(Sungai Krueng Baro Dari Jembatan Mila / Krueng Baro River From Mila Bridge)

Hari ini aku pulang kampung, guys. Bukan kampung tempat kelahiranku sih. Tapi kampung asal yang menjadi tempat kelahiran Abisyik & Misyik, panggilan kami untuk kakek dan nenek, yang terletak di kecamatan Mila, Pidie. Kampung kami bernama Pulo Tanjong, Metareum. Sebuah kampung yang dipimpin oleh seorang kepala desa, namun terpisah secara geografis oleh sungai Krueng Baro. Abisyik berasal dari Pulo dan Misyik dari Tanjong. Penduduk desa Pulo Tanjong tidak terlalu ramai. Kebanyakan dari penghuninya masih saudara satu dengan lainnya. Desa kecil yang asri ini sungguh sangat mengesankan untuk ditinggali.

Today I go back to my village, guys. It's not the village where I was born, but the homeland that became the birthplace of Abisyik & Misyik, our nickname for grandparents, which is located in Mila sub-district, Pidie. Our village is called Pulo Tanjong, Metareum. A village led by a village head, but separated geographically by the Krueng Baro river. Abisyik is from Pulo and Misyik is from Tanjong. The residents of Pulo Tanjong village are not too crowded. Most of the residents are still relatives with each other. This beautiful little village is really very impressive to live in.

(Pasir di sungai Krueng Baro yang menjadi harta Karun masyarakat desa Pulo Tanjong / Sand in the Krueng Baro river which is a treasure for the people of Pulo Tanjong village)

Penduduk desa ini kebanyakan berprofesi sebagai petani, berkebun, pegawai negeri sipil, guru, dan pedagang. Profesi yang lazimnya digeluti oleh masyarakat Aceh secara umum. Desa ini juga salah satu penghasil pasir yang digunakan untuk keperluan pembangunan rumah dan lain-lain. Orang dewasa dan anak-anak muda yang masih berbadan kuat dan sehat bergiat sebagai pengangkut pasir yang diambil dari sungai Krueng Baro. Hampir saban hari mereka bergelut dengan pengki dan pacul untuk memuat pasir ke dalam mobil truk atau pickup. Upah yang mereka dapatkan cukup memadai untuk mengebulkan asap di dapur mereka.

The inhabitants of this village mostly work as farmers, gardeners, civil servants, teachers, and traders. A profession that is usually practiced by the people of Aceh in general. This village is also one of the producers of sand which is used for building houses and others. Adults and young children who are still strong and healthy are active as transporters of sand taken from the Krueng Baro river. Almost every day they struggle with dustpans and hoe to load sand into trucks or pickups. The wages they earn are sufficient to live their life.

Watching the Football Game Of The Tournament At Gle Jruet Field, Mila.

Kepulanganku kali ini sedikit spesial dari biasanya. Selain bertujuan untuk ziarah ke makam Ayah dan Ibuku yang dimakamkan di desa ini, aku juga menyempatkan diri untuk menyaksikan Turnamen Sepakbola yang dihelat di lapangan Gle Jruet yang bertetangga dengan desa Pulo Tanjong. Sudah lama event sepakbola seperti ini tidak digelar. Apalagi semenjak pandemi yang entah kapan selesainya ini. Momen seru-seruan yang juga hiburan bagi masyarakat desa yang menggemari olahraga si kulit bundar. Sensasinya tidak kalah oleh liga-liga Eropa. Pemain yang berjibaku di lapangan dan sorak-sorai penonton adalah kegembiraan yang selalu indah untuk disaksikan.

My return this time is a bit special than usual. Besides aiming to visit the graves of my father and mother who are buried in this village, I also took the time to watch the Football game in the Tournament which was held at the Gle Jruet field which is next door to Pulo Tanjong village. It has been a long time since a football event like this previously held. Especially since the pandemic that I don't know when this will end. An exciting moment that is also entertainment for the villagers who like the soccer game. The sensation is as same as European leagues. The players struggling on the pitch and the cheers of the crowd is a joy that is always beautiful to behold.

