BEO SIALAN

Oleh @ayijfridar

RUMAH Vidi ketambahan anggota baru. Anggota yang lucu, jelek, sekaligus nyebelin. Bulunya hitam metalik. Paruhnya oranye kekuning-kuningan, plus dua gelambir dengan warna senada.

Yah. Anggota baru itu memang seekor burung beo. Seorang teman sekantor Papa panik dengan kasus flu burung yang merebak. Khawatir tertular virusnya, beo itu diberikan ke Papa yang diterima dengan senang hati. Soalnya, beo itu pinter banget. Dengan anak Tante Mila yang baru lahir itu, lebih pinteran dia kalo disuruh ngomong.

Namanya keren; Tommy. Tapi orangnya, eh, burungnya, nyebelin banget. Kicauannya nyelekit dan bikin sakit hati. Dua hari setelah Tommy hadir di rumah, Vidi langsung nempatin Tommy di urutan pertama sebagai musuh yang harus dibasmi. Dia sempat nakutin Papa dengan virus flu burung. Tapi papanya tenang aja. “Kalo dijaga kebersihannya dan disemprot dengan desinfektan, mudah-mudahan nggak terkena virus,” begitu jawab Papa. “Virus Steemit sekarang sedang mewabah, orang malah senang,” sambungnya dengan suara pelan, tapi tentu saja Vidi yang rada budeg dikit, nggak dengar. Papa sengaja ngomong pelan, takut Vidi ketagihan Steemit dan malas belajar.

Memang wajar Vidi sebel sama Tommy. Soalnya sama seperti Aji, Tommy suka banget ngeledekin Vidi. Bahkan lebih sadis lagi, Tommy ngeledek Vidi tanpa liat sikon. Di depan Vini pun dibantai abis. Benar-benar nggak berperikeburungan. Celakanya, sangkar Tommy dipasang persis di depan jendela kamar Vidi.

Hari pertama ia hadir di rumah, Papa ngenalin anggota keluarga sama Tommy. Dimulai dari Mama.

“Ini mamamu. Kalo butuh apa-apa, minta aja ke Mama.”

“Halo Mama. Halo Mama. Saya butuh mobil.”

Mama dan Vici kaget karena menduga Tommy yang bicara dengan suara halusnya. Ternyata itu suara Vidi yang niru suara burung beo. Miriiip banget. Tapi rupanya itu awal yang nggak bagus. Tommy menatap Vidi nggak senang. Bola matanya yang kecil itu seperti ngajak bermusuhan.

“Yang ini Vici, kakakmu. Kelas dua SMA,” lanjut Papa.

Tommy bersiul kayak cowok bersuitan pas ngeliat cewek cakep.

“Cantik…cantik…” serunya Tommy sambil terus bersuitan.

Mama dan Vici langsung terkikik. “Hihihi. Beo aja tau aku cantik. Apalagi manusia,” ujar Vici senang.

“Naah, yang terakhir ini abangmu, Vidi. Masih kelas dua SMA juga karena tinggal kelas dua tahun. Ayo Tommy, kasih salam buat abangmu!”

“Salam manis buat semua… Orang budeg gak ada guna…!” ujar Tommy membuat semua orang di situ tersentak kaget. Vidi yang udah siap cengengesan, kontan aja wajahnya berubah keruh kayak jeruk puruk disiram cuka.

Dari mana ia tahu aku budeg, sungut Vidi dalam hati.

Beo ini bisa ngomong panjang banget, kata Papa dalam hati.

“Vidi jelek… Vidi jelek… Vidi jelek!” tambah Tommy sambil meloncat ke sana ke mari.

Vidi dekatin mulutnya ke sangkar Tommy yang terbuat dari batangan besin kecil dan dicat warna-warni.

“Kamu yang jelek! Beo sialaaaan!!!” teriaknya keras. Beo yang cerdas dan lucu itu pun pingsan saking kagetnya.



Source


Itu baru hari pertama. Hari-hari selanjutnya Vidi bagai hidup di neraka karena kelakuan Tommy. Parahnya, burung itu nggak kenal sikon. Di depan tamu atau Vini, seenak gelambirnya aja ngatain Vidi.

Pernah suatu hari, Papa ngenalin Tommy pada teman sekantornya.

“Ayo Tom, tunjukin kepandaianmu pada teman Papa ini.”

Beo itu bengong sejenak, berlagak mikir. Nggak lama kemudian, terdengar suara dut… duuuut dari paruhnya berkali-kali.

Papa bersama temannya yang datang dengan seorang putrinya yang kece, menatap heran.

