Sisi Lain Teuku Umar Yang Tak Diungkap Buku

Teuku_Umar.jpg
Sejarah Leluhur

Empat ratus tahun lalu, pada masa Sultan Iskandar Muda pada abad ke XVII, saat kekuasaan kesultanan Aceh menyebar hingga semenanjung Melayu di sebagian besar pulau Sumatera, diutuslah seorang Panglima Angkatan Perang Aceh di Andalas Barat, pada tahun 1630 dan menjadi Gubernur Militer di Tanah Minang ini. Ia bernama Teuku Laksamana Muda Nanta.

Beranak pinak disana. Pada abad ke 18, terjadi revolusi Paderi, dimana hal tersebut membuat banyak tokoh peranakan Aceh kembali pulang ke tanah indatu mereka. Menggunakan 12 perahu, mereka melakukan perjalanan pulang ke Aceh. Diantaranya, terdapatlah sosok Machudum Sati (sumber lain menyebut Machdum Sakti atau Machdum Sati), beliaulah leluhur Teuku Umar. Setiba di pantai kota Meulaboh yang saat itu bernama Pasie Karam, para awak kapal berkata, “Disiko kita malabuih!” (Disini kita berlabuh) Awak yang lain bertanya, “Iko koto malabuih?” (Ini kota Malabuih). Darisanalah kota Pasie Karam berganti nama menjadi kota Malabuih dan akhirnya menjadi Meulaboh. Tidak ada data akurat mengenai hal kecuali cerita turun temurun yang percaya masyarakat Meulaboh dan sekitarnya. Sekelompok orang ini lalu berpencar mencari tempat domisili. Kaum inilah yang membawa budaya dan bahasa Aneuk Jamee --salah satu bahasa Aceh yang mirip bahasa Minang-- di wilayah pantai barat-selatan Aceh.

Machudum Sakti kemudian menempati wilayah Pasie Aceh, sebuah wilayah di daerah Woyla, dan membuka usaha eksplorasi emas. Sultan yang mendengar hal tersebut, lalu memerintahkan petugasnya untuk menagih upeti. Machudum menolak. Sehingga ia ditangkap dan dibawa ke istana di Kutaraja (Banda Aceh). Di perahu, saat dalam perjalanan laut, ia disiksa, namun para petugas yang menyiksanya melihat, Machudum dapat bertahan lama terhadap siksaan. Kagum atas daya tahan itu, para petugas merekomendasikan Machudum Sakti untuk dijadikan pengawal atau penjaga. Akhirnya, Sultan menyetujui untuk mengampuni Machudum dan menempatkannya sebagai penjaga Taman Sari Baginda (komplek taman Putroe Phang dan Gunongan).

Perkembangan politik masa lalu tak jauh berbeda dari masa kini. Konflik perebutan kekuasaan, intrik politik, pencitraan, lobi politik, gesekan, anomali penguasa dengan sikapnya, mewarnai sejarah Aceh masa lalu. Salah satu yang tercatat dalam garis sejarah politik adalah terjadinya peristiwa penyerangan pasukan Panglima Polem1) terhadap istana Daruddunia, tempat Sultan dan keluarga bertempat tinggal. Saat istana di serang dan di blokade, keluarga kerajaan yang dijaga sejumlah pasukan kekurangan pasokan makanan. Namun, seorang pria berjasa memasok makanan secara diam-diam terhadap pasukan di dalam kerajaan sehingga pasukan Panglima Polem dapat kembali dipukul mundur. Orang yang berjasa tersebut adalah adalah Teuku Nanta Tjik, salah seorang keturunan Machudum Sakti. Atas jasanya, ia lalu diangkat menjadi uleebalang (hulubalang/raja kecil, orang diberi wilayah) dan kemudian diberi kekuasaan wilayah VI mukim meliputi Lampadang (sekarang Lampisang). Ia diberi gelar Teuku Nanta Setia Raja atas dasar loyalitasnya pada Sultan.

