When the Plane Crosses the Ibis’s Peak | Tatkala Pesawat Melintas di Puncak Ibis |

Ibis Pasteur_01.jpg


When the plane crosses the Ibis’s Peak

Ibis’s Peak is not one of the mountains in West Java, Indonesia, but a hotel in Jalan Pasteur in Bandung City. Predictably, it is called Ibis Pasteur because it is located on Jalan Pasteur, just differentiate it from other Ibis in Bandung.

Pasteur Street is one of the crowded streets in Bandung, one of the negative aspects of staying at Ibis Pasteur because it is directly faced with the congestion when out or going to the hotel. The sight of a traffic jam can be traumatic for some people who want to take a vacation. Could be, there are people who do not want to see the congestion on the weekend after since Monday to Friday are in a severe congestion. Congestion is the enemy. Do not get to meet the enemy in the vacation destination.

If trauma with absolute congestion, a holiday to Bandung on weekends is not the right choice because of some roads in Bandung—especially in the direction of Lembang—anger very jammed. Bandung people often blame Jakarta people who invaded Bandung at the weekend. But, the people of Bandung do not reject the arrival of local tourists (and foreign tourists) who will spend a lot of money in Bandung.

From the fourth floor of Ibis Pasteur, I saw traffic jams on Jalan Pasteur in the morning and at night. Various types of cars lined up as ants accompany the food. The difference, the ant accompaniment moves quickly without noise and without pollution. The car's accompaniment is full of air pollution and sound, though from the fourth-floor Ibis is not felt. From behind the window, the view outside looks like a silent movie.

Congestion is not an interesting sight. But unlike the plane that landing and take off from and Husein Sastranegara Airport. From behind the glass, there was a flyover over Pasteur Street, with a quieter street. Not as solid as underneath.

In a few minutes duration, a plane that will land at Husein Sastranegara airport passes. With an electric cord running across the road, the plane looked like a toy moving over two ropes. Behind him, Mount Papandayan looks mighty under a blanket of mist. Underneath, the trees looked green. The sky is bright blue with silent white clouds in silence.

There was no sound of the plane behind the window, only his movements were recorded within seconds before disappearing behind the green trees as if he had landed in the middle of the jungle. Blue sky, white clouds, Papandayan Mountain, verdant forests, power lines, planes, and rooftops. Everything looks interesting from behind the window. A wonderful combination of a pulsating modern life.

It was the sight of my meal when staying at Ibis Pasteur. Quite inspiring when writing in a room measuring about 4 x 6 meters that feel cramped. Looking for a hotel room should consider a beautiful and attractive view, especially if the hotel room into the workspace during the holidays. No wonder a hotel room with a certain view—like sunrise and sunset—is more expensive. Be grateful when you can see the beautiful view without having to pay.

Ibis Pasteur is a networking hotel that has a standard of service and facilities for guests. The breakfast I see is also standard, not much different from breakfast at the Ibis in various cities in Indonesia. One complaint in the dining room, waiting for an order omelet so long until the rice on the plate became cold. In fact, not too many guests when I come.

Sofa laid out in several places in the lobby also provides a very privacy comfort for some guests. Sometimes, guests also want to accept friends or business associates in the lobby, so it becomes the important interior design that keeps a little privacy of guests in public spaces.[]


Ibis Pasteur_02.jpg


Ibis Pasteur_06.jpg


Tatkala Pesawat Melintasi di Puncak Ibis

Puncak Ibis bukanlah salah satu gunung di Jawa Barat, Indonesia, melainkan sebuah hotel di Jalan Pasteur di Kota Bandung. Mudah ditebak, disebut Ibis Pasteur karena terletak di Jalan Pasteur, sekadar membedakan dengan Ibis lain di Bandung.