“Suara apaan, tuh?” tanya Papa.

“Vidi kentut… Vidi kentuuut…”

Kontan aja semua orang terbahak. Di dalam kamarnya, Vidi yang sudah siap keluar buat ngecengin anak teman Papa itu, langsung balik kanan lagi dan rebahan di ranjang. Kalo nggak ada teman Papa dan anak gadisnya itu, pengin rasanya memaki Tommy sampe pingsan. Bisa-bisanya beo sialan itu nyebar fitnah. Memang sih, paginya Vidi sempat buang gas. Tapi suaranya nggak stereo kayak ditiru Tommy.

Di depan Vini pun, Vidi sempat dibuat malu.

Ceritanya, malam itu Vidi mimpi mancing di kali dengan Aji. Ikannya belon dapat, Vidi udah sepi alias sesak pipis duluan. Setelah nengok kiri kanan nggak ada orang, dia langsung nembak ke kali. Ikan di kali yang sejak satu jam tadi nggak mau nyentuh umpan Vidi dan Aji, kali ini mengapung satu-satu di atas permukaan air. Semuanya teler akibat keracunan urinnya Vidi yang baunya sampe keliatan.

Paginya, Vidi terbangun saat digebukin Mama dengan kemoceng.

“Udah gede masih ngompol. Ayo bangun, jemur kasur sana!”

Vidi buru-buru bangun dan ngucek matanya. Di luar terdengar tawa Papa. Tapi pas Vidi ke luar buat ngejemur kasur, ternyata yang ketawa itu bukan Papa.

“Beo jelek!!” maki Vidi.

“Beo jelek… tak ngompol. Beo jelek… tak ngompol…” katanya dengan suara lucu kayak anak-anak. Setelah Vidi mandi dan sarapan, kalimat penuh sindiran itu bertambah lebih nyelekit; “Vidi jelek… ngompol. Vidi jelek… ngompol…”

Vici yang sedang bersiap ke sekolah bareng Papa, ngikik berat dengerin sindiran Tommy buat abangnya. Namun, ia sempat keder juga waktu Vidi ngancam.

“Awas lo, kalo nyeritain ke Vini. Kita bukan sodara lagi!”

Vici emang nggak nyeritain tragedi memalukan itu demi menjaga citra abangnya. Tapi akhirnya cewek itu tau juga waktu main ke rumah. Yang nyeritain, ya si Tommy itu dengan kalimat pendek berulang-ulang dan suara kayak anak kecil!

Duh! Vidi jadi tengsin berat. Untuk mengobatinya, terpaksa dia puasa selama dua minggu. Maksudnya, puasa nggak liat wajah Vini, gituuu.

Dengan daftar dosa yang demikian panjang, wajar kan kali Vidi nganggap Tommy sebagai musuh utamanya. Dia kesal banget sama beo itu. Kalo Papa, Mama, danVici selalu ketawa bila Tommy berkicau tentang apa aja, Vidi malah cemberut. Kalo rasa kesalnya udah sampe ke ubun-ubun, dia teriak “beo jeleeeek” di dekat sangkar Tommy dengan suara keras bak petir di celana bolong, eh, petir di siang bolong!

Tapi itulah. Namanya juga beo. Burung yang gape bicara itu selalu ngulang kalimat yang sama. Setelah Vidi histeris di dekat sangkarnya, Tommy langsung nyambung; “Beo jelek… tak ngompol… Vidi jelek… ngompol…”

Siapa yang nggak kesal, coba!

Karena itu, Vidi berniat nyingkirin Tommy dari rumah mereka. Setiap ada berita tentang pasien suspect flu burung di TV maupun koran, dia langsung nakutin Papa. “Dengerin Pa, pelihara burung resikonya gede. Bisa kena flu burung.”

“Makanya kebersihan burung dan sangkarnya harus dijaga. Sesekali disemprot antifektan dan bila perlu periksa ke dokter hewan,” selalu begitu jawaban Papa.

“Vidi yang sakit aja nggak pernah Papa bawa ke dokter.”

“Ya udah, kalo sakit besok Papa bawa kamu ke dokter hewan.”

Terdengar suara tawa Tommy yang niru suara tawa Papa. Bikin Vidi tambah kesal.

Di lain waktu, Vidi ngandelin Messi untuk bikin Tommy stress. Kucing bulu putih itu dipanas-panasin di depan sangkar Tommy. Tapi, jangankan menerkam, mengeong aja dia ogah. Malah, Tommy dengan fasihnya meniru suara kucing mengeong. Bikin Vidi tambah kesal aja.