Teuku Nanta Tjik atau Teuku Nanta Setia Raja memiliki dua orang putra, yaitu Teuku Tjut Mahmud, yang merupakan ayah Teuku Umar. Berikutnya adalah Teuku Ahmad, yang merupakan ayah dari Cut Nyak Dhien. Oleh karena itu, dapat dikatakan, Teuku Umar, yang kelak menikah dengan Cut Nyak Dhien, adalah saudara sepupu.

Perang Aceh

Perang Aceh meletus tahun 1873 dimana Belanda dapat melabuhkan kapal di Pantai Cermin, Ulee Lheue. Hal ini dapat terjadi berkat bantuan seorang uleebalang di wilayah Meuraksa yang menguasai Ulee Lheue bernama Teuku Hamzah Meuraksa (lebih dikenal dengan nama Teuku Nek Meuraksa). Teuku Nek Meuraksa merasa sakit hati, ketika Sultan memberikan wilayah kehulubalangan kepada Teuku Nanta Tjik di Lampadang atas jasanya terdahulu kepada Sultan. Padahal awalnya, wilayah tersebut adalah miliknya. Akibatnya, wilayahnya semakin mengecil dan hanya kebagian wilayah di Ulee Lheue, Peukan Bada, Blang Oi dan sekitarnya di wilayah Meuraksa. Teuku Nek Meuraksa merasa bila mempersilahkan Belanda masuk melalui wilayahnya dan kemudian Belanda berkuasa, ia akan dapat merebut kembali wilayah Lampadang tersebut.

Pecahnya perang, membuat para pemuda keluar kampung ke Kutaraja melawan tentara koloni yang mereka sebut Kaphee (kafir). Dulu Kutaraja hanya wilayah kecil meliputi Mesjid Raya dipinggiran Krueng Aceh. Teuku Umar adalah salah satunya. Ia telah memanggul senjata seiring dengan meletusnya Perang Aceh dan saat itu dirinya baru berusia 19 tahun. Umar ikut dalam perjalanan ke Kutaraja.

Tak banyak catatan mengenai masa kecil Teuku Umar. Umar lahir di Gampong Mesjid (sekarang Gampong Belakang, Meulaboh), 100 meter dari Mesjid Nurul Huda pada 1854. Beranak menjadi pemuda, seperti laki-laki seusia itu, Umar sering menggelandang bersama teman sebayanya. Umar berwatak keras dan sering terlibat beberapa sengketa dengan orang lain. Sebagian sumber menyebut Umar urakan, kecanduan opium, sering terlibat perselisihan dan jarang ke mesjid (Hazel, 1952).

Namun, Umar muda, memiliki obsesi manusiawi. Ia mendambakan, suatu saat nanti, ia akan memiliki kedudukan yang terhormat, yang pada akhirnya ia wujudkan bertahun-tahun kemudian, seiring dengan kepopuleran namanya dikalangan pejuang Aceh yang lain.

Nama Teuku Umar mulai dikenal saat terjadi penyerangan ke Pantai Barat Aceh. Dalam posisinya sebagai seorang Geuchik (kepala desa) di Gampong Daya (sumber lain menyebut Gampong Darat), sebuah wilayah di kawasan pantai Barat, Umar dan pasukannya menyerang pasukan Belanda dan merebut senjata mereka. Pada sebuah kejadian, Umar dan temannya mula-mula mendekati pasukan marsose dan bersedia mengawal pasukan Belanda yang mencoba meluaskan wilayahnya ke Meulaboh. Namun pada saat berada di wilayah pedalaman, pasukan tersebut dibunuh dan Umar membawa lari senjata mereka. Itulah pertama kali pasukan Umar yang terdiri dari beberapa belas orang, dapat dilengkapi senjata. Darisanalah nama Umar mulai dikenal.

Dalam beberapa catatan Belanda, (H.J. Schmidt, 1936) Umar disebut memiliki semua watak yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin Aceh. Kemampuannya melakukan agitasi menghimpun semangat juang, kedermawanan dan kharisma, memberinya pengaruh yang besar dalam memompa semangat juang orang Aceh, namun tetap egaliter. Hal tersebut tercermin dari cara komunikasi Umar terhadap pasukannya. Kepada salah seorang pasukan yang ia utus untuk mengintai, Umar berkata, “Pergilah, matamu adalah mataku”.