Here are some pics about that soccer game

Private Party Of The Youth Of Pulo Tanjong

Selesai menonton bola aku kembali ke rumah peninggalan Abisyik. Disana, sesampainya aku di rumah, Bang Samsol yang mendiami rumah ini memintaku untuk tidak pulang ke simpang tiga. Akan ada pesta makan nasi lemak, Ikan sungai, plus asam udang yang sangat menggoda. Selepas shalat Isya, hajat makan enak mulai dilaksanakan. Berlokasi di bale santai di pinggir sungai, para anak muda mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Siang tadi, aku sempat terheran kenapa bale santai ini terlihat sepi. Ternyata mereka semua pergi untuk mencari ikan sungai. Barulah malam ini semua berkumpul untuk memasak nasi dan menggoreng lauk ikan sungai yang ditangkap siang harinya.

After watching the ball I went back to the relic Abisyik house. There, when I got home, Bang Samsol who lived in this house asked me not to go back to Simpang Tiga. There will be a feast of eating nasi lemak, river fish, plus tamarind prawns which are very tempting. After the Isha prayer, the desire to have a good meal began. Located in a relaxing bale by the river, the young people started to get busy preparing everything. This afternoon, I was surprised why this relaxing bale looks deserted. It turned out that they all went to look for river fish. Then, in this evening everyone gathered to cook rice and fry side dishes of river fish caught during the day.

Setelah menunggu selama kurang lebih satu jam, semua bahan makanan selesai diolah. Asam udang dengan kombinasi cabai rawit, belimbing sayur, dan daun jeruk sungguh menggugah seleraku untuk menyantapnya. Ikan sungai yang digoreng kering terlihat ingin segera memasuki perutku. Dan ketika saatnya tiba, aku dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa nasi lemak yang disajikan sungguh merupakan nasi ternikmat yang pernah kunikmati. Aku sangat ingin mencium sang koki yang memasaknya. Tekstur nasi yang lembut dan aromanya yang harum sukar untuk aku deskripsikan nikmat yang teramat sangat ini. Sungguh momen kebersamaan yang tak akan terlupakan.

After waiting for about an hour, all the food ingredients are finished processing. The sour shrimp with the combination of cayenne pepper, vegetable starfruit, and lime leaves really tempts me to eat it. The dry fried river fish looks like it wants to enter my stomach immediately. And when the time came, I was forced to accept the fact that the nasi lemak served was truly the most delicious rice I've ever had. I really wanted to kiss the chef who cooked it. The texture of the rice is soft and the aroma is fragrant, it's hard for me to describe this very delicious delight. It's an unforgettable moment together.

Here are some images about that moment

Sekian dulu postingan kali ini teman-teman. Semoga yang menyempatkan diri untuk mampir di postingan ini bisa menikmati apa yang tersaji. Budaya kekompakan semacam ini wajib untuk kita pelihara. Desa sebagai kekuatan ekonomi harus terus diperkuat agar warganya tidak hijrah ke kota yang masih penuh dengan tanda tanya. Tetap semangat untuk terus berkarya dan melakukan sesuatu yang positif dalam keseharian. Semoga bermanfaat bagi masing-masing kita dengan apapun aktifitas yang dilakukan. Terimakasih untuk atensi dan kurasi dari yang sudah bersedia untuk mampir di postingan saya. Sampai jumpa di postingan berikutnya.

That's all this post, friends. Hopefully those who take the time to stop by here can enjoy what is presented. This kind of culture of cohesiveness is obligatory for us to maintain. The village as an economic power must continue to be strengthened so that its citizens do not move to cities which are still full of question marks. Keep the spirit to continue to work and do something positive in everyday life. Hopefully it will be useful for each of us with whatever activities we do. Thank you for the attention and curation of those who are willing to stop by at my post. See you in the next post.