Pertemuan Bahagia di Stasiun Duren Kalibata

Cerpen

Aku sedang menunggu commuter untuk tujuan Gondangdia, siang tadi. Tidak jauh dari tempat aku menunggu, seorang Bapak, sekira 65 tahun menelepon, dan menarik perhatian.

30A1D35B-5DC1-4950-88A7-467EEABF12FF.jpeg

Wajahnya menampakkan banyak kerutan, pertanda dia sudah manula. Tetapi dibalik kerutan wajah tuanya, terlihat bahwa bapak ini dulunya seorang yang tampan, terawat dan perlente.

Bapak itu sibuk menelpon, memakai HP jadul berukuran kecil, dan dari jawaban yang dia terima dari telepon memperlihatkan, ia sedang kecewa dan lelah.

“Nak, ayah sekarang di stasiun, mau pulang ke rumah ayah ga tahu rutenya,” katanya dengan memakai handphone jadulnya.

“Ayah gak bisa pulang, mau naik taksi atau atau ojek, ayah ga punya duit. Nak jemput ayah,” pintanya.

“Ayah ga punya duit Nak. Dompet ayah ketinggalan di rumah Om Aji.”

“Nak ayah sudah tua, ga sangup dan ga tahu angkot ke rumahmu. Kamu tahu ayah pulang dari Bogor terapi paska stroke. Ayah ga tahu rutenya. Kamu telpon balik ya, pulsa ayah habis.”

87A881AF-BF5B-434B-A73B-0908412C9C4D.jpeg

Lalu lelaki tua itu menutup telepon dan menunggu di bangku panjang stasiun kereta. Wajahnya bingung dan kelihatan sangat gelisah. Sekitar lima belas menit aku perhatikan gerak geriknya dan kelihatan wajah tuanya yang kecewa.

“Pak, mau saya belikan Aqua?” Sapa saya, karna saya tahu dia kehausan karna kelihatan wajahnya berkeringat.

Ia sungkan menjawab ya, karena kami memang belum berkenalan. Tetapi, dengan ragu ia berkata:

“Baik sekali kamu Nak. Tetapi ga usah repot-repot, saya baru minum tadi di Bogor.”

“Oh, gak repot kok Pak. Saya belikan ya?”

DC473332-C4FA-4BB1-9C83-FA7E4F191B38.jpeg

Saya beranjak pergi tanpa melihat wajah lelaki tua Itu untuk persetujuan.

Di dalam area stasiun memang ada mini market, toko roti, mesin ATM, toilet dan mushalla.

Saya membelikan dua botol air mineral dan dua potong roti, lalu menghampirinya.

Setelah memberikan sebotol air dan sepotong roti, saya menyodorkan tangan sembari memperkenalkan diri.

“Jeka!” Kata saya.

“Saya Mustofa Nak. Nak Jeka tinggal dimana?”

“Saya di Rawajati Pak, ga jauh dari sini. Bapak tinggal di mana?”

“Saya di Condet. Lagi menunggu telepon anak untuk jemputan?”

“Oh jadi belum ditelpon anak bapak?”

“Itulah, sudah 20 menit saya menunggu, dia belum telepon juga.”

“Boleh saya telepon dia? Berapa no handphonenya?”

“Oh boleh, Nak Jeka.”

Pak Mustofa membuka handphonenya dan memberikan kepadaku meminta untuk mencari sebuah kontak bernama Retno. Saya tekan nomer Retno yang tertera di handphonenya.

Nomornya terkoneksi, tetapi tidak diangkat. Saya mencoba lagi, mencoba lagi dan lagi, sampai tiga kali. Lalu saya mengirimkan sebuah pesan singkat:

“Mba Retno, saya bersama Pak Mustofa, ayahanda mba. Boleh saya telpon lagi, ayahanda mau bicara.”

Tidak ada balasan apapun. Sampai akhirnya, saya sampaikan ke Pak Mustofa:

“Pak, anak bapak belum angkat telepon, mungkin dia ketiduran atau sibuk. Boleh saya pesankan grab untuk Bapak?”

Pak Mustofa kembali ragu menjawabnya.

“Bapak ga usah kawatir, saya yang bayarkan.”

“Wah, terimakasih banyak Tuhan. Ketika anak saya mengabaikan saya, Engkau kirimkan seseorang yang baik hatinya!” Orangtua itu meneteskan airmata.

“Bapak, jangan berlebihan. Saya mungkin tidak sebaik yang bapak duga.Tetapi melakukan sesuatu untuk seorang tua yang dalam situasi emergensi seperi Bapak, itu adalah kewajiban saya.”

“Ya Nak Jeka. Terimakasih banyak Nak.”

“Sama-sama Pak.”

Saya kemudian membimbingnya keluar dari stasiun untuk mengajaknya keluar menunggu jemputan grabcar yang sudah saya pesan. Saya ingin sekali mengantarnya sampai ke rumah, tetapi saya agak terburu-buru, karna saya ada janji bertemu klien yang sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal yang sudah saya agendakan.

Setelah jemputannya datang, ia pamit. Ia minta izin agar bisa memeluk saya. Saya buka lebar tangan saya, dan kami berpelukan. Saya terharu.

462BE748-0AFA-41E6-BCE7-313D0E5BE9CD.jpeg
Photo: Google

Setelah mobil jemputannya menjauh, saya bergegas, masuk kembali ke stasiun, yang nyaris bersamaan dengan datangnya commuter dari Bogor menuuju Jakarta Kota.

Saya menikmati perjalanan yang penuh sesak penumpang itu dengan bahagia. Saya menceritakan pengalaman ini, sebagai bagian dari saya berbagi kebahagiaan itu.

Kalibata, 24 Maret 2018

Salam, @jkfarza
91C6F78D-97BE-4A37-B21A-BF727F94A57E.jpeg

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center