Umar menikahi Cut Nyak Dhien pada 1880 di Montasik. Saat itu, Cut Nyak Dhien baru 2 tahun kehilangan suami pertamanya, Teuku Ibrahim Lamnga, yang gugur dalam sebuah penyergapan Belanda di Gle Tarun. Cut Nyak Dhien, seorang putri bangsawan yang sangat anti Belanda, pernah mengatakan bersedia menikah dengan orang yang mau melakukan ‘tueng bila’ (tuntutan dendam darah dibalas darah) atas kematian suaminya. Secara implisit Umar menunjukkan kesediaannya. Selepas ayahnya yang menua dan pikun, Umar melihat menjadi pendamping Cut Nyak Dhien adalah harapan memenuhi cita-citanya menjadi bagian untuk memperkuat posisi dan memperluas pengaruh. Bagi Dhien, ia melihat kesamaan visi antara dirinya dengan Umar, dan menjadi pertimbangannya untuk menerima pinangan sepupu yang usianya lebih muda 5 tahun (sebagian menyebut 6 tahun) darinya.

Semasa sepuluh tahun berjuang dan mencoba mengusir Belanda dari bumi Aceh, Umar terlibat dalam beberapa pertempuran. Kemenangan, kekalahan, ia alami berulang kali. Sementara pada yang sama, Umar juga memerangi Uleebalang Aceh yang pro-Belanda, seperti Teuku Nek Meuraksa tersebut.

Persiasatan

Perang yang ada, benar-benar menghabiskan energi, dan tentunya, materi2). Energi dan materi yang terkuras, membuat Umar memikirkan sebuah cara untuk memenangkan perjuangan. Di lain sisi, Umar juga harus memikirkan jaminan keberlanjutan kehidupan ekonominya. Ia adalah seorang pengusaha lada, melihat bahwa kedekatan dengan pemerintah kolonial yang berhasil menjatuhkan penguasa sah Aceh selama ini adalah cara jitu untuk mendapatkan berbagai konsesi dalam bisnis ladanya. Oleh karena itu, Umar mengubah paradigmanya dalam melihat kolonial sebagai musuh dan ia memilih untuk menawarkan diri bekerjasama dengan Belanda. Belanda menyambut baik niat positif tersebut dan mengajak Umar bekerjasama dalam menyelesaikan pemberontakan-pemberontakan kecil yang terjadi diwilayah Aceh. Kerjasama ini berlangsung satu tahun sejak tahun 1883. Hal ini sangat menggusarkan Dhien.

Kerjasama Umar dengan Belanda berakhir saat insiden Kapal Nisero milik Inggris pada 1884. Kapal Inggris ini mengangkut gula dari Surabaya dengan belasan awak kapal Inggris dan beberapa awak berkebangsaan negara Eropa dan Amerika, terdampar di pantai Panga, Teunom, yang saat itu dikuasai oleh Uleebalang Teuku Imam Muda Sabi Teunom. Teuku Teunom menyandera awak kapal dan meminta tebusan sebesar 100 ribu gulden. Belanda lalu menugaskan Umar untuk membereskan permasalahan itu dengan memintanya melakukan operasi ke Teunom. Belanda menyediakan sebuah kapal berikut awak untuk perjalanan operasi Umar. Namun Umar berpikir ulang melakukan hal ini. Umar sangat menyegani Teuku Imam Sabi ini. Menghindari konfrontasi dengan tokoh Teunom yang sama-sama berwatak keras ini, Umar ingin menolak. Namun tak kuasa. Dalam ketiadaan pilihan, Umar pun akhirnya melakukan perjalanan laut dalam rangka operasi pembebasan itu menggunakan kapal Bengkuloen3) diantar oleh kelasi Belanda, entah apa yang terlintas dalam benak Umar hingga akhinya ia melakukan aksi berani, dengan alasan diperlakukan buruk oleh para kelasi yang mabuk dan melecehkannya karena menyuruhnya tidur digeladak, Umar menghabisi para kelasi tersebut, menjarah senjatanya dan kabur bersama pengikutnya. Peristiwa ini sangat memalukan Belanda dimata internasional, karena dianggap tak mampu menjaga stabilitas keamanan diwilayah yang dikuasainya. Peristiwa inilah yang memicu amarah Belanda, dan menetapkan Umar sebagai buron sejak tahun 1885 dan memburunya ke berbagai lokasi. Namun hasilnya nihil.

