Katanya ‘Semangatlah Sayang’

60d821b8-bc17-4355-9329-64047079f187.jpg
Laut selalu membuat persaanku menjadi tenang, tapi kali ini laut tak mampu menghalau galauku

Dua hari belakangan, aku sangat malas melakukan apa pun termasuk menulis, pekerjaan yang biasanya selalu membuatku senang. Namun, tidak untuk kali ini. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur, bahkan selama 24 jam aku tidur lebih dari 12 jam. Paling aku bangun saat makan, salat, mandi, dan pergi mengajar selama 1 jam setengah.

Aku juga malas untuk melakukan komunikasi, terutama via Whats App, hanya pesan yang penting saja kubalas. Untuk pesan grup, kadang kulewatkan begitu saja tanpa berniat nimbrung di dalamnya.

Aku kehilangan energi untuk melakukan apa pun, walau terkadang aku berusaha keras melawannya dengan ikut beraktivitas seperti pergi bersama teman ke pantai, atau mendampingi anak-anak di tempatku mengajar, itu hanya sementara. Sepulang dari situ aku kembali mengantuk dan melanjutkan tidur.

Konsentrasiku buyar tiap kali aku ingin melakukan sesuatu, padahal ada tugas survey yang harus kulakukan. Beban pikiranku terlalu berat untuk membuatku berkonsentrasi, hingga aku sulit untuk berpikir bahkan aku merasa tidak berharga sama sekali dan berpikir tentang kematian.

Orang yang tahu keadaanku saat fase ini ialah ibuku, tapi aku mencoba menghindar untuk mengangkat telpon darinya. Terlebih aku malas mengangkat telpon karena ada orang yang selalu mengusik diriku melalui SMS dan telpon yang tidak mengenakkan hati dan mengganggu jiwa. Handphon-ku pun kubiarkan dalam keadaan silent dan kadang aku nonaktifkan.

Orang yang tahu keadaanku berikutnya ialah dia, karena saat berkomunikasi via telpon aku selalu ingin cepat mengakhiri dan menjawab singkat pesan Whats App darinya. Saat dia datang menemuiku, aku lebih banyak diam dan menjawab seperlunya saja walau kadang dia mencoba menghiburku dengan cerita atau lelucon agar membuatku tertawa. Tapi, aku ingin pertemuan itu cepat berakhir, padahal dulu selalu ingin berlama-lama saat bertemu dengannya.

Gangguan Mood

Depresi.jpg
Ilustrasi Sumber

Ini bukan pertama kalinya keadaanku seperti ini, namun sudah sekian kali. Aku memahami keadaan ini sebagai gangguan mood, karena aku pernah mempelajarinya saat di bangku kuliah tentang keperawatan jiwa dulu.

Mood di sini diartikan sebagai kondisi emosi yang lebih mengarah kepada perasaan seperti senang, bahagia, sedih, takut, cemas, dan haru. Bila keadaan emosi ini berubah-ubah, maka disebut dengan gangguan mood.

Gangguan mood dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu gangguan depresi dan gangguan bipolar. Keduanya ini merupakan masalah kesehatan mental yang kadang jarang diketahui oleh kebanyakan orang.

Aku sendiri sering mengalami gangguan depresi, tapi kadang juga mengarah ke bipolar ketika maniakku kambuh. Namun masih bisa kukontrol dengan wajar. Sebenarnya ini harus diperiksakan ke psikiater, tapi mengingat praktik psikiater susah di Banda Aceh dan juga pastinya mahal, aku mengurungkan niat itu.

Saat ini aku berada pada gangguan depersi yaitu Major Depresive Disorder (MDD). Ciri-cirinya seperti yang kusebutkan di atas. Sebelumnya aku sudah mengetahui hal itu, jadi aku berusaha untuk tidak mengarah ke Dysthymic Disorder (gangguan distimik/distimia yang mengarah ke gangguan depresi kronis).

Aku berusaha untuk tidak larut dengan keadaan ini, tapi yang namanya perasaan susah sekali untuk diajak kompromi. Makanya perlu ada psikiater untuk mengobati yang memberikan terapi dan motivasi untuk keluar dari keadaan ini.

