Kematian Paling Romantis Dalam Sejarah Perang Aceh

Dari sekian banyak pasangan suami istri pemimpin pejuang Aceh, syahidnya Teungku Di Barat dan istrinya merupakan kematian paling romantis, melebihi cerita roman manapun.

Teungku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar, suami pertama dan kedua Cut Nyak Dhien tewas dalam perang, tadi tewasnya tidak bersama Cut Nyak Dhien. Teungku Syik Di Tunong dan Pang Nanggroe, suami kedua dan ketiga Cut Mutia, juga tewas dalam perang, bahkan dieksekusi tembak mati di pantai Lhokseumawe, tapi kematian mereka juga tidak bersama Cut Meutia.

Beda dengan Teungku Di Barat, ia dan istrinya sama-sama menghadapi gempuran dan desingan peluru marsose Belanda. Keduanya bahu membahu dan sama-sama tewas dalam pertempuran, tidak sendiri-sendiri.
tgk di barat dan istri.jpg
Sketsa Tgk Di Barat mengoper senapan kepada istrinya setelah tertembak. [Repro: The Dutch Colonial War In Aceh]

Dalam buku The Dutch Colonial War In Aceh diceritakan, Teungku Di Barat bersama mertuanya Teungku Di Mata Ie alias Teungku Di Paya Bakong, merupakan ulama pemimpin pejuang Aceh di wilayah Keureuto (Aceh Utara) dan sekitarnya. Keduanya sangat disegani, sering memimpin serangkaian serangan ke bivak dan patroli Belanda.

Untuk menghadapi pasukan Teungku Di Barat ini, Pemerintah Kolonial Belanda mengerahkan 12 brigade pasukan marsose dari “kolone macan” yang terkenal beringas bin sadis yang dipimpin Kapten W.B.J.A Scheepens dan Kapten H. Christoffel. Teungku Di Barat dan istrinya tewas dalam pertempuran setelah terkena peluru pasukan Letnan Behrens pada tahun 1912.

Tentang bagaimana romantisnya kematian Teungku Di Barat dan istrinya itu, mari kita simak penuturan penulis Belanda yang juga anggota Marechaussee Honorair, HC Zentgraaff dalam buku Atjeh.

Pantas bagi kalam pujangga agung, salah seorang ulama paling terkenal di daerah Aceh bagian timur laut. Dia dan suaminya, bersama beberapa orang pengikutnya, telah diburu dengan ketat oleh pasukan kita (Belanda-red), dalam rangka pengejaran yang tak kenal ampun, di mana para marsose dalam zaman itu mengerti akan rahasianya. Kemudian tibalah adegan terakhir dalam rangkaian tragedi itu. Teungku dan istrinya beserta beberapa orang pengikutnya, terkepung di antara tebing-tebing batu cadas.

Dalam detik saat di mana semua mereka memiliki semangat juang, berdirilah sang istri di samping suaminya. Sebuah peluru mengenai tangan kanan Teungku, ia mencabut rencong di pinggang dengan tangan kirinya, sementara tangan kananya yang tertembak mengoper senapan yang dipegangnya itu kepada istrinya, yang kini merupakan pelindung, sekaligus berikan pengorbanan terhadap sang suami, berdiri tepat di depan suaminya; suatu ungkapan tauladan nan agung serta cinta bakti yang tinggi.

Demikianlah, wanita itu tegak berdiri di depan suaminya, dan sebuah peluru bersuratan nasib kini meluncur, menembus tubuh wanita itu, kemudian menembus pula tubuh suaminya. Kedua mereka rebahlah dengan seketika, dan tidak lama setelah suaminya tewas, gugur pulalah wanita itu. Akhir hayat yang bagi kedua mereka berarti “syahid”, kiranya telah memberikan rasa kebahagiaan yang tak dapat diduga oleh siapa pun betapa besar artinya.
tgk di barat.jpg
Sketsa wajah Tgk Di Barat [Repro: The Dutch Colonial War In Aceh]

HC Zentrgraaff yang pernah terlibat dalam perang Aceh itu, sangat mengagumi kiprah perempuan Aceh dalam peperangan. Orang-orang Aceh, tulis Zentgraaff, baik pria maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali, untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara para pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap bangsa. “Mereka itu tidak kalah gagahnya dari pada tokoh-tokoh perang terkenal kita (Belanda-red),” tulis Zentgraaff.

Kemudian Zentgraaff menulis, “Comme ils tombent bien… en is er één volk op dezer aarde dat de ondergang dezer heroieke figuren niet met diepe vereening zou schrijven in het boek zijner historie? --- Dan adakah suatu bangsa di bumi ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya para tokoh heroik ini dengan rasa penghargaan yang sedemikian tingginya di dalam buku sejarahnya?”
scheepens.jpg
Kapten W.B.J.A Scheepens, ia bersama Kapten H Christoffel memimpin “kolone macan” pasukan elit marsose, memburu Teungku Di Barat dan pasukannya di kawasan Aceh Utara. [Repro: The Dutch Colonial War In Aceh]

Pujian yang sama juga disampaikan A. Doup dalam buku besar sejarah marsose di Aceh, Gedenkboek van het Korp Marechaussee 1890-1840. Dalam versi bahasa Inggris tertulis:

“The gallantry of the Acehnese, which they demonstrated during the Dutch war in Aceh in defending their freedom and notherland, earned them the respect of Marechaussee Corps and, admiration of their courage, their willingness to die in battle, self sacrifice and endurance. The Acehnese were never at their wit’s end in inventing and applying new strategies and utilizing their perceptive abilities. They carefully observed the movements of the commander of a brigade and knew exactly which brigade commanders were careless in their patrol, and which one were always combat--ready abd well--organized.”

Terjemahannya ke bahasa Indonesia:
“Kepahlawaan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya seperti yang diperagakan selama perang Aceh, menimbulkan rasa hormat di pihak marsose, serta kekaguman akan keberanian, kerelaan gugur di medan tempur, pengorbanannya dan daya tahannya yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya dalam menciptakan dan melaksanakan siasat yang sejati, sementara daya pengamatanya sangat tajam. Ia mengamat-amati setiap gerak pemimpin brigade dan ia tahu benar yang mana melakukan patroli dengan ceroboh, serta yang mana pula yang siap siaga dan berbaris teratur.”

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center