Kelicinan Umar tak berakhir pada peristiwa Nisero. Sebuah peristiwa berdarah di kapal laut milik bangsa kulit putih pun terulang. Sebuah kapal bernama Hok Canton menjadi korban Umar dan pasukannya. Saat itu, Umar yang jadi buronan dan kepalanya dihargai 25 ribu gulden atas perbuatannya terhadap kelasi kapal Bengkuloen, ternyata menarik perhatian banyak pihak, termasuk seorang pria berkewarganegaraan Denmark, bernama Hansen, yang awalnya adalah rekan dagang Umar berjualan lada. Hansen yang waktu itu dalam perjalanan dari Banda Aceh menuju Rigaih (5 kilometer dari Calang, Aceh Jaya), sempat bertemu dengan Gubernur Sipil dan Militer di Kutaraja dan membicarakan soal reward bagi yang dapat menangkap Umar itu. Iming-iming 25 ribu gulden membuat Hansen berniat menangkap Umar. Oleh karena itu ia sempat berkata pada seorang temannya yang berkebangsaan Belanda, bahwa ia akan melakukan hal itu saat akan bertransaksi pembelian lada dengan Umar. Namun ternyata informasi ini bocor ke informan Umar dan Umar mendapatkan laporan tentang rencana tersebut, walau awalnya Umar tak percaya karena Hansen adalah rekan bisnis yang baik. Di Rigaih, saat Hok Canton berlabuh dan anak buah Umar mamasok lada ke kapal Hansen, Hansen menolak membayar kecuali Umar yang datang sendiri mengambilnya. Saat itulah Umar mulai curiga atas kebenaran informasi itu. Disaat itulah, Umar kemudian membawa pasukan dan menghabisi Hansen dan awak kapalnya. Ia lalu menyandera istri Hansen dan meminta tebusan untuk itu. Belanda lalu membayar tebusan itu. Uang hasil tebusan tersebut menjadi biaya operasional perjuangan Teuku Umar, dan sebagian ia serahkan kepada Sultan Aceh, Tuanku Muhammad Daudsyah, yang saat itu mengungsi ke Keumala4). Penyanderaan Hok Canton menimbulkan reaksi buruk di Penang (pusat pemerintahan persemakmuran Inggris di wilayah Asia Tenggara) dan mengutuk Belanda sebagai penyebab keadaan tidak aman di Aceh.

Selepas peristiwa Hok Canton, pencarian Belanda terhadap Umar selama lebih dari 8 tahun dan terus menerus, membuat pasukan Umar terdesak. Tak kurang anggota keluarga Umar digeledah, ditahan atau dibunuh, hingga terkadang Umar harus menebusnya dengan menikahi janda dari saudara laki-lakinya yang gugur ditangan Belanda, hingga Umar sempat memiliki 7 istri, namun tak lebih dari 4 istri dalam waktu bersamaan. Sedangkan dipihak pejuang Aceh, tercatat sudah dua puluh ribu orang lelaki meregang nyawa. Sementara serangan yang dapat mereka lakukan lambat laut mulai melemah hingga hanya menjadi serangan-serangan kecil tak berarti bagi Belanda. Hal tersebut mulai menjatuhkan mental pejuang Aceh. Ditambah lagi dengan propaganda dari pihak Belanda yang memproklamirkan bahwa tanah Aceh telah takluk. Gubernur Belanda di Kutaraja bahkan sempat menerapkan politik ‘wait and see’. dimana Belanda hanya mengamati sejauh mana serangan-serangan pejuang Aceh hanya semakin memperlemah kekuatan mereka sendiri. Hal itu terlihat dari laporan yang dikirimkan Gubernur di Kutaraja yang menulis, “Cara yang sebaik-baiknya untuk mematikan perlawanan gerombolan gerilya itu adalah cukup menghindari perang melawan mereka. Apabila mereka membenturkan kepala mereka terhadap benteng-benteng kita, akhirnya rakyat akan percaya, bahwa mereka tak akan sanggup melakukan tindakan berarti dalam memerangi kita, dan hak sabil itu akan menjadi tiada manfaatnya”. Gubernur juga yakin, sepeninggal Tgk. Chik Di Tiro di racun5), perjuangan telah tercerai berai dan merosot. Satu-satunya gangguan keamanan yang berarti berasal dari kubu Mad Amin, anak tertua dari Teungku Chik Di Tiro. Mad Amin tak sejalan dengan visi pejuang lain, karena dianggap memiliki perangai buruk dengan mengutip pajak perang ke masyarakat yang disebut “hak sabil”. Hal ini mencederai semangat jihad fi sabilillah yang diwariskan ayahnya.