“Pa, dengar-dengar nih, pemerintah akan buat sertifikasi burung,” pancing Vidi pas ada info begitu.

“Ya, Papa juga udah tau.”

“Prosesnya paling sulit, Pa. Salah-salah, kita bisa kena denda kalo burung kita nggak sehat.”

“Burung kamu kali, yang nggak sehat, hahahaha…” kali Papa beneran yang ketawa karena mereka sedang berada di ruang tamu. “Papa punya kawan di Dinas Peternakan. Sertifikasi burung nggak sulit, kok!”

Nggak mempan lagi.

“Kayaknya Vidi nggak senang dengan Tommy?” tanya Papa yang ngerti perasaan anaknya.

“Emang. Vidi paling sebel sama burung Papa itu,” sungut Vidi.

“Jangan gitu, dong! Kan Papa nggak pernah nyebelin burung kamu.”

Mama sama Vici nyengir.

“Lagian, kamu sama burung aja terlalu berperasaan. Sama burung aja diambil hati. Namanya aja binatang, mana peduli orang lain mau tersinggung atau nggak,” tambah Papa.

“Justru karena dia binatang makanya harus diusir dari rumah ini. Kan nggak mungkin Papa ngusir Vidi yang anak sendiri.”

“Mungkin aja, Vid…” timpal Vici. “Seandainya kamu nggak ada manfaatnya lagi buat keluarga, dengan sangat terpaksa kami akan mengusirmu. Iya kan, Ma?”

Mama cuma nyengir aja.

“Udahlah, Pa. Jual aja si Tommy jelek itu. Harganya pasti mahal,” saran Vidi lagi.

“Burung itu pemberian orang, Vid. Papa nggak pernah menjual pemberian orang.”

“Kalo pemberian Tuhan boleh dijual ya, Pa? Vidi kan termasuk pemberian Tuhan. Jual aja deh, Pa!” timpal Vici lagi.

“Lo aja yang dijual!” sahut Vidi sembari ngeloyor pergi. Sementara Mama menatap Vici dengan mata setengah melotot, isyarat agar Vici jangan menggodai kakaknya lagi.



[Source}(https://pixabay.com/en/parrot-bird-animal-pet-beak-1246663/)


Esoknya, pagi-pagi sekali, Papa kaget melihat sangkar Tommy nggak ada lagi di tempatnya. Sangkar besi yang dicat aneka warna itu dipasang di dekat jendela Vidi yang berhubungan langsung dengan teras samping. Sejak pertama kali sudah di situ, dan nggak dipindahin sampe tadi malam. Sebelum tidur, Papa sempat menjenguk Tommy, sekadar ngucapin met bobo. Vidi yang ada di dalam kamar malah nggak dijenguk sama sekali.

Pikiran Papa langsung tertuju ke Vidi. Dengan cepat ia menerobos kamar Vidi dan narik selimut anak itu yang sedang meringkuk.

“Kenapa, Pa? Ada maling?” tanya Vidi kaget.

“Di mana kamu sembunyiin Tommy?” todong Papa.

Suara Papa sebenarnya udah cukup keras. Tapi karena masih ngantuk, pendengaran Vidi belon bisa bekerja dengan sempurna.

“Aduuh Papa, pagi-pagi sudah nyuruh beli mie.Emang Mama nggak masak apa?”

“Bukan mie. Tapi Tommy. T-O-M-M-Y. Tommy. Jelas?!”

“Kenapa Tommy?” Vidi langsung masang wajah nggak semangat.

“Dia hilang. Pasti kamu yang sembunyiin? Atau sudah kamu jual?”

“Tommy ilang?” Vidi kaget beneran.

“Jangan pura-pura kaget. Ayo, ngaku terus terang. Kamu yang sembunyiin Tommy kan?”

“Papa kok nuduh, sih? Vidi kan lagi tidur, mana sempat lepasin burung Papa.”

“Alasan nggak masuk akal. Sekarang Papa minta baik-baik, kembaliin Tommy ke tempatnya!”

“Bukan Vidi yang ngambil, Pa. Sumpah!”

“Ada apa ini pagi-pagi udah ribut?” Sosok Mama tiba-tiba muncul di dekat pintu kamar. Tangannya masih memegang sodet penggorengan.

“Anakmu ini, seenaknya aja sembunyiin Tommy. Dikirain harga beo itu murah apa?”

“Bukan Vidi, Ma. Vidi nggak tau soal ilangnya burung Papa itu. Vidi emang benci sama dia, tapi nggak pernah punya niat untuk sembunyiin dia. Kepikiran aja nggak! Demi Allah!!”

