Tanda Pengikat | Shirt, eps, Short Story |

Tanda Pengikat

Cerpen @ayijufridar

Awasome.jpg

TINGGAL satu hari lagi, tetapi Nanda belum bisa membuat keputusan. Dia berada dalam kebimbangan. Di satu sisi, Nanda ingin memberikan yang terbaik. Tapi di sisi lain dia juga tidak ingin membohongi Athari, sekaligus membohongi dirinya sendiri.

Satu hari lagi Athari akan pindah, mengikuti papanya yang dipindahtugaskan ke Papua. Katanya sih dapat promosi karena menjadi komandan Korem di sana. Seluruh keluarga Athari menyambut gembira meski mereka harus tinggal di Kota Jayapura, jauh dari gemerlap Jakarta. Bagi keluarga Athari, tinggal di mana saja tidak masalah karena mereka harus mendukung tugas negara yang diemban papa mereka sebagai perwira TNI. Bagi Athari juga tidak masalah. Mereka pernah tinggal di Aceh semasa konflik bersenjata. Kemudian pindah ke Medan, Jakarta, dan sekarang ke Jayapura. Athari sudah bisa menikmatinya karena sudah terbiasa dalam suasana seperti itu.

Tapi itu dulu, sebelum Athari mengenal Nanda dan sebelum Nanda mengenal Athari. Kini, dalam keluarganya hanya Athari sendiri yang berat untuk pindah. Dia sudah merengek sama mama dan papanya. Minta tidak usah ikutan pindah, tetapi tinggal di Jakarta meski harus jadi anak kos. Atau dia numpang di rumah Om Tanzil, adik papa yang tinggal di Bekasi.

“Tanggung Pa, kan cuma setahun lagi.”

“Justru karena setahun lagi kamu harus ikut!”

“Nanti kalau sudah kuliah, Atha kan tinggal juga di Jakarta sendiri.”

“Sekarang kan belum kuliah. Pokoknya tidak boleh ada anak papa yang tercerai-berai.”

Athari sudah merengek ke mamanya. Minta mama mengeluarkan jurus rayuan pulau kelapa. Tapi mama malah mendukung keputusan papa. Akhirnya, mau tak mau Athari terpaksa menuruti keputusan papanya. Mentang-mentang komandan, keputusan papa tak boleh ditentang. “Seharusnya, dalam keluarga Papa kan harus demokratis,” kata Athari kepada Nanda dengan wajah sedih.

Nanda tidak tahu harus berkata apa. Inginnya menghibur Athari. Tapi gimana mau menghibur cowok itu kalau dia sendiri sedih, bahkan mungkin lebih sedih dari yang dibayangkan Athari. Sudah setahun dia mengenal cowok baik itu, tapi baru sebulan mereka jadian dan langsung harus berpisah. Siapa yang tak sedih.

Nah, sebagai tanda pengikat hubungan, Athari mengajak Nanda tukaran barang kesayangan. Ketika mendengar gagasan itu, Nanda langsung protes. “Barang kesayangan kamu motor gede itu. Pasti papamu nggak setuju lagi.”

“Siapa yang mau ngasih moge ke kamu,” Athari tertawa. “Maksudku, barang kesayangan yang harganya nggak terlalu mahal, tapi sangat bernilai bagi kita. Sangat kita sayangi. Barang itu bisa apa aja. Mungkin aku nggak tahu barang apa itu, kamu juga gitu. Nggak usah kasih tahu sekarang,” sambung Athari cepat ketika melihat bibir Nanda bergerak. “Lebih seru nanti.”

“Kapan?”

“Saat aku berangkat. Kamu harus nganterin sampai bandara.”

Dan waktu keberangkatan Athari dan keluarganya adalah besok melalui Halim dengan pesawat Hercules. Nanda akan berangkat bersama teman-teman sekolah yang juga sudah menyiapkan kado khusus buat Athari. Mereka patungan membeli kado buat Athari dan Nanda juga ikutan ngumpulin uang buat kado tersebut. Tapi kado khusus dari Nanda tentulah yang paling berarti.

Di situlah masalahnya. Nanda khawatir barang kesayangan itu akan dianggap menghina Athari. Selain itu, dia juga malu menyerahkan barang kesayangannya kepada cowok itu. Habis, barang itu adalah sepotong kaos buntung yang sering dipakai saat santai di rumah. Saking seringnya dipakai, kaos itu sudah rada butut sehingga mama pernah berniat membuangnya.