Umar yang telah lama mengikuti pola Belanda, merasa saatnya melakukan perang bersiasat bila tak ingin keadaan berlarut dan Aceh benar-benar takluk saat ia kehilangan pasukan. Di sisi lain, Umar pun harus berpikir untuk menghalau pasukan Mad Amin yang telah menduduki wilayah VI Mukim, wilayah Lampadang yang masih merupakan tempat keluarga Cut Nyak Dhien berkuasa selama ditinggalkan Umar bergerilya.

Sejarah berulang. Di saat kepimpinan militer dan sipil Belanda di Kutaraja berganti, Umar pun memanfaatkan hal tersebut untuk membuat penawaran baru kepada Belanda. Ia mengirim surat kepada Gubernur militer dan sipil di Kutaraja yang saat itu dipimpin oleh Jenderal C. Dijkerhoof, bahwa ia akan memenuhi sikapnya dan memerangi Laskar Muslimin Mad Amin, musuh Kompeni dan dianggap pengacau kesentosaan rakyat.

Untuk mewujudkan pembuktian, tanpa dibantu Belanda, pasukan Mad Amin dipukul mundur dan Umar mempersilahkan Belanda memantau sendiri wilayah Sagi XXV Mukim yang kini aman dan tenteram, seiring terpukul mundurnya Laskar Muslimin.

Hal ini membuat Belanda terpukau. Benarkah Umar menggelar “karpet merah” bagi Belanda untuk masuk kewilayah mereka?.

Hal itulah yang membuat Gubernur Dijkerhoof, bersedia memberi konsesi baru pada Umar. Ia mengampuni kesalahan masa lampau Umar, dengan syarat, Umar membereskan segala pemberontakan yang terjadi di Sagi XXVI Mukim yang masih terjadi sementara tentara Belanda digeser ke Mataram akibat terjadinya pemberontakan disana. Umar setuju.

Di kediamannya di Kutaraja, Dijkerhoof mungkin dapat duduk bersantai menggoyangkan kakinya sambil menghisap cerutu, ia dapat tersenyum puas bahwa hal yang telah lama ia impikan akhirnya terwujud. Dimana ia mengidamkan Aceh dibawah kepemimpinannya yang stabilitas keamanannya terkendali, setelah selama 20 puluh tahun menjadi ladang pertempuran. Dan penyelesaian tersebut terwujud, ditangannya, tanpa harus mengorbankan tentaranya, tapi dengan keringat laskar pribumi sendiri. Laskar Umar.

Di sisi lain, dengan berhasilnya kesepakatan baru itu, Umar pun pulang ke Lampisang dengan badan tegak, orang yang bebas dan dihormati. Namun, hal tersebut tak membuat Cut Nyak Dhien bangga. Ia malah semakin risau perihal kedekatan Umar dan Belanda.

