Berdosa aku Masih menitipkan rindu Dalam riak waktu Menulis sejumlah doa Yang tak bisa dicerna Setelah di sana Hatimu telah dimiliki dia Untuk kata Yang patah di ujung mata rasa Gelepar dalam carik aksara
Dahan tak lagi hijau Angkasa tak lagi biru Ranting tak lagi cokelat Air tak lagi bening Hanya warna merah terlihat Mengalir menganak sungai Empati dari penjuru negeri Raga terbakar amarah Angkara murka
Anak-anak kembali hilang Jiwanya direnggut paham hidup adalah perang Tubuh diberikan pada kematian Permainannya peluru-peluru pelarian Padahal belum selesai embun pagi menyesali Pada mereka yang berlari
Aku mencintai dirimu Aku menyayangi dirimu Dengan setulus hati aku berjuang mempertahankan cinta ini Namun engkau hianati dengan berselingkuh Engkau mencari kekasih lain Cinta terlarang engkau langgar
Janganlah kau berlagak tuli di depan ku, Tidak kah kau dengar hatiku menjerit. Janganlah kau berlagak buta, Tidak kah kau lihat jantungku berdarah. Janganlah berpura-pura tidak mencium bau nanah yang membusuk,
Jika kertas Hanya membuat kepalamu panas Gantikan saja dengan logam Agar dingin bisa kau rasakan Betapa syukurnya mereka Yang padanya hanya kau kasih recehan Jika kerapian Hanya buatmu kerepotan Gantikan
Hanya tangis tertahan Bulir air berjatuhan Sebait doa kupanjatkan Teruntuk bundaku sayang Kerinduan ini tak tertahan Kenapa aku kau tinggalkan Didunia yang menyakitkan Kuingin ikut berpulang Tapi saatku
Sekian lama. Rasa ini bersemi. Terjalin seiring waktu. Membias tanpa henti. Rasa ini tak kan pernah sirna. Mengalir deras bagai air telaga. Tak akan habis dengan pergantian. Walau datang musim kekeringan.
Langkah kaki kecil lesu; Badan terguncang; Dan tersedu-sedu. Menahan Isak tangis; Pakaian lusuh dan kotor: Kakinya tersisa debu jalanan. Sepasang mata ibu; Dengan sendu; Ia tanya, " Jatuh ?".
Jika ada yang bertanya kepadaku apakah aku Bodoh atau Pintar, maka aku tidak ragu menjawab, AWAM. Bila ada pula nan bertanya apakah diriku Kaya ataukah Miskin, maka aku juga tiada ragu-ragu menjawab, FAKIR.
Dirimu menjelma sebagai aksara Meramu sajak-sajak nirwana Ketika purnama terlahir kembali Menjadi gubahan berbalut mimpi Purnama di jantung malam Merengkuh nurani beku Pada sosok lelaki pemilik rindu Mengoyak
Aku tak bisa menyatakan ini Tentang rindu yang menjerut tangkai hati Lalu menggantung aku di tiang hari Mendamba sang kekasih yang telah pergi Hari berputar pada saat dan detik Bulan juga menerbitkan purnama
Taburan air hujan; Ternyenyat bau tanah; Malam semakin pekat. Untuk menghilangkan resah; Jemari halus menari di atas headphone; Ungkapan hati jadi aksara. Daging semakin tertusuk dingin; Sekat keringat
Sa'at mentari memalingkan wajahnya. Berlabuh senja, Remang malampun tiba. Ku tulis ibadah cinta. Di sepanjang sajadah magribh dan isya. Bisu bayangmu menjelma. Sampai kini belaian cinta yang teruntai dari
Untukmu aku hanya bisa memanjatkan doa Dikala orang-orang terlelap dalam tidurnya Aku yang sekarang hanya bisa meminta supaya kamu di dekatkan kepadaku Bukan ingin memiliki, tapi ini soal cinta Cinta memang
Mendaki gunung Meraih puncak tertinggi Uluran lidah menari nari Lincah gaya menjilat langit Dengan bangga Raih kemenangan Hinakan sudut kecil Sebatas langit tertawa Di mana ada jalan Tak mampu menembus
Kuraba pada sesuatu yang coba hinggap di bahu, Benang merah, berserbuk kaca. Setiap saat bisa menyayatkan luka... Bahkan patahkan mata pisau, Tanpa terasa. Benang itu tangkai kuntum,.. Mawar berduri banyak,
. Mengapa cinta pertama rasanya begitu indah Aku rasakan bahagia dalam hidupku Tetaplah menjadi cintaku Untuk mendapatkan kebahagiaan cinta Aku percaya padaNya pasti ada . Aku yakini cinta datang membawa
Aku yang tak pernah berharap mencintaimu Tetapi Allah telah menundukkan hatiku Tuk memberikan cinta ini padamu Aku yang tak pernah memilihmu untukku Tetapi Allah telah memilihmu untukku Aku yang tak pernah
Kemarin... baru kemarin hujan rada Kini kulihat kuyupmu menyaji pesona Membangunkan sendi-sendi asaku Yang telah dilolosi seribu pilu Tak ingin aku berjibaku Masa lalu biarlah jadi pupukku Bertumbuh menggapai