Vici muncul dengan baju tidur dan rambut yang kusut. Matanya yang belon bisa terbuka sempurna, menatap bingung ke arah Papa, Vidi, dan Mama.

“Mana ada penjahat yang mau ngaku. Papa nggak mau dengar alasan kamu lagi. Sekarang kamu cari Tommy sampe dapat. Kalo belon ketemu, kamu nggak boleh pulang!”

“Pak..?” Mama kaget liat kekerasan Papa yang nggak biasanya.

“Biar aja. Dia emang harus diberi hukuman. Biar kapok!”



Source


Vidi bengong dengan wajah sedih di depan pasar burung. Duduk di atas trotoar jalan kayak pengemis mengharap recehan. Matanya berkaca-kaca karena nahan airmata yang mengenang di kelopak. Aji yang duduk di sampingnya ikutan sedih.

Keduanya masih mengenakan seragam sekolah. Tapi keduanya nggak masuk sekolah. Vidi dan Aji emang satu SMA. Beda dengan Vici yang sekolah di SMA yang lebih berkelas.

“Udahlah, Vid. Lo nggak usah terlalu sedih. Ntar lagi burung papamu pasti dapat,” hibur Aji.

Nggak ada reaksi apa-apa. Vidi masih tetap sedih.

“Lagian burung papamu itu kebangetan, pake ngilang segala.”

Vidi jadi tambah sedih karena ingat sikap Papa yang main tuduh sembarangan.

“Tapi kalo dipikir-pikir, wajar aja papamu marah gitu. Beo itu kan mahal. Kalo dijual laku belasan juta rupiah, bahkan mungkin puluhan. Lha, kalo lo, diberi gratis pun belon tentu ada yang mau.”

Vidi melotot. “Orang lagi sedih bukannya dihibur, malah dihina!”

“Sori, sori. Tadinya gue emang pengin ngibur kamu. Tapi karena nggak punya bakat pelawak, hiburanku malah bikin lo tambah sedih. Udahlah, nggak usah dipikirin lagi. Mendingan kita cari beo itu lagi. Siapa tau kali ini nemu,” Aji ngulurin tangan di depan hidung Vidi.

Kedua cowok itu berbaur kembali dengan kesibukan di pasar burung. Setiap ada beo, langsung diperhatiin dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dan kalo ada yang mirip Tommy, perhatian mereka lebih seksama dan dalam tempo yang nggak bisa dibilang singkat. Penjual burung sampe curiga karena beonya dipelototin terus.

Vidi dan Aji sempat mendapat hiburan ketika seorang kakek-kakek terpesona ngeliat beo yang pinter ngomong. Saking kagumnya, kakek itu ngeliat lebih dekat lagi hingga ujung hidungnya nyentuh sangkar si beo.

“Ngapain lo tengok-tengok?” tanya beo galak.

“Maaf Pak, saya kira Bapak ini burung,” sahut kakek-kakek itu seraya ngeloyor pergi.

Hampir dua jam mereka mutar-mutar di pasar burung itu. Vidi udah putus asa dan ngajakin pulang. Tapi Aji menahannya. Mereka mutar lagi kayak gasing sampe akhirnya ngeliat cowok dengan gaya mencurigakan. Cowok itu nampak takut-takut cemas membawa sangkar burung yang… astaganagasari, mirip banget dengan sangkar Papa eh, sangkar burung Papa.

“Dijual burungnya, Bang?” tanya Vidi mendekat. Aji yang udah mendapat isyarat dari Vidi, bersiap di belakang cowok itu.

“Iya, tapi mahal. Soalnya beo ini udah pinter banget ngomong, kayak kita-kita juga.”

“Boleh diliat?”

“Silakan.”

Vidi melihat beo itu lebih dekat. Tapi susah juga mastiin beo itu milik Papa atau bukan. Soalnya, di mana-mana beo itu kan sama bentuknya. Nggak kayak manusianyang gampang dibedain. Vidi sama Vici aja yang lahir dari pabrik yang sama, punya banyak perbedaan. Hidung Vici bangir dan indah, hidung Vidi kayak buah jambu, niru hidung Papa. Kulit Vici putih bersih kayak Mama, sementara kulit Vidi gelap kayak Papa. Rambut Vici lurus panjang kayak rambut Mama, Vidi ikal kayak Papa.

