Berburu Buku di Taman Pintar | Hunting Books at Taman Pintar |

Berburu Buku di Taman Pintar

Di Komplek Taman Pintar, Yogyakarta, para pemburu ilmu seperti menemukan surga. Deretan kios kecil memajang beraneka jenis buku dengan harga-harga mengejutkan saking murahnya. Kejutan lainnya terdapat pada judul-judul buku klasik yang selama ini hanya terdengar judul dan penulisnya saja. Kalau mau dicari kejutan berikutnya, ada pada penjual yang tahu segala jenis dan judul buku berkualitas. Saya bertanya dalam hati, apakah mereka ikut membacanya atau hanya tahu judul dan penulisnya saja karena menjula buku tersebut. Kalau kemungkinannya yang terakhir, berarti mereka seperti istri saya yang tahu bentuk kaver buku dan judulnya saja, tanpa pernah membaca sampai tuntas.

Buku_11.jpg#

Buku_02.jpg

Bersama seorang sahabat, saya langsung ke toko buku yang dinamai “Shooping” di Yogyakarta. Gelap turun lebih cepat di Yogyakarta dibandingkan di Aceh. Begitu pesawat mendarat di bandar udara Adi Sucipto, kami langsung menuju Hotel Sahid Rich di Jalan Magelang. Setelah beristirahat sebentar, saya dan sahabat @rizwanhajiali langsung menuju Taman Pintar dengan becak dayung yang harganya sangat murah, hanya Rp10.000 saja. Padahal, berat badan saya mencapai 78 kilo gram dan sahabat saya sekitar 70 Kg. Namun, tukang becak yang sudak berumur itu mampu mendayungnya. Hal itulah yang kemudian membuat kami membayarnya 100 persen lebih tinggi.

Sudah banyak toko buku yang tutup saat kami tiba. Kami bersyukur ada sebuah acara di Taman Kangen sehingga suasana sekitar sangat ramai, dan karena itu masih ada toko buku yang buka, terutama yang berdekatan dengan lokasi acara. Biasanya, meski gelap lebih cepat turun, malam seperti tak pernah tidur di Kota Wisata, dan Yogya dijuluki Kota Wisata, selain Kota Pelajar dan Kota Sejarah.

Pemburuan buku pun dimulai. Saya menanyai beberapa judul buku sastra yang belum saya miliki, di antaranya karya Alice Munroe, Albert Camus, Nawal El Saadawi, dan sebagainya.

“Albert Camus, mau?” tawar seorang penjual.

“Boleh, tapi jangan Sampar karena saya sudah membacanya,” sahut saya tentang karya penulis Perancis yang mendapatkan penghargaan Nobel Sastra tersebut. Saya membaca Sampar sekitar tahun 1993 dan masih ingat kisahnya sampai sekarang.

Tidak sampai setengah menit, dia menunjukkan buku Albert Camus yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Krisis Kebebasan dengan sampul putih dan lambing Nazi yang terlihat samar karena tertutup dengan lanskap merah. Langsung buku tersebut saya beli. Sedangkan buku Nawal El Saadawi yang saya beli berjudul Zeina yang belum saya baca. Dan ini adalah buku Saadawi pertama yang saya miliki. Sulit mendapatkan buku sejenis ini di Aceh. Membelinya secara online lebih mahal ongkos kirim dibandingkan bukunya. Buku-buku lain yang saya beli berkaitan dengan dunia kepenulisan, bahasa Inggris, buku ekonomi, sejarah, dan buku pengembangan kreativitas.

Hanya dua toko buku saja yang saya singgahi dengan serius. Namun, saya menghabiskan lebih dari Rp1.000.000 di kedua kios tersebut. Itu jumlah yang banyak buat saya, meski saya pernah beberapa kali membeli buku sejumlah itu. Di akhir bulan, belanja buku sampai jutaan—di tengah penghasilan terbatas—bukanlah pilihan yang lumrah.

Dengan potongan harga yang lumayan banyak, saya sudah menghemat dengan membeli buku di Shooping Taman Pintar. Besarnya potongan harga tergantung dengan judul buku. Terkadang—jika beruntung—kita bisa mendapatkan buku bagus dan tebal dengan hanya Rp20.000, seperti buku Tokyo Underworld karya Robert Whiting. Buku itu berkisah tentang kehidupan seorang ganster Amerika Serikat di Jepang, dan ini adalah kisah nyata.

Banyak buku lain yang saya borong untuk memanfaatkan kesempatan saya berada di Yogyakarta. Saya ke Kota Gudeg ini untuk tugas kantor, jadi harus mengoptimalkan waktu yang sempit—termasuk dengan mengorbankan masa istirahat—untuk membeli buku.

Di daerah lain, termasuk di toko buku berjaringan, harga buku di Indonesia memang sangat mahal. Berbeda dengan negara lain yang sudah maju, harga buku bisa lebih murah karena kebijakan pemerintah yang mendukung. Di Indonesia, buku menjadi mahal antara lain karena terlalu banyak pajak PPN dan PPH bagi industri buku. Bahkan, saya sebagai penulis merasakannya ketika royalti hasil penjualan buku yang tidak seberapa itu, ikut dikenai pajak 15 persen. Seharusnya, pajak untuk produk intelektual bisa lebih rendah atau dihapus sama sekali untuk membangun kultur intelektual di Indonesia.

