat hari semakin sore. Saya bergegas menuju kota Kepahiang. Kota terakhir, sebelum Bengkulu. Hanya butuh waktu 30 menit berkendara, kami telah tiba di Kepahiang, yang terkenal dengan buah Kepayang. Dulunya saya pikir, Kepahiang ini berasal dari nama buah Kepayang. Buah bulat seperti sukun yang memabukkan, yang sering diunggap dalam untaian kata, “mabuk kepayang”. Barulah dari penjelasan bang @emong.soewandi, saya mendapat titik terang, bahwa walaupun buah kepayang endemik di kawasan ini, dan dapat diolah sebagai sayur, bukanlah asal muasal nama Kabupaten Kepahiang.

Kak @willyana juga menjelaskan bahwa buah ini banyak bijinya, yang berukuran sebesar buah jengkol. Daging buah kepayang digulai dan diolah sedemikian rupa sampai hilang ‘racunnya’, barulah dinikmati. ‘Rasanya pulen enak sekali’, kata @willyana yang ternyata sangat menyukai kuliner ini.

Baiklah sabahat steemian, senjakala telah tiba, matahari telah terbenam di horizon. Kami tiba di Kepahiang, gerimis bulan Februari mulai turun, membasahi jalan. Kami betul-betul buta medan di depan. Perjalanan tidak jauh lagi, tidak sampai dua jam, kami akan sampai di Kota Bengkulu. Tapi malam telah tiba, suasana sepi, sunyi. Sementara, besok hari kami harus berada di lapangan apel untuk diperkenalkan kepada staf Rumah Sakit Muhammad Yunus.

Kami mulai ragu melewati jalur ini, karena inilah lintasan paling sulit, paling menantang untuk tiba di Kota Bengkulu. Persis, seperti mengikuti sayembara meminang putri raja, inilah tantangan terakhir yang harus kami taklukkan.

Gelap dan gerimis, tapi kami optimis. Kami maju! Bismillah. Saya terus memacu Lancer kesayangan, beberapa kali roda belakang masuk lobang, gruduk! Gruduk! Ya Allah, janganlah sampai pecah ban.

Beberapa kendaraan melintas dari arah berlawanan. Dari sorot lampu, saya bisa melihat betapa dalamnya jurang di kiri atau kanan. Jalan ini menanjak, berkelok, lalu menurun. Sekelingnya hutan belantara. Saya tergidik, apalagi pernah mendengar cerita, orang-orang berpapasan dengan harimau sumatera di jalur ini. Sahabat saya, Edi, juga tampak ciut mengingat cerita tersebut. Dia hanya diam saja. Tapi sesekali ia berseru, “Awas, tikungan!”. Saya membayangkan jalur ini mirip dengan lintasan Bireuen-Takengon yang sudah sering saya lalui. Tapi yang membuat rute ini beda bagi saya adalah, jalur ini baru pertama kali saya jajal, di malam hari, dan gerimis pula.

Setelah lebih satu jam dalam belantara, akhirnya dari kejauhan kami melihat cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk. Kami terkesiap, senang, dan penuh harapan. Artinya kami telah dekat dengan pesisir. Saya semakin semangat dan percaya diri menggeber Lancer buatan Jepang ini. Terus melaju, berkelok, terus menurun, melewati sebuah jembatan, sampai tibalah kami pada perkampungan, lalu perkampungan, perkampungan lagi, setengah kota, ramai, semakin ramai, dan gemerlap, penuh cahaya, belok kiri, melewati sebuah danau (belakangan saya ketahui danau ini bernama ‘Dendam Tak Sudah’), melaju, terus melaju, tibalah kami di kota Bengkulu!

Regard,
@razack-pulo

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now