Cerpen: Hari Pertama

1668083853975.jpg Sumber: Dokumen pribadi

“Akan aku tunjukkan gerobaknya sebentar lagi. Kamu pasti terkejut. Ayahku sengaja membelikannya untuk kita agar bisa segera jualan. Kita bisa mandiri lebih cepat, Silvi!”

Maharani senang akhirnya bisa berjualan roti bakar. Dia menunjukkan gerobak untuk jualannya pada Silvi, sahabatnya yang akan menemani. Mereka melewati rumah makan Sate Eco yang terkenal di kampungnya.

“Tunggu saja, kita pasti bisa membuat usaha kita besar. Seperti rumah makan itu,” tambah Maharani berucap sambil menunjuk rumah makan di dekat mereka.

“Ya ampun. Serius? Ini gerobak milik kita untuk jualan? Ini bagus banget!” aku Silvi setelah melihat gerobak roti bakar mereka.

“Semua peralatan sudah lengkap. Semua bahan telah tersedia. Karena kamu baru pulang dari luar kota, aku sengaja tidak mengajakmu belanja dan persiapan yang remeh-remeh.” Kata Maharani lagi.

“Laci tempat uangnya besar banget! Pisaunya juga baru beli. Ini bukan yang biasa kita pakai latihan. Rotinya, selai, semua lengkap. Kamu sudah siapkan semuanya!” Ekspresi Silvi terlihat senang.

Gerobak roti bakarnya sudah terlihat rapi. Mereka hanya perlu mengatur beberapa barang untuk memudahkan proses pemanggangan. Karena sebelumnya ayah Maharani sudah membantu menyiapkan barang-barang yang berat.

“Pokoknya nanti kalau ada pembeli datang, aku yang bakal membuatkannya. Tanganku harus digunakan sebagai awalan pekerjaan kita yang menakjubkan ini!”

“Hahaha. Gaya bicaramu bisa saja. Tapi oke! Aku setuju kamu Maharani Setia Dewi. Tapi jangan lupa memberi bagian menyenangkan padaku.” Jawaban Silvi terdengar ala-ala pangeran dari film Cinderela yang mengalah pada perampok. Nada suaranya seolah tidak mau mengalah. Tapi dia menyetujui.

“Tentu saja. hahaha. Karena ...-“

“Hussst ...! ada pelanggan pertama!” Silvi memotong pembicaraan dengan ekspresi senang dan penuh isyarat.

Maharani langsung berdiri ke tempatnya. Tubuhnya tegap. Senyum dari bibirnya terurai lalu menanyakan menu apa yang ingin dibeli pelanggannya. “Ada beberapa jenis selai yang bisa dicoba. Jika ingin mencicipi semua rasanya. Bisa pesan menu spesial. Harganya memang paling tinggi. Tapi selama satu minggu ke depan roti bakar kami ada diskon 50% sebagai rasa syukur bisa memulai usaha baru,” kata Maharani dengan senang.

“Aaaa ... Mmm ...,” pelanggan itu menatap menulu sambil menggumam. Lubang mulutnya bahkan tanpa sadar terlihat menganga. Sama sekali menunjukkan ekspresi yang tidak tampan. “Boleh. Kalau begitu menu spesial satu. Sama isi selai cokelat satu.”

Silvi sudah mengiris roti yang ada di hadapannya. “Gaya gergaji. Potong dengan pisau bergerigi dengan memaju mundurkan rotinya biar hasilnya bagus,” ucap Maharani memberi instruksi. “Agak cepat saja gak apa-apa.”

Setelah potongan roti diolesi margarin. Tangan Silvi memberikannya pada Maharani. “Selainya di sebelah sini,” Silvi berucap.

Gerakannya masih terlihat kaku saat memanggang roti. Maharani menggerak-gerakkan dengan spatula di kedua tangannya. Sambil sesekali mengolesi margarin ke sisi roti yang lain sebelum membaliknya.

Aroma harum roti pun mulai menyebar ke segala sisi. Dengan mencium baunya saja, Maharani dan Silvi terlihat senang. Bahkan beberapa kali mereka berdua terlihat dengan sengaja mengarahkan hidungnya ke arah udara yang membawa aroma roti bakar. Tentu saja, mereka senyum-senyum sendiri setelah melakukan tingkah yang lucu.

Tangan Maharani terus menggerak-gerakkan roti di panggangan. Dia juga tampak membolak-baliknya beberapa kali. Membuat roti di hadapannya bisa matang dengan sempurna. Suhu yang dia gunakan sudah tepat, berpadu dengan tangannya yang terampil. Membuat makanan pertama yang mereka sajikan sesuai dengan harapan.

