Memeluk Kebangsaan

image

Menulis tentang Indonesia lazim diawali dengan paragraf pembuka sebagai sebuah bangsa besar dengan ribuan pulau. Geografis yang tak biasa, perbedaan suku dan budaya, dipersatukan dalam pilar kebangsaan, bhineka tunggal ika. Berbeda-beda namun tetap satu. Kalimat sakral itu, tampaknya tak begitu ampuh lagi dengan kondisi kebangsaan hari-hari ini, yang makin kemari, makin mengerikan. Saya menahan diri untuk mengatakan menjijikkan.

Ketika falsafah bangsa hanya manis dibaca, pertanyaannya apa lagi yang bisa mengeratkan? Berharap pemandangan kekuasaan, mereka turut bermain. Berharap oposisi, pun banyak sekali dramanya. Eskalasi kebangsaan senantiasa membuat rakyat naik turun moodnya. Bila harus jujur, negara aman-aman saja, yang terkesan terancam hanyalah settingan orang-orang di balik layar.

Sepertinya, apa yang kerap disyairkan para pujangga memiliki relevansi terhadap kondisi kita dewasa ini; "Tak ada yang lebih memdamaikan selain pelukan seorang kekasih kepada kekasihnya yang lain". Pelukan selalu saja mampu menjembatani antara amarah penuh ambisi dengan cinta yang meletup-letup. Di hadapan peluk, segala yang panas mendadak hangat, pun seterusnya dingin hingga tak terasa apapun lagi.

image

Saya lupa kapan terakhir kali berpelukan. Seingat saya, pasca lebaran iduladha, bunda memeluk saya melepas kembali ke ibu kota. Selain itu, hanya ada dua pelukan, Ayah yang membesarkan hatinya sendiri, pun adik kecil yang saya peluk sebagai penyemangat agar asa dan harapan dalam dada dan benaknya tak lekas padam. Ia harus sembuh, separah apapun penyakitnya.

Peluk mungkin biasa saja, pun tak jarang dianggap terlalu sensual. Yang pasti, apapun judul maupun interpretasinya, peluk bukan hanya tentang rangkulan, melainkan pemindahan dan atau interaksi spirit antar manusia. Entah itu kelompok, sepasang kekasih yang bercumbu, atau pelukan persahabatan.

Di tengah gegap gempita Asian Games 2018 yang mendekati akhir, mendadak tagar #peluk tranding topik di jagat media sosial. Hanif, sang peraih medali emas cabang olahraga pencak silat, dalam selebrasinya memeluk dua orang penting di Indonesia; Jokowi-Prabowo. Jokowi sebagai presiden saat ini dan Prabowo sebagai Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI).

image

Keduanya juga calon presiden Indonesia periode mendatang yang akan bertarung di ajang Pilpres 2019. Selama ini, narasi kebangsaan kita terlampau sesak dengan segala tindak-tanduk yang ada. Seolah-olah, Indonesia dibagi menjadi dua kubu, Jokowi dan Prabowo. Yang satu disebut cebong, satunya kampret. Setiap hari, masyarakat riuh berdebat atas nama junjungan yang diyakininya lengkap dengan argumentasi yang ada. Sayang, terlalu mencintai dan membenci sering menjerumuskan seseorang menjadi fanatik.

Nyatanya energi masyarakat dominan terkuras untuk urusan pilpres. Gesekan dua kubu agaknya merobek akal sehat dengan belahan dua sudut, ibarat pertarungan silat yabmng satunya kubu merah, satunya lagi biru. Ketika politik memanaskan, memecah belah, olahraga datang mempersatukan. Saat cebong-kampret kebakaran jenggot, silat datang dengan hujan humas plus kesejukan.

Lewat Hanifan, tangannya merangkul dua orang yang amat ia hormati, dari situ pula pelukan menemukan momentumnya. Bahwa apapun masalahnya, pelukan mungkin bukan obat yang mujarab, tetapi ia bisa menjadi penawar, yang semoga tidak hanya sesaat. Ada banyak tokoh bangsa yang berpengaruh, tapi tidak ada satupun yang bisa (minimal) mempersatukan netizen nusantara.

image

Hanifan, lelaki berambut emas itu mampu mempersatukan kedua kubu yang berseteru. Sesungguhnya, ia tidak hanya memeluk Jokowi-Prabowo, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Terimakasih Hanifan!

Bila politik dipandang terlalu berat dengan segala konsekwensinya yang ada, olahraga yang sejujurnya tak mudah itu, mampu merekatkan apa yang berjarak. Olahraga yang menggembirakan takdirnya paradoks, ia kerap dipolitisasi, di saat yang sama justru ia hadir untuk meredakan gejolak politik. Yang selama ini, sungguh amat sering menggerogoti tubuhnya dari dalam.

Sedangkan Pencak Silat, cabang olahraga asli nusantara ini bukan saja sebagai kekayaan bangsa. Melainkan kebanggaan negara di kancah dunia. Meski masih berjuang agar dipertandingkan di olimpiade, momentum Asian Games diharapkan menjadi batu loncatan agar Pencak Silat benar-benar dipertandingkan suatu hari nanti di olimpiade. Sekalipun, jujur saya masih pesimistis. Terutama persoalan sponsor dan belum masifnya olahraga ini di seluruh penjuru dunia.

image

Pencak Silat dan olahraga tak ubahnya tangan kanan dan kiri yang memeluk kebanggaan Indonesia. Pencapaian sebagai lumbung mendali emas di Asian Games hanyalah satu kebanggaan yang keren, lebih jauh, kali ini Pencak Silat lewat Hanifan dkk, menjadi jembatan yang memeluk kebanggaan kita yang terus saja bertikai atas nama politik dan kepentingan.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center