"Lebih baik kau berzina tetapi masih melakukan Sholat, dibandingkan sekarang...", ujarnya tajam. Matanya melotot melihat ke arahku yang masih ngeyel mempertahankan pendirian.
"Coba kau jelaskan...", Dengan nada tak perduli. "Apa dasarmu lebih baik seorang pelacur daripada aku...", Tuntutku lagi.
"Aku bukan ahlinya, tapi aku akan sampaikan sebuah cerita. Ini dari pandanganku. Mataku yang melihatnya sendiri...", Balasnya masih penuh kemarahan.
"Dulu, waktu sma aku sempat menyasar di warung remang-remang". Ia membuka ceritanya sambil duduk dan membakar sebatang rokok. Menghisapnya dalam-dalam, dan melepaskannya seolah meringankan isi dadanya. "Ah, entah apa kabar kakak itu... Ingin aku lihat lagi dia...", Keluhnya di tarikan pertama.
Hening sesaat...
Aku lahir sebagai anak sulung. Aku keras, kurasa itu turun dari darah ayahku. Tapi aku juga paling mudah tersentuh oleh perempuan. Maksudku, perjuangan dan kerasnya hidup perempuan. Karena, mungkin itu didikan ibuku, yang setiap malam menemaniku, mengajarkan aku ngaji. Mengenal Tuhan kurasa tepatnya.
Jadi, aku tidak ingat sebabnya. Malam minggu, ya itu malam minggu... aku tiba-tiba saja ikut terlibat pesta miras dengan kawan-kawanku. "Kau tahulah, kota ku itu... Pintu gerbang Aceh - Medan, dengan bukit Arjuna-nya.... Kau pasti tau itu..ha..ha..ha...", Ia tertawa dengan nada masygul. Aku tidak merespon.
"Ya... Malam itu aku pulang dalam keadaan mabuk. Mamak... Baru malam itu ia meledakan amarahnya. Aku ditamparnya berulang kali. Aku tidak cukup mabuk, sehingga aku bisa mengingatnya. Ayah cuma duduk diam tidak berkata apapun. Seolah tidak melihat aku disitu. "He...he... Mamak mukul, akhirnya ayah yang melemparku keluar rumah", ia mengusap wajahnya. Terlihat raut kecewa, apakah kecewa dengan dirinya atau orangtuanya, aku tidak bisa menebaknya.
Ia diam sejenak. Rokok kedua disulutnya.
"Dimalam itu, aku langsung menumpang bus dan berangkat ke Medan. Modal mabuk yang aku punya dengan pipi bengkak", Ia berhenti sejenak. Menyedot rokoknya dalam-dalam.
Ia melanjutkan.
Sampai Medan, aku mengelandang. Serabutan sana sini. Aku tidak punya apapun. Makan sekedarnya, terkadang tidur di emperan atau pelataran mushala. Sampai suatu malam, belum larut aku rasa, seorang perempuan memasuki mushala dan sholat isya. Dia sendirian. Aku hanya diam, tidak peduli. Tetap melingkar dalam sarung yang aku curi entah dari mesjid mana. Aku sudah tidak ingat.
Beberapa kali aku bertemu dengannya. Usianya beberapa tahun diatas kita. Sampai suatu waktu, ia mendekatiku. Ia menanyakan, apa aku mau ikut dengan dia? Ada kamar dibelakang tempat ia bekerja. "Kau bisa tinggal disana, sambil bantu-bantu cuci piring. Kau kubilang adek aku dari kampung...", Begitu katanya. Dan malam itu aku ikut dengannya. Tidur dikamar belakang warung dekat pangkalan supir lintas sumatera.
"Kau tau supir kan? Apalagi orang Batak.... Payah kau cari yang alem. Nggak maen perempuan, nggak mabuk...", Tegasnya untuk meyakinkan aku.
Aku diam. Hanya mengangguk-angguk membayangkan kapan aku bisa lepas dari cerita membosankan kawan satu ini.
"Namanya Rina", lanjutnya lagi. Orangnya lebih pendek, "Perabotannya menggoda. Aku waktu itu masih perjaka belum tahu arti enak", mencoba mendepkrisikan perempuan itu.
"Aku pikir dia hanya bantu-bantu masak di warung mamih. Tempat aku tinggal itu", matanya kembali menerawang. Mengenang masa-masa menjadi anak terbuang.
