Demam Steemit di Kampung Kami | Steemit Fever in Our Village

image
Ilustrasi Topsy

Saya sengaja menyebut Aceh sebagai kampung kami. Di "negara" steemit yang sudah memiliki mata uang (Steem dan Steem Dollar) dan juga sudah mengibarkan bendera strip tiga berombak biru, aneh jika kita keukuh masih menyebut tempat kita tinggal sebagai sebuah daerah yang besar.

Setelah sekian lama vakum menulis, akhirnya saya kembali mengisi platform sosial media berbasis blokchain ini. Bukan tanpa alasan. Ini dikarenakan demam Steemit sedang melanda kampung kami. Hampir semua orang yang saya kenal sudah bergabung dengan steemit. Diantara mereka ada yang masih teguh memegang prinsip menulis dalam bahasa pergaulan internasional, English UK.

Namun, kebanyakan pengguna baru steemit lebih banyak memilih jalan pintas. Menjadikan sosial media genre baru ini selayaknya akun medsos mereka yang lain. Ada diantara pendatang baru coba-coba memposting tulisan mereka bergaya jurnalis, dengan memberikan informasi sekilas peristiwa yang kadang-kadang mengerikan. Sayangnya tanpa ferivikasi dan hanya menyajikan informasi sepenggal. Tak jarang mereka juga mengunggah foto berdarah-darah korban kecelakaan. Saya yang sesekali membuka steemit, merasa shock berat. Kenapa?

Sejak pertama kali bergabung dengan steemit, saya melihat banyak hal-hal menarik di platform ini. Member steemit sering mengunggah postingan tentang traveling, nature, fotografi bernilai seni tinggi hingga kisah hidup yang menginspirasi. Tak mengherankan jika postingan "pemain" lama itu mendapat bayaran tinggi. Bahkan terkadang di luar ekspetasi.

Nah, bayangkan ketika tiba-tiba homepage steemit saya berisi tentang hoax, darah dan tulisan caci maki. Ini benar-benar membuat saya merinding disko, cemas dan kembali enggan membuka steemit.

Saya berharap-harap cemas demam steemit di kampung kami tidak melahirkan personal-personal "steemit jou(e)rnalis", yang nantinya mendatangi lokasi-lokasi acara seremonial di suatu tempat dengan id card berlogo steemit. Jika ini terjadi, maka demam steemit di kampung kami yang semula disambut ceria akan berubah menjadi tragedi dan cerita lama.



I purposely refer to Aceh as our village. In the "state" of steemit that already has a currency (Steem and Steem Dollar) and also has waved flags of three blue wavy strips, strange if we still still call where we live as a large area.

After so long vacuum writing, finally I re-fill the blockchain-based social media platform. Not without reason. This is because the fever of Steemit is engulfing our village. Almost everyone I know has joined steemit. Among them there are still firmly holding the principle of writing in international social language, English UK.

However, most new steemit users prefer shortcuts. Making social media of this new genre should be their other medsos account. Some of the newcomers try to post their writings in the style of journalists, providing a glimpse of events that are sometimes terrible. Unfortunately without ferivikasi and only provide information sepenggal. Not infrequently they also upload photos bloody victims of accidents. I occasionally open the steemit, feeling a severe shock. Why?

Since I first joined steemit, I see a lot of interesting things on this platform. Steemit members often upload posts about traveling, nature, high-value art photography to an inspiring life story. Not surprisingly, the old "player" post was paid high. Sometimes even beyond expectations.

Well, imagine when suddenly my steemit homepage contains about hoaxes, blood and insults. It really makes me shudder the disco, anxious and reluctantly re-open the steemit.

I was anxious that the steam fever in our village did not give birth to personalities "steemit jou(e)rnalis", who later went to ceremonial event locations somewhere with id card with a steemit logo. If this happens, then the steam fever in our original village is greeted cheerfully will turn into tragedy and old story.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now