Don Quixote de La Macha: Sebuah Epik Ksatria Delusi

Don Quixote.jpgKita adalah apa yang kita baca. Kalimat ini dapat kita jadikan acuan atas apa yang berlaku pada tahun 1605 M. Dimana, ditahun itulah terbitnya sebuah novel Don Quixote untuk pertama kalinya. Awal cerita, dinarasikan sebuah wajah lelaki bersahaja, Alonzo Quinjano di ruang atas rumah kecilnya tengah membaca sebuah buku yang sangat tebal. Semua yang terlihat diruangan itu tampak tenang dan tertata. Namun tidak demikian dengan apa yang tengah bergelut-gelut dalam kepala lelaki itu. Pikirannya dipenuhi dengan gagasan-gagasan liar, seolah-olah dia merasa tenga hidup di dunia mimpi dan angan-angan.
Ketika ia semakin asyik membaca buku itu, tiba-tiba saja, dengan sangat spontan ia melompat dengan liar. Mengangkat pedang dengan satu tangannya, dan berteriak-teriak seperti orang kerasukan setan. Orang-orang dalam rumah itu bergegas melihatnya sebentar, dan kemudian pergi karena sudah tak heran melihat tingkah lelaki itu. Sementara di dalam khayalnya, saat ini ia tengah bertarung dengan seorang musuh yang kini ditusuknya.
Dari awal pembuka novel ini saja, saya kira kita sudah dapat menyimpulkan membaca merupakan suatu proses yang ‘berbahaya’. Sebagaimana kita mengerti, suatu bacaan dapat memengaruhi seseorang dengan sangat, sampai bisa kehilangan akal sehat. Maka, tak perlu heran, bila ada sekelompok orang yang dikenal pembenci buku.
Judul asli novel ini adalah Don Quixote de La Macha yang ditulis oleh pengarang Miguel de Cervantes (1547-1616), yang jadi masyhur karena karya ini. Novel ini dinobatkan sebagai salah satu Buku Terbesar di Dunia Barat dalam Encyclopedia Britannica. Bahkan pengarang Rusia, Fyodor Dostoyevsky menyebutnya sebagai “kata yang paling puncak dan paling luhur dari pemikiran manusia”.
Lelaki itu yang dituturkan dalam novel ini, ialah Don Quixote dari La Macha. Ia merupakan contoh fatal dari kegilaan bacaan. Ia terlahir sebagai hiperrealitas, dimana kenyataan telah terbelenggu oleh selimut angan-angannya. Kisah-kisah petualangan yang dibaca oleh Don Quixote ‘berhasil’ membuatnya dirinya terjebak dalam ilusi tentang kepahlawanan.
Kita harus mengakui kemampuan pengarang piawai seperti ini sangat jarang ditemui. Salah satunya kita dapat menyebut nama Karl May. Novelis Jerman ini menarasikan kisah pengembaraan Winnetou dan Old Shatterhand dengan apik. Cerita yang dikarangnya, sukses membuat pembaca –setidaknya saya– seolah merasa menyaksikan secara langsung pertempuran yang dikisahkan. Kalimat yang mengalir membuat kita tak bisa berhenti membaca. Semacam ada ‘paksaan halus’ yang terus menyeret kita kepada halaman selanjutnya.
Ini jugalah barangkali yang dialami oleh Don Quixote. Ia tercebur dalam berbagai petualangan yang tidak tercermin atas realitasnya. Don Quixote melalui seluruh pengembaran itu dengan semangat yang berapi-api, meski harus menderita luka ditiap pertempurannya. Hingga akhirnya, kesakitan mengunjunginya dan mulai menyadarkannya kepada kenyataan. Pada mulanya, teman-temannya tidak bisa memercayai bahwa kegilaan telah meninggalkannya. Namun, dia bicara dengan demikian tenang, yang akhirnya mereka yakin bahwa kenyataan ini benar adanya. (hal.121). Sampai gema kebenaran menghantarkannya dengan damai kepada kematian.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center