Bek Karu-Karu

774218_483877701649370_988891907_o.jpg

Suasana International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), tahun 2007, tiba-tiba memanas. Peserta memberi kritikan pedas kepada pembicara, Guru Besar Hukum Islam, yang juga mewakili pemerintah. Kala itu, Guru Besar tersebut mengepalai sebuah dinas yang mengurusi pelaksanaan Syariat Islam. Peserta mengkritisi tentang aturan hukum Islam. Ini dan itu. Suasana menjadi ramai.

Sementara peserta menjadi semakin panas. Guru Besar itu tenang-tenang saja. Sampai tiba, salah seorang peserta, Ghazali Yusuf Adan, politisi yang tidak pernah mati itu, berkata “Bek karu-karu, malee dikalon le ureung lua (Jangan ribut-ribut, malu dilihat oleh orang luar)”.

Konferensi itu memang terbesar di Aceh. Mungkin dalam 15 tahun terakhir. Para jawara, maha guru berbagai ilmu, aktivis, wakil pemerintah, orang asing dan yang tidak asing hadir. Acara tersebut didukung oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR). BRR beralasan, bahwa penghelatan itu, juga merupakan bagian dari pemulihan Aceh, yang luluh lantak oleh gempa dan Smong (Tsunami).

Setelah acara, keriuhan itu sempat dibicarakan. Saya berjumpa dan berjabat tangan dengan Ghazali. Dia, dengan ekspersi wajahnya, meyakini bahwa hal demikian tidak perlu terjadi. Di sela-sela rehat. Saya berjumpa dengan salah seorang mahasiswa asing yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya. Dia menulis tentang konflik Aceh. Memang, tema apa lagi yang ditulis kalau bukan hal itu. Ketika saya menanyakan keriuhan di ruang seminar, dia menjawabnya singkat. Dengan mimik wajah bingung. Khas orang asing. Mungkin itu cara dia yang paling baik merespon pertanyaan saya itu.

Orang Aceh sesamanya suka ramai ketika ada pandangan yang berbeda. Kemampuan berdakwanya di atas rata-rata. Perbedaan dapat dijadikan cara ketidakcocokan. Padahal perbedaan adalah fitrah. Namun akibat keriuhan itu. Aceh sering kecolongan. Misalnya saja sebuah polemik tentang pertanyaan awal mula Islam di nusantara.

Ada yang mengatakan di Pasee. Juga bersikeras: Peurelak. Belakangan muncul nama baru lagi, di Lamuri. Keasyikan berdebat sedemikian rupa itu, malah membuat lalai. Sehingga tanpa sadar, tugu titik nol Islam di nusantara, telah tegak di Barus, yang kini menjadi bagian dari provinsi Sumatera Utara. Meu raheung teuk, kalau kata kami orang Aceh Besar.
Baru-baru ini juga berlangsung ketegangan, di mana tempat didirikannya kampus IPDN. Ribut lagi. Dakwa lagi. Kali ini antara Aceh Besar dan Bireuen. Sebelumnya juga terjadi ketegangan tentang himne Aceh. Yang dianggap tidak mewakili keberagaman etnik di Aceh.

Keributan demi keributan ini, di satu sisi, sah-sah saja. Kalau kata orang, buah dari demokrasi. Namun, lama kelamaan, rebut dan dakwa seperti ini semakin mengkhawatirkan. Terutama dalam cara kita mendudukan sebuah sikap yang berbeda.

Saya ingat, beberapa tahun yang lalu. Salah satu lembaga pendidikan tinggi agama di Banda Aceh, gigih memperjuangkan salah seorang tokoh Aceh menjadi pahlawan nasional. Diperjuangkan karena jasa-jasanya untuk masyarakat Aceh. Namun, keinginan tersebut gagal. Kabar burung yang saya terima, karena tidak disambut oleh pihak yang lebih berwenang. Akibat adanya perbedaan sikap politik.

Kalau hendak maju, hendaknya memang singkirkan keinginan untuk selalu ribut, dan meributi segala hal. Sebab masih banyak pekerjaan rumah yang menumpuk di depan kita.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now