Telpon Dini Hari

Semalam aku merasakan perasaan lelah dan malas itu kembali muncul, seakan aku tidak ingin melakukan apa-apa dan memilih untuk tidur. Selepas salat Maghrib, aku menjawab telpon ibuku yang sejak tadi pagi menelpon berkali-kali.

Dengan suara yang kubuat sebaik mungkin, aku berusaha meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Pembicaraan itu pun tidak berlangsung lama. Aku takut ibuku sedih, bila mengetahui keadaanku yang sebenarnya.

wanita-menangis.jpg
Ilustrasi Sumber

Beberapa teman yang mengirimkan pesan Whats App kepadaku, juga kubalas dengan pernyataan terutup. Begitu pula pesan Whats App darinya yang kujawab dengan satu-satu kata, “baik, iya, belum, boleh”. Kemudian belum pun sampai pukul 21.00 WIB, seusai salat Isya aku sudah terlelap memasuki dimensi lain, yaitu alam mimpi.

Tepat pukul 00.40 WIB, aku terbangun dari tidur karena mimpi buruk yang kualami. Akhir-akhir ini aku sering mengalami mimpi buruk, hingga setiap bangun badanku terasa sakit-sakit. Aku mengambil whudhu dan salat Tahajjud. Entah kenapa, air mataku terus mengalir dan susah sekali kubendung.

Seusai salat, kucoba kembali melihat pesan di Whats App. Teryata ada pesan darinya yang menanyakan kabarku. Itu pesan yang sekian kali dalam hari itu menanyakan tentang kabarku.

Lalu kubalas dengan menyuruhnya Tahajjud. Dia pun menjawabnya ‘iya”. Lima menit berselang setelah pesan itu, muncul pesan berikutnya “bolehkah aku menelponmu?”. Aku mengiyakanya.

Selama 30 menit aku berkomunikasi dengannya. Perasaan kesal dan malas kusampaikan kepadanya. Saat itu pula air mataku jatuh dan aku menangis sejadi-jadinya. Dia menanyakan apa masalahku, tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku juga ingin menangis kepada ibuku, tapi itu tidak mungkin, pasti ibuku sangat sedih melihat keadaanku.

Mungkin dialah yang bisa menampung tangisku, meskipun hanya melalui benda kecil yang diletakkan ke telinga bernama smartphone itu. Dia hanya mendengar melalui benda yang sama di ujung sana dan menyuruhku menangis sampai aku tidak sanggup lagi menangis, berbicara sampai tidak tahu lagi apa yang akan dibicarakan.

Saat aku diam, di situlah perannya untuk menyampaikan kata-kata yang bisa menerapi jiwaku. Di antaranya bahwa banyak orang yang membutuhkanku dan menyayangiku, termasuk orang tuaku dan dirinya. Bila keadaanku terus seperti ini, bagaimana aku bisa membahagiakan orang-orang yang menyayangiku. Orang tuaku dan dia juga sedih melihatku, karena banyak orang yang menaruh harapan padaku.

Semangatlah sayang, karena dengan semangatmu itulah yang membuat orang-orang di sekitarmu senang dan bahagia. Semua orang punya masalah. Namun masalah terbesar ialah saat kamu tidak mau belajar ikhlas dari masalahmu.

Sepuluh menit yang disampaikannya itu, membuatku mengkaji ulang terhadap keadaanku saat ini dan prestasi yang sudah kuraih.

Kulihat kembali piagam penghargaan yang ditempel di dinding kamarku, kumpulan bukuku, komitmenku yang setiap hari menghasilkan sebuah tulisan lebih dari 600 kata. Rasanya terlalu naif bila aku terus bergelut dengan kemalasan ini. Telpon tengah malam itu, telah mengirimkan aku seorang psikiater sesuai kebutuhanku.

Bila pada umumnya gangguan mood dapat diatasi dengan psikoterapi atau perawatan medis, tapi bagiku orang terdekat bisa dijadikan psikiater terhebat bila dia menyentuh jiwa dan perasaan kita.

Terima kasih sayang.

20160301_165932_1.jpg

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now