Jalan Berliku Menuju Kuala Seuneuam

Ada tiga kuala atau muara yang membelah Rawa Tripa, masing-masing Kuala Sikandang, Kuala Seuneuam, dan Kuala Seumayam. Kuala Sikandang berada di Gampong Babah Lueng, Seuneuam di Pulo Kruet, dan Seumayam berada di Gampong Kuala Seumayam. 29 Agustus 2018 lalu, aku berkesempatan menjelajahi satu diantaranya, yakni Kuala Seuneuam.

Ceritanya, usia sarapan Limbek di warung tak bernama, kami berangkat menuju pelabuhan kecil yang menjadi titik awal menelusuri Kuala Seuneuam. Menuju kesana sekira 25 menit saja, dengan jalan tanah berdebu. Di sepanjang jalan, kiri kanan hanya kebun kelapa sawit ribuan hektare milik perusahaan, dan sebagian kecil milik masyarakat. Pagi jelang siang itu, di luar mobil yang kami tumpangi, matahari terasa terik menyengat.

Satu truk sedang menunggu muatan sawit yang diangkut oleh beberapa pekerja. Saat kami tiba disana, mereka hanya melempar senyum kecil dan lalu kembali melanjutkan kerja. Turun dari mobil kami segera merapat ke warung kecil. Disana beberapa orang tua paruh baya sedang bercengkrama sembari menikmati kopi. Berlagak sok akrab, kami pun menghampiri mereka dan ikut memesan kopi juga.

Kami tidak langsung menelusuri Kuala Seuneuam, karena kami harus menunggu robin ada. Seorang warga lokal yang membawa kami mengatakan kalau robin yang semula direncanakan sudah lebih dulu berangkat ke kebunnya di pinggir Kuala Seuneuam, karena kami telat satu jam sampai di pelabuhan. Artinya, kami harus mencari robin lain.

Dalam hati aku bersyukur karena robin sudah lebih dulu pergi, hingga aku benar-benar dapat menikmati kopi tanpa diburu waktu. Apalagi suasana sekitar warung kopi sangat menenangkan. Ini suasana yang kuidamkan.

Waktu sudah hampir jam sebelas, sungai kecil yang lebih pantas kusebut alur masih sepi, hanya sepasang suami istri yang kulihat baru pulang dari kebun dengan perahu mereka. Perahu dikayuh perlahan hingga ke tepian alur, istrinya turun lebih dulu dengan menenteng sedikit hasil kebun. Sedang suami, sibuk menambat perahu di bawah pohon kelapa yang tumbuh di pinggir alur. Aku hanya melihat mereka sambil menyeruput kopi yang mulai dingin.

Akhirnya datang juga robin yang kami tunggu, dan acara minum kopi segera mesti kuakhiri walau sebenarnya aku belum puas duduk bergurau dengan penduduk setempat. Tapi apa boleh buat, tugas memanggil dan tumpangan sudah merapat, serta satu-persatu barang kuangkat. Hingga kami pun sudah siap untuk berangkat. Walau perginya terlambat, semoga saja pulangnya tidak telat.

Mesin robin dihidupkan, walau beberapa kali gagal, tapi akhirnya berhasil. Kami mulai menelusuri alur kecil yang disepanjang pinggirnya dipenuhi tumbuhan rawa. Aroma khas rawa mulai tercium, dan kuhirup dalam-dalam. Aku seperti tidak ingin aroma hilang begitu saja. Setelah tiga kelok, robin mulai keluar ke sungai besar. Vegetasi rawa pun terlihat banyak ragam, mulai jenis rumput-rumputan, nipah, hingga tumbuhan keras berukuran besar.

Sepanjang sungai rawa yang kami lewati, airnya coklat kehitaman. Kata warga yang sekaligus merangkap sebagai nahkoda, tidak ada yang tahu pasti berapa kedalaman sungai ini. Yang jelas lebih dalam dari batang kelapa ukuran 15 meter. Pun katanya, ada banyak binatang melata yang mendiami sungai rawa ini. Bahkan, dahulu ada pula yang mengatakan kalau buaya juga ikut meramaikan habitat rawa yang sedang kami susuri.

Pemandangan lain yang kami saksikan, berupa makam seorang Teungku yang dikeramatkankan. Di sekelilingnya, tampak hutan primer rawa gambut Tripa yang sudah dan menunggu rata dengan tanah, hampir seluruhnya berubah fungsi menjadi kebun sawit warga. Jumlah tegakan pohon besar yang tersisa sudah bisa dihitung dengan jari. Oleh warga yang ikut mendampingi, kami pun diajak merapat ke kebun miliknya yang juga sudah ditanami sawit umuran dua tahunan. Katanya ia membuka lahan ini setelah masa damai Aceh.

Kebetulan dalam rombongan juga ikut Samsul, ia mantan kombatan. Menurutnya, area kebun yang kami singgah dulunya belantara. Disana pasukannya bertahan dan bergerilya. Selama bergerilya dalam hutan rawa, pasukannya tidak merasa lapar, karena masa itu Limbek dan ikan jenis lain masih mudah didapat karena rawa masih baik kondisinya.

Berbeda dengan sekarang, kini rawa gambut sudah benar-benar kering sejak hutan sengaja dihilangkan, dan diganti dengan kebun. Pun saat membuka kebun, banyak pihak memilih cara termudah dan termurah walau resikonya berdampak luas, yakni dengan membakar lahan. Ini dengan jelas dapat kita lihat dari sisa akar-akar kayu yang mudah dijumpai di setiap kebun, baik milik warga atau milik perusahaan.

Usai dari sana, kami kembali melanjutkan perjalanan ke Kuala Seuneuam yang hanya menghabiskan waktu sekira 20 menit. Mentari siang itu terasa begitu menyengat, hingga seringkali kami menegak air untuk mencegah dehidrasi. Seperti rencana awal, kami akan makan siang sesampai di kawasan kuala yang baru pertama kali kujejaki. Perlahan, dari jarak 50 meter pinggir kuala sudah terlihat, dan begitu sampai, di bawah rindang cemara laut robin pun ditambat.

Hari itu, semua tujuan sudah terpenuhi tanpa ada cela. Tidak perlu menunggu senja, kami pun bersepakat berangkat untuk kembali ke warung sederhana di sisi pelabuhan kecil. Disana kami akan menyambung cengkrama dengan warga yang hidup di kawasan Rawa Tripa.[]

@pieasant

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now