Mbak Nela pernah hendak menjadikannya alas kaki. Kejam sekali. Nanda sampai nangis-nangis darah untuk mempertahankan kaos kesayangannya itu. Nanda sayang sekali dengan kaos tersebut meski mama sudah membeli banyak kaos dengan berbagai warna, berbagai bentuk, dan berbagai merek. Kaos itu sangat lembut karena terbuat dari 100 persen cotton. Pas banget di tubuh Nanda dan selalu membuatnya nyaman. Warnanya biru sehingga terkesan romantis.

Seluruh keluarganya pasti marah besar kalau sampai tahu dia menyerahkan kaos itu kepada Athari, terutama mama yang sudah kenal dengan mamanya Athari. Sepotong kaos oblong itu tentu dianggap mewakili wibawa keluarga. Menyerahkan kaos butut pasti dianggap memalukan keluarga. Nanda sependapat. Dia sendiri juga malu bila kaos itu yang diserahkan kepada Athari. Tapi itulah barang kesayangannya saat ini, dan mungkin juga nanti.

Dia bisa saja membeli barang lain dan mengatakan benda itulah miliknya yang paling disayangi. Namun, itu artinya membohongi Athari dan dirinya sendiri. Mereka sudah sepakat, apa pun jenis dan bentuk barang itu tak menjadi masalah.

“Kalau bernilai bagimu, juga bernilai bagiku. Aku akan merawatnya seperti kamu merawatnya. Begitu juga dengan kamu.”

Betapa bahagianya Nanda dengan kesepakatan itu. Dengan cara demikian hati mereka akan selalu terpaut meski raga terpisah jauh. Nanda tak tahu darimana Athari mendapatkan gagasan itu, dia tak sempat menanyakannya karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Mungkin itu murni dari ide Athari, tapi bisa jadi dia mengadopsi dari orang lain. Apa pun itu, Nanda sangat setuju dan merasa lebih ringan jika harus melepaskan Athari. Hanya kaos biru itu yang membuatnya berat.

Sambil menimbang-nimbang keputusan yang akan diambil, Nanda memikirkan barang kesayangan milik Athari yang akan diserahkan kepadanya besok. Bisa jadi, barang itu sangat bernilai dan harganya pun tinggi. Tapi bagaimana jika Athari juga akan menyerahkan barang butut yang tidak disangka-sangka. Nanda merasa tidak perlu secemas sekarang karena bisa saja barang kesayangan Athari tidak jauh berbeda dengan miliknya. Bisa jadi bukan t-shirt, tapi siapa tahu hanyalah sarung tangan. Memang bukan sarung tangan biasa, tetapi sarung tangan yang sering dipakai Athari ketika menjadi kiper di sekolah sepakbola. Cowok itu pernah bercerita bagaimana ia menjadi pahlawan ketika digelar kejuaraan nasional U-18. Selain karena kemampuan seluruh pemain, Athari percaya karena sarung tangan kesayangannya sehingga di partai final ia berhasil menepis sejumlah eksekusi penalti. Padahal, mulanya ia hanya kiper cadangan yang harus dipasang sebagai pemain inti setelah kiper pertama cedera.

Pikiran itu tidak juga mengurangi rasa cemas Nanda. Memikirkan hal itu malah membuatnya semakin cemas. Apakah sebaiknya dia membeli kado lain yang lebih layak, yang akan membuat Athari lebih berkesan dan selalu mengingatnya? Barang baru justru akan membuat Athari curiga. Kalau cowok itu kecewa, pasti lebih buruk bagi Nanda karena setelah ini mereka akan lama berpisah, seenggaknya sampai setahun.

Ponsel Nanda tiba-tiba berbunyi hingga membuat Nanda terkejut. Pertama, terkejut karena pikirannya sedang tidak fokus. Dan kedua, dari nada panggil dia sudah tahu siapa yang menelepon.

“Nda… sedang bingung mikirin kado?”

“Kok tahu?”

Feeling aja. Nggak perlu bingung, tinggal bungkusin benda kesayangan kamu. Aku nggak mau yang lain.”

Iya, aku tahu, sahut Nanda dalam hati. “Kamu sendiri gimana, sudah nyiapin barang kesayangan kamu?”

“Sudah dong. Bahkan sudah tiga hari lalu. Besok akan kuserahin ke kamu. Semoga kamu senang.”

“Tentu, aku senang banget.”

Tapi malam ini Nanda susah setengah mati, apalagi setelah mendengar Athari sudah menyiapkan barang kesayangannya. Kalau sampai dia tidak bisa mengambil keputusan sampai besok pagi, habislah sudah. Athari tentu sangat kecewa dan sedih, dan Nanda tidak bisa memaafkan diri sendiri kalau sampai itu terjadi.


