Catatan Visual (I) | Merancang The Atjeh

image

Tiba-tiba nomor kontak saya terjatuh dalam grup wasap bertajuk Kita Pernah Akrab. Saya mengenal semua anggota grup, pernah berteduh di bawah atap yang sama, sebuah kantor penerbitan media online dan media cetak yang sekarang tidak bernyawa lagi, agar lebih mudah sebut saja perusahaan itu dengan A, sudah, terima saja sebutan itu.

Ada banyak cerita ketika masih berkantor di A, semua anggota grup punya bagian dan kerjaan masing-masing. Lewat postingan ini, saya bercerita bagian saya sendiri, selaku pernah menjadi tukang bagian desain grafis di perusahaan A.

A awalnya menerbitkan portal berita berbasis online, dalam perjalanannya karena dikelola dengan telaten dan rekrutan pasukan handal. Media online A tumbuh menjadi salah satu portal terbesar di Aceh. Kemudian A melebarkan menerbitkan tabloid mingguan. Tak puas disitu, A menelurkan majalah bernama The Atjeh.

Sengaja saya menyebut The Atjeh secara terang-terangan, karena majalah ini punya bagian penting dalam hidup saya sebagai pelaku desain grafis. The Atjeh adalah pengalaman pertama mendesain majalah dan juga paling menguras pikiran tatkala meramu tampilan dari perwajahan sampul depan, dalam, dan belakang.

the atjeh.jpg The Atjeh edisi satu, dua dan tiga.

"Kita akan menerbitkan majalah, coba kamu rancang tampilan bagaimana bagusnya, saya percaya kamu." Kata bos A suatu siang setelah saya dipanggil menghadapnya di sebuah ruang rapat. Saat itu hanya ada saya dan dua petinggi perusahaan.

Saat saya menyetujuinya, beban pikiran saya bertambah berat. Sebelumnya saya pernah mendesain koran dan tabloid, majalah tidak sama sekali. Terduduk di ruang kerja sendiri, yang pertama saya lakukan adalah melamun, merumuskan apa yang harus saya lakukan. Riset, ya, ini yang pertama saya lakukan.

Rujukan saya waktu itu National Geographic (NG) dan Tempo. Dua majalah tersohor yang tidak serta merta saya plagiat habis-habisan, saya sangat menghindari itu. Kendati The Atjeh punya sisi ukuran sama dengan NG. Lagipula ukuran NG menurut saya paling ideal untuk bahan bacaan, elegan, irit ruang, tidak terlalu lebar seperti Tempo, sehingga nampak bongsor.

Pertama, saya harus bikin beda dalam pemilihan jenis huruf, ini lumayan terkuras tenaga. Menurut saya, huruf salah satu bagian terpenting, selain foto, tataletak dan warna. Ia nantinya akan menjadi indentitas. Jadilah saya menulusur jenis huruf berbeda antara penggunaan judul dan isi tulisan. Sepengetahuan saya, rancangan desain baiknya tidak lebih dari penggunaan dua jenis huruf, maksimal bolehlah tiga jenis. Lebih dari itu nampak celaka dan amatiran.

Jenis huruf yang dipilih tentu saja sesuai tema majalah. The Atjeh memuat wacana seputar seni, budaya, sejarah dan politik. Akan berbeda pemilihan jenis huruf jika mengulas tentang fashion dan tema khusus anak-anak.

the atjeh2.jpg

Kala menjatuhkan pilihan jenis huruf, saya tidak punya kata tepat untuk menjelaskan secara rinci, sebab saya sulit menjelaskan secara teori. Bersebab saya tidak pernah masuk kelas desain resmi, saya hanya lihat-lihat secara otodidak. Selebihnya mengandalkan insting untuk memutuskan, "ini sudah cocok dan bagus pastinya."

Huruf untuk nama majalah "The Atjeh" menggunakan jenis Blackletter, merujuk kesesuaian branding huruf yang sama dengan penggunaan pada media online dan tabloid. Riset saya lakukan hanya untuk penggunaan judul dan isi tulisan majalah. Saya tidak ingat bagaimana jelasnya, sehingga huruf Neo Sans Pro, bagus untuk judul, dan isinya menggunakan huruf Minion Pro.

Neo Sans Pro masuk kasta Sans Serif, jenis huruf tanpa lentik di ujung. Elok untuk penggunaan judul. Neo Sans Pro punya keluarga yang lengkap. Punya bobot yang paling tipis hingga ketebalan yang cukup untuk penggunaan kesesuaian tema judul. Neo punya kesan elegan dan kokoh.

Sedang Minion Pro masuk kasta Serif, punya lentik di ujung batang, dari yang saya ketahui lentik ini apik untuk penggunaan teks panjang, seperti kalimat dan paragraf. Lentik di ujung berfungsi menuntun alur mata dari satu huruf ke huruf agar nyaman mengikuti bacaan. Istilah dalam anotomi huruf, lentik disebut Bracket.

Anatomi.jpg Anatomi huruf. (Sumber)

Maka itu, banyak media cetak yang menggunakan huruf Serif pada isi paragraf. Sans Serif pada judul. Namun dalam desain tidak ada yang baku, ada juga desainer yang melabrak aturan, malah meletakkan jenis huruf dengan penggunaan sebaliknya.

Dari segi tata letak, penggunaan judul juga merujuk kesesuaian yang sarat presisi dari ukuran, kerapatan hingga jarak yang mampu menambah nilai estetis, selebihnya memainkan peranan ruang-ruang kosong agar konten tidak tampil sesak agar membuat nyaman mata pembaca.

Setelah desain The Atjeh hasil rancangan saya di sambut baik oleh atasan A, beberapa minggu kemudian tercetak perdana dengan tajuk utama Keurajeun Lhee Sagoe, berjumlah 116 halaman. Terlepas dari desain, The Atjeh memang majalah hebat dalam mengemas laporan yang cukup lengkap. Ia cukup berisi dan dapat menjadi kajian Aceh untuk masa depan.

Sayangnya, kisah perjalanan saya dengan The Atjeh, hanya berakhir di edisi ketiga, berkepala berita Kita Pernah Akrab. Ada pemicu yang tidak ingin saya urai terkait hubungan saya dengan The Atjeh, kandas dini. Biarlah menjadi sebuah pencapaian karir yang patut dikenang, sebab pernah menjadi bagian dari penerbitan salah satu majalah terkeren yang pernah ada di Aceh.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
25 Comments