Pada tanggal 30 September 1893, Umar diundang oleh Dijkerhoof ke kantor Gubernur Militer dan Sipil di Kutaraja, untuk menghadiri penobatannya sebagai Panglima Perang Besar dengan nama baru, Teuku Djohan Pahlawan. Ia disumpah dimakam Tgk. Dianjong yang dianggap keramat, sebagai upaya agar Umar tetap berkomitmen terhadap sumpahnya. Umar diizinkan memiliki barisan sebanyak 250 tentara bersenjata, dan mendapatkan berbagai fasilitas, dan diangkat menjadi Uleebalang Leupung.

Melawan Belanda

Namun hubungan kerjasama dengan Belanda ini hanya berlangsung 3 tahun. Pada 1896, situasi memanas di Sagi XXII yang berada di sekitar Aneuk Galong. Patroli yang melewati wilayah tersebut ditembaki. Belanda menganggap sarang pemberontak ini berada di wilayah Lam Krak. Belanda pun pun berniat melakukan operasi diwilayah ini.

Umar kembali ditugaskan untuk mengatasi kekacauan tersebut. Namun, sejarah kembali terulang. Lam Krak, adalah wilayah yang disegani dan sangat dihindari Umar. Lam Krak dikuasai oleh pejuang fanatik dan kuat. Lam Krak merupakan kawasan dayah dan pernah dipimpin oleh sosok yang disegani, Tgk. Fakinah (Rusdi Sufi, 2014). Di sisi lain, dorongan Cut Nyak Dhien untuk menyudahi persekongkolannya dengan Belanda, menjadi pertimbangan Umar menyudahi kerjasamanya dengan Belanda. Ditambah lagi konflik Umar terhadap kontroller bernama Belanda bernama B.B. Gisolf yang pernah melakukan tindak kekerasan terhadap Teuku Tajuddin, abang iparnya (abang Cut Nyak Dhien) dan Jaksa Muhammad Arif yang kerap memata-matai dan kerap menyinggungnya, Umar mengungkapkan berbagai keluhan tersebut dan bermaksud menghentikan sejenak kerjasamanya dengan Belanda. Teuku Umar pun menyampaikannya melalui surat berbahasa Arab Jawi, tertanggal 26 Maret 1896 kepada Gubernur di Kutaraja.

Surat tersebut, salah satu point pentingnya berisi penolakan Teuku Umar menyerang Lamkrak. Namun yang membuat berang Belanda salah satu isi surat tersebut menyebut penolakan Umar mengembalikan senjata. Hal itu sangat menggegerkan Belanda, dan surat itu dianggap sebagai pernyataan pembangkangan Umar terhadap pemerintahan kolonial. Umar membawa lari 380 senapan kokang modern, 800 senapan jenis lama, 25 ribu butir peluru, 500 kilogram mesiu, dan uang 18 ribu gulden. Akibat kejadian itu, Dijkerhoof pun dicopot sebagai penguasa sipil dan militer Aceh. Dan pada 27 April 1896, Jenderal pengganti, J.A. Vetter memproklamirkan pernyataan perang terhadap Teuku Umar.

Pada masa inilah, Umar digempur habis-habisan oleh Belanda. Kediaman mewahnya yang dibangun oleh Belanda di Lampisang, diledakkan pada 28 Mei 1896.

Dalam kisah Umar, satu sisi, Umar menunjukkan heroismenya sebagai satu-satunya pejuang Aceh yang dapat diharapkan mengembalikan kedaulatan Aceh setelah berpulangnya Panglima Polim dan Tgk. Chik Di Tiro. Umar, bersama Cut Nyak Dhien, memutuskan merapatkan diri ke Keumala, dimana Sultan akhirnya mengangkat Umar sebagai Amirul-Bahar atau syahbandar diwilayah Barat Aceh yang berhak menertibkan wase atau pajak yang dibebankan kepada Uleebalang setempat. Dan tak lama setelahnya, Umar diangkat oleh Sultan menjadi Panglima Perang Seluruh Aceh, dalam sebuah musyawarah besar yang berlangsung pada 23 Juli 1898.