Bandara Halim tampak sepi. Hanya terlihat beberapa orang berpakaian militer terlihat berlalu-lalang atau sedang mengobrol, selebihnya para keluarga militer seperti Athari. Hampir tak terlihat orang yang mengantar seperti Nanda dan teman-temannya.

Nanda masih sibuk dengan isi kadonya yang sengaja ia simpan dalam tas agar tidak menjadi pertanyaan teman-temannya. Dia sudah berniat menyerahkan kado tersebut ketika berduaan dengan Athari. Syukurnya, Athari seolah mempunyai pikiran sama. Setelah saling berpelukan dengan teman-temannya di ruang VIP, dan menyerahkan kado dari teman-teman kepada ajudan papanya, dia minta waktu sejenak untuk bersama Nanda. Kontan saja teman-temannya pada meledek. Athari dan Nanda hanya tersenyum malu-malu.

Ketika mereka bebas dari pandangan teman-teman, Athari segera mengeluarkan kado dari ranselnya dan Nanda mengeluarkan kado dari tasnya. Ukuran kado Athari lebih kecil dibandingkan kado yang diserahkan Nanda ke cowok itu.

“Aku harap kamu bisa merawatnya,” kata Athari.

“Aku harap kamu bisa merawatnya,” balas Nanda. Kemudian mereka larut dalam kebersamaan.


Setelah mereka berpisah, Nanda tak sabar untuk membuka kado yang diserahkan Athari. Dengan alasan harus ke toilet, dia buru-buru meninggalkan teman-temannya yang sedang bersiap untuk pulang. Athari sudah akan terbang sebentar lagi. Tadi Nanda sempat melihat cowok itu masuk ke dalam pesawat Hercules yang sesaat lagi akan membawa cowok itu ke Makassar hanya untuk satu jam, dan berlanjut ke Jayapura untuk satu tahun.

Nanda merasa separuh hatinya ikut terbang bersama Hercules tersebut.

Tak sabar ia merobek kertas kado di dalam toilet. Hatinya yang tinggal separuh hati, berdebar-debar ketika membuka kotak dan menemukan sebuah amplop yang berisi KTP Athari, KTP Jakarta!

KTP memang sangat berarti bagi Athari, bagi Nanda, dan bagi semua orang. Tapi benda itu tidak seharusnya diberikan kepadanya. Apa maksud Athari memberikan KTP tersebut. Apakah karena dia tidak lagi menjadi warga Jakarta dan segera akan mendapatkan KTP Papua?

Nanda tidak berhasil menemukan jawabannya karena tiba-tiba HP-nya berdering. Teman-temannya memanggil. Ketika Nanda sudah berbaur kembali dengan teman-temannya, ia heran melihat Athari berada di antara teman-temannya. Cowok itu sedang tertawa-tawa menerima umpatan teman-teman.

“Sudah membuka kadoku?” tanya Athari ketika melihat kehadiran Nanda.

“Kado yang berharga. Tapi tak seharusnya kamu berikan ke orang lain.”

“Siapa yang berikan, kamu selalu kegeeran, deh. Aku hanya nitip beberapa menit saja. Aku butuh barang itu, jadi harus aku ambil balik.”

“Maksudnya?”

“Papa berubah pikiran. Aku diizinkan kelarin sekolah di Jakarta. Sebenarnya sudah empat hari lalu kabar gembira itu disampaikan Papa. Tapi aku pengen buat kejutan buat kalian…,” Athari memandang teman-temannya lalu beralih ke Nanda, “terutama buat Nanda.”

Kembali tinju-tinju ringan mendarat di tubuh Athari disertai umpatan. Cowok itu hanya tertawa-tawa saja. Ada yang nyelutuk minta kado mereka dikembalikan.

“Oya, aku juga terima kado khusus dari Nanda. Kalian setuju aku membukanya di sini?”

“Atha!” tatap Nanda dengan wajah bersemu merah. “Aku akan pindah ke Jayapura kalau kadonya kamu buka di sini. Serius. Kalau kadomu aku balikin, kadoku juga harus dibalikin.”

Athari kembali tertawa. Apa pun isi kado Nanda, dia tidak akan mengembalikan kepada cewek itu. Dia akan menyimpannya sampai kapan pun, seperti ia menyimpan hati gadis itu di dalam hatinya.***

Cerpen ini pernah dimuat di majalah GADIS edisi 27 Maret - 6 April 2015 .

Badge_@ayi.png

DQmNuF3L71zzxAyJB7Lk37yBqjBRo2uafTAudFDLzsoRV5L.gif

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center