Kakak itu, tubuhnya kecil tapi padat. Ia bergerak luwes, lincah menemani para abang supir yang singgah. Terkadang berdiri di depan pintu warung manggil para supir dan kenek hanya dengan memakai baju 'U Can See' ketek. Bila dilihat dari samping, dari sela-sela bajunya, pasti puting susu-nya terlihat jelas.
Begitu sore, menjelang magrib ia akan bergegas mandi dan bersolek sekedarnya. Kemudian menghilang sebentar di waktu magrib dan isya.
Mulanya aku tidak tau kemana ia pergi. Yang pasti lepas subuh barulah ia kembali dengan baju seronok, pantat ditongekin dan berambut basah. Kembali memulai kerja sebagai pelayan warung.
Aku sendiri selama beberapa minggu di sana mulai mencicipi bir. Pertama sembunyi-sembunyi dari Kak Rina. Akhirnya aku punya keberanian menenggak sisa Kamput milik seorang supir didepannya.
Dan...sukses ditampar aku. Seharian aku dimarahinya. Mami pemilik warung diam, karena aku dianggap adik Kak Rina, dan tanggung jawab dia. Jadi perempuan itulah yang berhak mendidik aku.
Malam itu ia tidak keluar seperti biasa. Dia duduk bersamaku di kamar belakang. Pipiku masih terasa nyeri akibat tabokannya tadi siang.
Malam itu, membuat aku kembali sadar. Kasih sayang orang tua. Rina, ya kakak itu juga adalah pelacur. Ia ditinggal pergi oleh pacarnya. Kisah klise memang. Tapi ia memilih memelihara anaknya.
Pekerjaan menjadi babu, pertama kali ia lakukan setelah kelahiran anaknya. Tapi ia malah dituduh menggoda suami Nyonya rumah. Ia berhenti. Mencoba jadi buruh cuci di kampungnya, para ibu-ibu mulai mengungkit-ungkit anak yang ia bawa pulang.
Sedangkan keluarga laki-laki tersebut, malah menghinanya. Ketika ia datang sambil membawa anaknya, anak mereka. Ia bukan minta harta, hanya ingin memperkenalkan anaknya kepada bapaknya.
"Anak aku bukan Nabi Isa yang lahir tanpa bapak...", Itu yang dia katakan kepada keluarga laki-laki itu.
Kawanku menggaruk kepalanya. Ia berhenti sejenak. Aku pura-pura menyibukkan diri dengan memeriksa hape ditangan. "Lalu? Kau becinta sama dia? Ngentot?", Tanyaku mesum.
Ia langsung bereaksi, "Kau pikir aku laki-laki apaan wak? Kotor kali otak kau....". Sambil tertawa, "tepikir juga aku. Tapi aku takut kenak sipilis wak. Raja singa... Masak perjaka aku langsung di kasi singa..", tambahnya. Aku hanya mesem-mesem menunjukkan ketidak percayaan.
"Akhirnya...." Ia melanjutkan cerita pelacur tadi. Kakak itu terjun ke dunia becek. Tapi ia berusaha sholat. Minimal sehari sekali dia sholat. Bolong-bolong memang.
Aku sempat protes, aku bilang begini, "Kakak itu bezina. 10 dosa besar, bezina salah satunya.... Sia-sia sholat kakak. Menghina tuhan kakak itu...". Kau tau, aku langsung ditampar lagi. Tangan kawan ku langsung mengusap pipinya, seolah masih membekas.
"Apa kau Tuhan?", Gugatnya balik. "Setidaknya, aku tau Tuhan itu ada. Walau aku buat dosa sama Tuhan-ku...", Ia menyodok ulu hatiku.
"Kau... Sebaik apapun kau idop, gak akan bisa masuk surga karena kau gak tau siapa tuhan kau... Siapa tuhan kau? Ke gereja nggak. Ke mesjid cuma buat numpang tidur. Jadi jangan kau yang tentukan surgaku. Ya ... Malam itu panjang. Bermacam nasehat dan kisah pahit hidupnya.
Siangnya, setelah hampir sebulan aku di warung itu. Aku diberinya uang untuk pulang ke rumah. Meminta maaf atas kelakuanku. "Thats my stories...", Tutupnya.
"Kisah yang menarik. Dan inspiratif... Tapi aku tetap dukung Ahok, dalam konteks keahliannya", aku membalasnya sambil menyeruput kopi saring yang sudah dingin.
Sumber ilustrasi: https://goo.gl/images/cMbxo