Sekitar dua jam lebih kami menghabiskan waktu berburu buku. Tidak semua yang kami cari berhasil kami temukan, karena toko sudah banyak yang tutup. Namun, apa yang kami beli sudah memadai. Barangkali dalam kesempatan lain, kami bisa berburu buku kembali di Yogyakarta.

Ketika malam semakin tua, kami memutuskan pulang dengan berjalan kaki ke Malioboro yang terkenal. Suasana mulai sepi, tetapi banyak banyak wisatawan asing yang berlalu-lalang menikmati Malioboro. Sebenarnya, kami masih ingin duduk lesehan di Malioboro sambil membaca sinopsis beberapa buku. Namun, badan sudah sangat lelah, dan menenteng puluhan buku—tebal dan tipis—membuat badan kami lebih pegal. Akhirnya, kami memutuskan pulang ke hotel untuk tidur.[]

Buku_01.jpg

Buku_03.jpg

Buku_04.jpg

Hunting Books at Taman Pintar

In Taman Pintar complex, Yogyakarta, hunters of science like finding heaven. Rows of small kiosks displaying various types of books with surprising prices so cheap. Another surprise is in the classic titles of books that have only heard the title and the author only. If you want to find the next surprise, there is a seller who knows all kinds and titles of quality books. I wonder if they are reading it or just know the title and the author just because it started the book. If the latter possibility, it means that they are like my wife who knows the shape of the book caver and the title alone, without ever reading through to completion.

Buku_05.jpg

With a friend, I went straight to a bookshop called "Shooping" in Yogyakarta. Dark dropped faster in Yogyakarta than in Aceh. As soon as the plane landed at Adi Sucipto airport, we headed straight to Hotel Sahid Rich on Jalan Magelang. After resting for a while, my friend @rizwanhajiali and directly to Taman Pintar with rickshaw rickshaws that cost very cheap, only Rp10.000 only. In fact, my weight reached 78 kilo grams and my friend about 70 Kg. However, the rickshaw pedicab who was able to paddle it. That's what then made us pay him 100 percent higher.

Already many bookstores were closed when we arrived. We are grateful that there is an event in Taman Kangen so the atmosphere is very crowded, and therefore there are still open bookstores, especially those adjacent to the location of the event. Usually, although dark faster down, the night like never slept in Kota Wisata, and Yogya nicknamed Kota Wisata, in addition to Town Students and City History.

Hunting of books began. I questioned some titles of literary books I did not yet have, including Alice Munroe, Albert Camus, Jalaluddin Rumi, Nawal El Saadawi, and so on.

"Albert Camus, would you?" Offered a salesman.

"Probably, but do not Sampar because I've read it," I replied about the work of French writers who won the Nobel Prize for Literature.

In less than a half minute, he showed Albert Camus's translated book in Indonesian titled Freedom Crisis with a white cover and a Nazi lambing that looked vague as it covered with a red landscape. Direct the book I bought. While the book Nawal El Saadawi I bought titled Zeina that I have not read. And this is the first Saadawi book I have. It is difficult to get this kind of book in Aceh. Buying it online is more expensive than postage. The other books I purchased relate to the world of authorship, English, economics books, history, and books on creativity development.

There are only two bookstores that I sneak around seriously. However, I spent over $ 100 on both the kiosks. That's a lot for me, even though I've bought a number of books a few times. At the end of the month, bookstores to millions-amid limited incomes-is not a common option.

With considerable discounts, I have saved by buying books at Shooping Taman Pintar. The amount of discounted price depends on the title of the book. Sometimes-if lucky-we can get a good and thick book with just $ 2.00, like Robert Whiting's Tokyo Underworld book. The book revolves around the life of a ganster United States in Japan, and this is a true story.

Many other books that I encourage to take advantage of my opportunity in Yogyakarta. I went to Kota Gudeg for office work, so had to optimize the narrow time-including at the expense of a break-to buy a book.

In other areas, including in networked bookstores, the price of books in Indonesia is very expensive. Unlike other developed countries, book prices can be cheaper due to supportive government policies. In Indonesia, books become expensive because of too much PPN and PPH taxes for the book industry. In fact, I as a writer to feel it when the royalties from the sale of the book is not that much, participate taxed 15 percent. Supposedly, the tax for intellectual products could be lower or eliminated altogether to build an intellectual culture in Indonesia.

Buku_09.jpg

Buku_10.jpg

About two more hours we spent time hunting books. Not everything we were looking for was a success we found, because many stores were closed. However, what we buy is sufficient. Perhaps on another occasion, we can hunt for books back in Yogyakarta.

As the night grew older, we decided to go home on foot to the famous Malioboro. The atmosphere began to quiet, but many many foreign tourists who pass by enjoy the Malioboro.

Actually, we still want to sit “lesehan” (sitting on the floor) in Malioboro while reading the synopsis of some books. However, the body was very tired, and carrying dozens of books-thick and thin-made our bodies more sore. Finally, we decided to go home to the hotel to sleep.[]

Buku_06.jpg

Buku_07.jpg

Buku_08.jpg


"If we encounter a man of rare intellect, we should ask him what books he reads."

– Ralph Waldo Emerson

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now