Namun, hal tersebut tidak membuat Umar dapat berbuat banyak, Terlebih ketika penguasa militer dan sipil di Aceh berganti dipimpin oleh Jenderal Joannes Benedictus Van Heutzs pada 18986). Bagi Van Heutzs, perang Aceh menyempit maknanya menjadi perang terhadap Umar, Umar memiliki seribuan pasukan, namun tak berarti karena sedemikian tersudut oleh pasukan Van Heutzs yang memburu Umar tiada henti. Pasukan Umar bahkan harus tersudut hingga Lembah Beunit, Tangse. Dan perjalanan dari Tangse berjalan kaki menyusuri hutan menuju Leupung lalu Woyla, dikenal dengan nama perjalanan maut, Umar kehilangan banyak pasukan karena beratnya medan dan pasukan yang kelelahan, kelaparan, dan sakit saat melewati belantara tanpa pasokan makanan. Para pejuang tersisa hingga hanya berjumlah 800 orang.

Dalam kondisi seperti itu, terjepit dan serba kesulitan, Umar tak lagi memiliki banyak pilihan menentukan strategi. Saat ia mendengar bahwa Van Heutsz berada di tangsi Meulaboh dengan sedikit pengawalan, Umar berpikir, inilah saatnya menang atau mati. Mendengar berita ini, terlintas dalam pikiran Umar untuk menangkap atau membunuh Jenderal Kompeni tersebut. Ia menganggap, penangkapan atau pembunuhan Van Heutzs akan memberi pukulan psikologis bagi Belanda. Karena itulah, Umar sempat mengeluarkan sebuah kalimat yang sangat dikenal, setidaknya bagi masyarakat Meulaboh, “Singoh Beungoh Tanyoe Jiep Kupi di Keude Meulaboh atawa Ulon Akan Syahid,” artinya, “Besok pagi kita (sudah bisa) minum kopi di Meulaboh atau aku yang akan gugur.” Kalimat itu merupakan intepretasi bahwa Umar takkan mungkin dapat minum kopi di pusat kota Meulaboh7) karena ia adalah buronan paling dicari. Artinya, arti kata “sudah dapat minum kopi” akan terjadi saat pasukan Belanda sudah dipukul mundur dari Meulaboh dan mereka sudah bebas melakukan apa saja disana. Umar memang akan menghabisi tangsi Meulaboh seluruh pasukannya, 800 orang, dalam 24 jam.

Namun, rencana Umar, bocor, ke telinga Belanda.

Van Heutzs yang mendengar kabar Umar akan melakukan penyerangan, menyiagakan pasukannya di seputar pantai Ujung Kalak untuk menyergap, tak jauh dari tangsi Meulaboh. 16 Serdadu pribumi, 2 serdadu Belanda, 2 orang preman dan seorang letnan dikerahkan. Pada malam hari, 11 Februari 1899, pasukan Kompeni yang melihat pergerakan dari kubu Umar, menembak membabi buta dalam kegelapan. Umar tertembak. Petualangan Panglima Perang Seluruh Aceh, berhenti di pantai ini. Umar Gugur.8)

Para pengikut Teuku Umar melarikan jenazah pemimpinnya untuk menghindari jatuh ketangan Belanda. Mereka menghindari kemungkinan terburuk seperti yang Belanda lakukan terhadap Panglima Nyak Makam, yang dipenggal kepalanya dan diarak keliling kota untuk menakut-nakuti rakyat agar tak memberontak. Umar dilarikan, disembunyikan, dan dimakamkan ke setidaknya di 6 titik persembunyian dalam kisaran waktu hingga 1,5 tahun, hingga akhirnya beristirahat dengan tenang di Glee Rayeuk Tameh atau Gampong Mugo, di Aceh Barat, sekitar 1,5 jam perjalanan darat dari Meulaboh.

Makam Teuku Umar, ditemukan 18 tahun kemudian. Saat itu seorang arkeolog Belanda yang bekerja di kantor arsip meminta izin melihat kuburan Umar dengan janji tak akan mengganggunya. Setelah meminta izin dan berhasil meyakinkan uleebalang setempat, kuburan Umar ditunjukkan.

Perjuangan tak pernah mati. Cut Nyak Dhien, bersama anak mereka Cut Gambang, serta pengikut Umar yang lain, melanjutkan perjuangan sang suami melawan penjajah hingga 1903, sebelum akhirnya tertangkap, dan diasingkan ke Sumedang.