Jalan Pasteur ternyata salah satu jalan yang padat di Bandung, salah satu yang menjadi aspek negatif menginap di Ibis Pasteur karena langsung berhadapan dengan kemacetan ketika keluar atau mau masuk ke hotel. Pemandangan melihat kemacetan bisa jadi membuat trauma bagi sebagian orang yang ingin berlibur. Bisa jadi, ada orang yang tidak ingin melihat kemacetan di akhir pekan setelah sejak Senin sampai Jumat berada dalam kemacetan yang parah. Kemacetan adalah musuh. Jangan sampai bertemu dengan musuh di tempat liburan.

Kalau trauma dengan kemacetan absolut, berlibur ke Bandung di akhir pekan memang bukan pilihan yang tepat karena beberapa ruas jalan di Bandung—utamanya ke arah Lembang—marah sangat macet. Orang Bandung sering menyalahkan orang Jakarta yang menyerbu Bandung di akhir pekan. Tapi tentu saja warga Bandung tidak menolak kedatangan wisatawan lokal (dan mancanegara) yang akan menghabiskan banyak uang di Bandung.

Dari lantai empat Ibis Pasteur, saya melihat kemacetan di Jalan Pasteur pada pagi dan malam hari. Berbagai jenis mobil berbaris sepeti iringan semut mengangkut makanan. Bedanya, iringan semut bergerak cepat tanpa suara bising dan tanpa polusi. Iringan mobil penuh dengan polusi udara dan suara, meski dari lantai empat Ibis tidak terasa. Dari balik jendela, pemandangan di luar sana terlihat seperti film bisu.

Kemacetan bukanlah pemandangan yang menarik. Tapi berbeda dengan pesawat yang landing dan take off dari dan Bandara Husein Sastranegara. Dari balik kaca jendela, terlihat jalan layang di atas Jalan Pasteur, dengan suasana jalan yang lebih lengang. Tidak padat seperti di bawahnya.

Dalam durasi beberapa menit, sebuah pesawat yang akan mendarat di Husein Sastranegara airport melintas. Dengan kabel listrik yang melintang di atas jalan, pesawat itu terlihat seperti mainan yang bergerak di atas dua utas tali. Di belakangnya, Gunung Papandayan terlihat perkasa di balik selimut kabut. Di bawahnya, pepohonan tampak menghijau. Langit cerah biru dengan awan-awan putih yang seperti diam dalam keheningan.

Tidak ada suara pesawat di balik jendela, hanya gerakannya saja yang terekam dalam beberapa detik sebelum menghilang di balik pepohonan menghijau, seolah ia mendarat ke tengah rimba. Langit biru, awan putih, Gunung Papandayan, hutan menghijau, kabel listrik, pesawat, dan atap-atap rumah. Semuanya terlihat menarik dari balik jendela. Kombinasi yang indah dari sebuah denyut kehidupan modern.

Pemandangan itulah yang menjadi santapan saya ketika menginap di Ibis Pasteur. Cukup menginspirasi ketika menulis di dalam kamar berukuran sekitar 4 x 6 meter yang terasa sempit. Mencari kamar hotel memang harus mempertimbangkan view yang indah dan menarik, apalagi bila kamar hotel menjdi ruang kerja semasa liburan. Tak heran bila kamar hotel dengan view tertentu—seperti matahari terbit dan tenggelam—lebih mahal harganya. Bersyukurlah ketika bisa melihat view indah tanpa harus membayar.

Ibis Pasteur adalah hotel berjejaring yang memiliki standar pelayanan dan fasilitas bagi tamu. Sarapannya saya lihat juga standar, tidak jauh berbeda dengan sarapan di Ibis yang terdapat di berbagai kota di Indonesia. Satu keluhan di ruang makan, menunggu order omlet demikian lama sampai nasi di atas piring menjad dingin. Padahal, belum terlalu banyak tamu ketika saya datang.

Sofa yang ditata di beberapa tempat di lobi juga memberikan kenyamanan yang sangat privacy bagi beberapa tamu. Terkadang, tamu juga ingin menerima sahabat atau rekanan bisnis di ruang lobi, sehingga menjadi penting desain interior yang menjaga sedikit privacy tamu di ruang publik.[]


Ibis Pasteur_10.jpg


Ibis Pasteur_11.jpg


Ibis Pasteur_08.jpg


Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center