Mereka saling memandang dan tersenyum. Tidak begitu banyak bicara. Namun keduanya sudah saling berbagi kebahagiaan lewat isyarat yang menyenangkan.

Tempat mereka jualan berada dekat dengan perempatan jalan. Ayah maharani sengaja mencarikannya. Katanya, dekat perempatan jalan itu bagus untuk jualan, disebut jalur lambat. Karena orang-orang yang berkendara akan mengurangi kecepatannya. Sehingga membuat mereka lebih memperhatikan sekitar. Apalagi jika lapar, mata mereka pasti berkeliling mencari sesuatu yang bisa dimakan.

Meski hari ini pertama berjualan. Maharani dan Silvi telah menyebarkan rencana meraka ke media sosial dan grup-grup daring. Cukup banyak teman-temannya yang datang untuk membeli roti bakarnya. Membuat mereka bercua cukup senang.

Hingga tanpa terasa setelah disibukkan pembeli, mereka berdua sudah bertemu malam. Pukul 20.00 WIB. Satu jam sebelum mereka berencana untuk pulang.

Hanya saja, hal kurang menyenangkan juga mereka rasakan. Seorang pembeli terlihat buru-buru setelah memesan roti bakar. Ekspresi wajahnya sangat berantakan. Tidak bersahabat sama sekali. Dia juga mendesak agar roti bakar pesanannya cepat matang. Agar roti bakar cepat matang? Hah?! Sedangkan suasana sekitar sudah semakin sepi.

Ucapan lelaki itu sungguh di luar kepala Maharani. Sama sekali tidak masuk akal. Namun dengan perasaan jengkel, mereka berdua tetap berusaha sopan.

“Cepat dong! Saya ditunggu teman. Sedang buru-buru. Masak manggang roti aja lama banget. Aduh!” desak lelaki itu sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Maharani hanya bisa mengiyakannya. Sambil menahan emosi yang semakin jengkel di benaknya. Sedangkan Silvi sudah menjunjukkan raut wajah sebal sambil memperhatikan lelaki itu. “Berjaket hitam, rambut acak-acakan, topi penuh kumal, mulut menyebalkan,” sorot mata Silvi seolah mengatakan hal itu. Dia merasa kesal dengan kehadiran pembeli yang egois.

Seorang lelaki lain dengan jaket ungu tebal terlihat menghentikan motornya. Sekitar lima belas meter ke arah selatan dari gerobak. Sedangkan lelaki yang memesan roti tadi berjalan ke lelaki jaket ungu itu sambil mengomel ke arah ponselnya.

Mereka saling tidak sabar. Si jaket ungu memarah-marahi lelaki pemesan roti. Sedangkan pemesan yang kasar tadi melimpahkan kekesalannya pada penjual roti bakar: Maharani dan Silvi. Dia juga tetap mengomel dengan orang yang dia telepon. Orang yang aneh dan tidak mau mengalah.

Maharani dan Silvi tidak mau ambil pusing. Mereka melanjutkan tugasnya memanggang roti yang telah dipesan. Membolak-baliknya agar tidak gosong, lalu membungkusnya dengan kertas minyak setelah dirasa cukup matang.

“Tolong ya,” ucap Maharani meminta Silvi memberikan rotinya. Dia tampak cukup lega setelah tugasnya selesai.

Hanya saja suara perdebatan yang keras terdengar tidak menyenangkan. Maharani sudah cukup lelah. Apalagi sejak sore dia disibukkan dengan melayani para pembeli. Keringat juga telah membasahi seluruh tubuhnya. Namun saat dia menolehkan wajahnya, terlihat Silvi berdebat dengan pelanggan menyebalkan tadi.

“Hey! Pak! Anda belum bayar-“

“BAYAR APA! SIAPA YANG BAYAR?! BAKAR ROTI AJA LAMA BANGET! TIDAK PERLU BAYAR KALAU PELAYANANNYA SAJA BURUK! PERGI SANA!” pembeli itu berteriak pada Silvi. Nada suaranya sangat tinggi dan terdengar mengancam.

Tanpa pikir panjang Maharani berlari ke arah mereka. “Ada apa. Silvi?!”

“Ini. Pembeli gak mau bayar!-"

“Kalian harusnya berterima kasih. Pelayanan buruk kok minta untung. Bukannya tadi juga ada pelanggan lain. Sudah-"

“JANGAN BEGITU! NAMANYA BELI HARUS BAYAR PAK!” Maharani benar-benar marah. Suaranya keras mengimbangi suara dari mulut pembelinya. Dia sudah sangat lelah. Juga sudah lelah untuk sopan pada pembelinya.

Tapi pembeli itu tidak mau mengalah. Bahkan dia naik ke motor temannya yang sudah menyala. Bersiap-siap untuk pergi meninggalkan Maharani dan Silvi yang sedang marah padanya. Seolah benar-benar tidak peduli.