Hendra Fahrizal / Penulis / hendrafahrizal@yahoo.com

Catatan kaki :

1)Panglima Polem adalah gelar untuk Panglima Sagi XXII mukim. Aceh diseputar wilayah kekuasaan kesultanan, yang dulunya meliputi Aceh Raya, memiliki tiga pembagian wilayah kekuasaan, yaitu Sagoe, atau sagi. Sagoe terbesar adalah Sagi XXII mukim diseputar wilayah Indrapuri-Seulimum. Sagi XXV mukim diwilayah Meuraxa hingga Lampisang (dulu Lampadang) dan Sagi XXVI Mukim di wilayah Krueng Raya-Lamreh sekitarnya. Sagi terbesar adalah Sagi XXII mukim dimana diperintah oleh Panglima Polem, yang juga duduk sebagai anggota majelis kerajaan, dimana memiliki wewenang untuk menjadi wali Sultan bila masih belum akil baligh dan mengangkat Sultan.

2)Seorang generasi ketiga Umar, yang saya wawancarai, T. Usman Basyah, mengaku sempat menyimpan sebuah surat gadai tanah di wilayah Lampadang, yang dianggapnya sebagai biaya untuk peperangan. Ia mengaku surat tersebut lenyap seiring Tsunami 2004 menerjang rumahnya.

3)Foto kapal Bengkuloen dan para kelasi tersebut dapat dilihat fotonya di web KITLV.

4)Saat itu tahun 1886, istana sudah lama jatuh ke tangan Belanda dan Sultan Mahmudsyah sudah meninggal akibat penyakit kolera pada 1874. Penerusnya, Sultan Muhammad Daudsyah (yang menjadi Sultan terakhir), belum akil baligh, lalu dibawa oleh Tgk. Chik Ditiro dan Panglima Polem sebagai anggota Majelis Kerajaan (wali bagi Sultan yang belum akil baligh) ke wilayah Keumala, Pidie. Saat sudah akil baligh, dinobatkan disana dan pusat kesultanan dikendalikan darisana. Sultan menyerah pada 1903 dan ia dibuang ke Batavia.

5)Banyak orang percaya, Tgk. Chik DiTiro diracun oleh anaknya sendiri, Tgk. Mad Amin, yang menyukai seorang istri muda ayahnya. Dibeberapa sumber Mad Amin disebut memiliki perangai sangat buruk, berbeda dari ayahnya yang merupakan ulama karismatik.

6)Van Heutsz lah kelak yang dapat membunuh Umar dan meredam segala konflik di Aceh. Prestasi itu membuatnya dipromosikan oleh Ratu Belanda menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.

7)Yang disebut “pusat kota Meulaboh” hanya jalan tak beraspal dengan beberapa toko kayu, di seputar Mesjid Nurul Huda, disebut Keude Meulaboh. Sehingga keberadaan Umar disana pasti dengan gampang akan diketahui bila ia minum kopi wilayah itu. Sekarang daerah tersebut bernama Gampong Likot atau Gampong Belakang.

8)Sebagian percaya, terbunuhnya Umar akibat pengkhiatan. Sebagian sumber menyebut, saat Umar ditembak, pengkhianat itu memberi kode dengan menyalakan pelita, ada yang menyebut lampu --ada pula yang menyebut bara rokok-- sebagai acuan arah tembakan Belanda. Saat Umar tertembak, sebagian sumber menyebut, jenazah Umar langsung dibawa lari pengikutnya. Sebagian lagi menyebut, ditinggal dilokasi semalam (penembakan terjadi pada malam hari), pagi harinya, saat situasi kondusif, jenazah diambil kembali. Sebagian sumber Belanda menyebut, jenazah Umar jatuh ke tangan Belanda dan kepalanya dipenggal, hal itu tak benar. Pejuang yang dipenggal kepalanya adalah Panglima Nyak Makam, yang dibunuh saat penggerebekan rumahnya di Lamnga saat beliau sedang terkapar sakit.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now