Subuh Berdarah, Kisah Sang Mantan

Suara letusan senjata memecah kesunyian,
masih di pagi buta, orang orang berlarian, sembunyi di semak semak rawa. Dari sudut jendela kami mengintip, ternyata disana sedang terjadi peperangan.

wp-1467677490190.jpg

Apakah ini benar benar nyata, kita tidak sedang nonton film perang kan?, tanya Fata yang masih ragu dengan peristiwa yang sedang berlangsung.

"Iya ini nyata fata, Ini bukan cerita perang di film yang kita tonton semalam", Jawabku meyakinkan fata.

Kami adalah pencinta film perang, tak jarang sebelum tidur kami memutarkan film film perang sebagai tontonan. Kadang juga, di sekolah kami suka membaca kisah kisah perang dunia.

Suara letusan senjata semakin keras, seolah zona perang memasuki wilayah bangunan asrama kami.

Tiaaaaraap, tiaaarap, semuanya tiaraap, gak ada yang keluar kamar, teriak pengasuh asrama kami. Ia memerintahkan kami tetap berada di kamar.

Buuummmm, ledakan keras kembali terjadi.

Sekalipun kami bocah pecinta film perang, tapi ini adalah perang nyata. Kami benar benar ketakutan, masih sangat terasa di ingatan, kala itu kaki fata gemetaran hebat.

Semakin terasa, dari luar jendela peluru peluru nyasar menghujam dinding asrama kami.

Mereka saling menembak, mengendap-ngendap diantara bangunan asrama kami.


Allahu Akbar Allahu Akbar... Allahu Akbar Allahu Akbar...

Suara takbir menggema, tapi ini bukan suara takbir perang seperti yang terjadi di palestina.
Ini adalah suara azan di komplek asrama kami, biar pun perang sedang berlangsung.

Sosok sepuh, Ustaz Umar, guru kami tetap mengumandangkan azan pertanda waktu shalat subuh sudah tiba.

Usia beliau memang sudah tua, namun suara syahdu nan merdu beliau mampu mengalahkan suara senjata perang.
Entah mengapa, seiring beliau selesai mengumandangkan azan, suara letusan senjata pun secara perlahan mereda dan kemudian keadaan kembali sunyi.

Pengasuh kami keluar mengetuk sejumlah kamar deretan asrama kami, Kami langsung bergegas ke musalla, menunaikan shalat subuh berjamaah seperti biasa.

Usai shalat subuh, kami melanjutkan aktifitas seperti biasa, seolah memang tidak ada kejadian apa apa.

Sebagian kami memilih tetap di musalla, membaca Alqur an atau sekadar mengulang pelajaran sekolah, dan sebagian yang lain ke kamar mandi ataupun ke dapur umum untuk sarapan pagi.

Pukul 07: 30 on time kami masuk kelas asrama. Masih seperti biasa, seperti hari hari biasa. Kami belajar di sekolah asrama, asrama kami terletak tidak jauh dari asrama, hanya jarak ratusan meter, jadi dengan mudah jalan kaki ke sekolah.


Allahu Akbar Allahu Akbar,

Suara teriakan keras dari sudut paling ujung asrama.

Tolooong tolonggg, ada mayaaaat,

Suara teriakan itu semakin keras menggema ke lingkungan sekolah.

Kami yang sedang belajar, langsung berhamburan ke luar kelas kemudian berlari ke arah suara teriakan itu.

Astaghfirullah, Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un.

Dua mayat laki laki dewasa tergeletak di rawa rawa belakang asrama. Ya, meraka anggota GAM yang berperang melawan TNI sebelum subuh tadi. Spontan ! suasana gaduh, riuh. Darah berhamburan, berceceran di sepanjang asrama.

Guru guru kami mengevakuasi mayat tersebut dengan kain seadanya. Dengan penuh lumuran darah, dua mayat itu dibawa ke luar melewati deretan kelas kelas kami.

Kami hanya bisa terpaku, peristiwa berdarah itu telah menjadi pelajaran kami, pelajaran yang sangat menyayat hati.
Betapa murahnya nyawa orang orang GAM ini. melayang tanpa di sangka...

Bersambung ke meja DPRA...

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center