“He! He! Apa-apaan menarik-narik roti!” lelaki itu kaget dengan tingkah Maharani.

“Kembalikan rotinya kalau tidak mau bayar!” teriak Maharani sambil menarik bungkus roti dari pembelinya.

“Awas! Mahara-“

“Berisik! Menyebalkan! Sudah! Lepaskan rotinya! Saya bayar!” ucap lelaki itu setelah merasa jengkel dengan sikap Maharani. “Cepat lepaskan! Biar saya ambil uang di kantong! Jangan ganggu!” dia berbicara dengan nada tidak mau kalah.

Maharani akhirnya berhenti menarik bungkus rotinya. Namun matanya tetap mengawasi lelaki itu. Dia juga sudah terlihat siap untuk bertengkar. Tidak ada ekspresi takut sama sekali.

“Ini uangnya! Pergi kalian dari sini! Berisik!” kata pembeli itu masih marah-marah sambil melemparkan uang dari sakunya. Pandangannya juga segera berpaling dari Maharani, bersamaan dengan kendaraan mereka yang mulai berjalan pergi.

Hal itu membuat perasaan Maharani cukup lega. Akhirnya mereka selesai berhadapan dengan orang yang menyebalkan. Dia memungut uang yang terjatuh di lantai. Membersihkannya. Lalu mulai memberikan sumpah serapahnya lagi meski orang menyebalkannya sudah pergi. Dia membuang emosinya.

“PENCURI!! HEY!! PENCURI!! ADA ORANG YANG MENGAMBIL UANG DI LACI KITA!!” Silvi tiba-tiba berteriak. Tanpa peduli dengan Maharani, dia berlari ke arah gerobak roti dan memastikan uang yang mereka miliki.

Suara deru motor meraung dengan keras berbarengan dengan teriakan Silvi. Seorang laki-laki tampak mencurigakan. Dengan cepat pergi dari sisi laci gerobak roti bakar, setelah terlihat mengambil uang yang bukan miliknya.

Maharani juga segera berlari menyusul Silvi. Meski dia masih belum begitu tahu apa yang sedang terjadi, tubuhnya sudah sangat lelah. “Hah? Pencuri?”

“Orang itu! Lihat orang itu! Dia baru mengambil uang dari laci kita!” Silvi menjelaskan dengan berteriak sambil berlari mengejar. “Aku sempat melihat dengan mataku!”

“HAH?! PENCURI?!” Suara Maharani mulai meninggi. Tatapannya bergerak mengarah ke lelaki dengan helm hitam yang sedang mengendarai motor. “HEY! PENCURI ...! PENCURI ...! PENCURI ...!”

“PENCURI ...! BERHENTI ...!!”

“PENCURI ...!!”

Mereka berdua mengejar secepat mungkin. Berlari dengan mengerahkan semua tanaga yang ada di tubuhnya. Tidak peduli capek. Tidak pedduli peluh. Mereka semakin mempercepat larinya mengejar pencuri itu. Lurus, ke arah lelaki dengan helm hitam.

Batu-batu besar. Kayu. Kursi. Apapun yang bisa mereka raih, segera mereka lemparkan ke arah pencuri itu. Mereka tidak ragu melempari pencuri itu dengan batu sebesar kepala. Sambil berharap benda yang mereka lempar mengenai kepala pencuri itu dan membuatnya bocor. Lalu pencuri itu terjatuh dari motornya.

“S-I-A-A-A-A-A-A-L-L-L-L ...! SIALAN ...!”

“AAARG!! B-E-D-E-B-A-H ...!”

“B-A-J-I-N-G-A-A-A-A-N-N ...!”

Pencuri itu berhasil kabur. Jarak mereka terlalu jauh. Pada kenyataannya kecepatan kaki tidak mungkin bisa menandingi mesin. Dan lemparan-lemparan yang mereka lakukan tidak mengenai sama sekali.

Mereka kesal. Mereka marah. Mereka capek. Tapi mereka tidak bisa apa-apa. Bahkan mereka harus putus asa untuk mengejar pencuri yang tubuhnya saja sudah tidak terlihat.

Mereka hanya bisa menangis sekeras-kerasnya. Meringkuk dengan penuh kekesalan, sambil menghabiskan sisa tenaga yang dimiliki. Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk mendaptkan uang kembali. Tidak ada orang yang bisa menolong. Tidak ada harapan. Semuanya terlihat sangat suram bagi dua perempuan itu.

Maharani dan Silvi harus putus asa pada hari pertamanya. Karena mereka hanya bisa pulang tanpa membawa apa-apa selain air mata.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now