Cuma alis dan dagu Vidi aja yang mirip Mama. Tapi alis Mama tipis banget hingga keliatan seperti nggak punya alis. Sedangkan dagunya rata kayak orang nggak punya dagu. Dengan kondisi demikian, banyak yang bilang, Vidi merupakan gabungan kejelekan Papa dan Mama. Beda dengan Vici yang merupakan gabungan kecantikan Mama dan kegantengan Papa.

Duh, nasib Vidi emang apes. Udah jelek, budeg lagi akibat kecelakaan lalu-lintas.

“Beo jelek!” seriu Vidi setelah sekian detik menatap burung itu dengan teliti.

Beo itu bengong. Mungkin mengingat di mana kalimat itu pernah didengarnya. Lalu dengan riang ia menjawab; “Beo jelek… tak budeg… Vidi jeleeek… budeg…!”

Vidi tersentak. “Benar, Ji. Ini Tommy. Ini beo Papa!!” teriak Vidi girang. Dia benar-benar nggak nyangka akan nemu beo Papa itu. “Kamu yang nyuri beo ini, ya?” tanyanya galak.

“Jangan sembarangan nuduh!”

“Beo ini papaku. Pasti kamu yang nyuri. Aku akan lapor polisi,” Vidi merogoh saku celananya dan pura-pura mau menelepon polisi. Padahal, pulsa yang tersisa buat ngirim SMS aja nggak cukup.

“Ngg… eh, anu…Wah, Mas ini salah alamat. Sebenarnya…. Sebenarnya….” dia mundur beberapa langkah.

“Sebenarnya apa?!” bentak Vidi keras. Lagaknya emang berani banget. Padahal kalo anak itu balik gertak, pasti Vidi terkencing-kecing.

Setelah mundur beberapa langkah, cowok itu langsung angkat langkah seribu rupiah. Dia nggak sadar Aji ada di belakangnya. Alhasil, dia nabrak Aji hingga keduanya jatuh.

“Maliiiing! Maliiiiiiiiing…!!!” teriak Vidi. Melihat ada seorang cowok lari, orang-orang di pasar burung langsung ngejar. Mulanya satu dua orang, tapi kemudian bertambah banyak.

Vidi langsung mengamankan Tommy.

“Hahahaha… ternyata lo pinter juga Vid,” puji Aji sambil membersihkan debu yang melekat di seragamnya.

Kuping Vidi langsung naik sebelah dapat pujian gitu.

“Sayang, Vini nggak cinta sama lo!”

Dan kuping itu pun turun kembali.



Source


Tommy udah kembali ke rumah. Papa senang. Dan sudah minta maaf sama Vidi karena tuduhannya nggak terbukti. Malah Vidi udah berhasil membawa Tommy kembali.

Tapi permintaan maaf aja nggak cukup. Vidi nambah jatah uang jajan dinaikin dua kali lipat. Papa yang merasa bersalah dengan Vidi, langsung setuju. Vidi juga menuntut Papa agar nasehatin Tommy agar nggak ngeledeknya lagi. Sebaliknya, harus sering-sering muji Vidi, apalagi kalo di depan Vini.

Entah karena patuh sama saran Papa, atau sedang sariawan, sejak itu Tommy nggak pernah ngeledek Vidi lagi. Bahkan Tommy lebih banyak diam sekarang. Bagi Vidi itu malah bagus, daripada Tommy berkicau nggak karuan.

Sayangnya, kelegaan itu nggak berlangsung lama.

Suatu sore yang indah, Vini datang menjemput Vici bersama rekans cewek-ceweknya pengasuh mading yang cakep-cakep. Sebenarnya ini momen yang romantis buat ngedekatin Vini. Sayangnya ada Aji di antara mereka. Di situlah petakanya bermula. Entah bisikan setan mana, tiba-tiba Aji nanya ke Tommy.

“Menurut lo Tom, siapa di antara kami yang pantas jadi pendamping Vini? Aji atau Vidi?” pertanyaan itu diulang beberapa kali sampe Tommy ngerti.

Jawaban Tommy sungguh membuat Vidi patah hati.

“Aji cocok… Aji cocok…!”

“Kenapa Aji?” tanya Vini terkikik mendengar jawaban Tommy.

“Vidi jelek budeg… Aji jelek tak budeg…!”

Muka Vidi langsung berwarna merah putih kayak bendera. Didekatinnya sangkar Tommy dan berteriak keras; “Kamu yang jelek! Beo sialaaaan…!!!” []

Ayi Jufridar@Indonesian Community.jpg
DQmNuF3L71zzxAyJB7Lk37yBqjBRo2uafTAudFDLzsoRV5L.gif

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center