Dunia Memang Kelabu

Jika kau tanya bagaimana wajah kampungku kala hujan menghunjam 

jantung Februari. Segalanya mendung semata, sejauh pandang 

kau akan menemu batas kelabu tak terhingga. 


Demikianlah hujan selalu memberi wajah lain, mewujud asing.   

Dan aku mencintai hujan.  Mengekalkan pertemuan kita pada belasan 

Februari silam, enggan menyingkir dari ruang kenang.   

Mungkin kau akan menyebutnya semacam sentimental atau kebodohan, 

apa pun itu aku tahu kau tak lebih dari seorang lelaki biasa yang bisa 

tersanjung; seseorang mengekalkan namamu dalam doa-doa panjang.   


Aku selalu mencintai aroma hujan, kau tahu itu. 

Ruap harum mengambang dari basah tanah sampai dedaunan. 

Tentu berbeda atmosfernya kala kita menyusuri malam berhujan 

pada suatu ketika yang telah lampau. Aku hanya bisa bersembunyi 

di belakang punggungmu merasakan dekat sekaligus jarak 

membentang tenang. Sungguh rasa hangat sempat kucerap 

saat hujan  menerpa jas hujan panjang yang menyelubung. 


Kita berkendara dengan kecemasan pada lengang jalanan 

yang licin dipenuhi genangan air membanjir. 

Itu hanya intermezzo, barangkali.   


Hujan di sini berbeda dengan kotamu yang gaduh sekaligus pengap 

ditelikung zaman, kubayangkan  kau mencari tempat berteduh 

kala hujan terlalu tajam Mungkin kau kedinginan, wajahmu yang basah  

memandang hujan sebagai peristiwa nyata:  siklus cuaca. 

Garut. 6 Februari 2012      

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center