Lila, sang Ketua Pertunjukan Drama

Lila selalu bersikap masa bodoh saat Ibu mencoba memberitahu hal penting. Lila menganggap Ibu terlalu banyak bicara sehingga tidak satu pun perkataan Ibu yang menarik untuk disimak.

"Penuhkan isi botol air minummu, Lila. Hari ini Kamis, biasanya kantin sekolah tutup, kan?"

"Ya ... Ya, Bu ..." jawab Lila sambil terus membereskan bukunya.

"Berapa kali Ibu bilang, buku disiapkan malam hari, jadi pagi kamu tidak repot seperti ini!"

Kalimat yang sudah ratusan kali didengar Lila dan dia berkata dalam hati kalau sebenarnya dia sudah sangat bosan mendengarnya, tapi nanti kalau Lila mengungkapkan perasaan itu, ia akan mendengar kelanjutan yang sudah dihafalnya di luar kepala.

"Iya, memang sudah berkali-kali Ibu ingatkan dan kamu tetap tidak melakukan seperti yang Ibu katakan!"

Percuma, tak ada yang menang berdebat dengan Ibu, Lila sudah tahu itu.

Sebenarnya di sekolah, Lila termasuk anak yang rajin dan patuh. Ibu guru suka padanya. Ia banyak membantu meringankan tugas-tugas Bu Guru, terutama tentang ketertiban di dalam kelas. Lila patuh menyimak apa yang dikatakan guru, Lila juga selalu menyimpan kulit sampah camilan dan nanti akan dibuang ketika ia sudah menemukan tong sampah. Lihatlah, betapa teraturnya Lila. Dia juga selalu menaruh gunting, lem, dan buku yang dipinjamnya dari meja yang terletak sudut kelas. Berbeda dengan teman lainnya yang harus dimarahi guru baru mengembalikan perlengkapan milik sekolah.

Karena Lila sangat penurut dan patuh, Bu Guru suka padanya dan pada akhir semester ini, Bu Guru meminta Lila menhadi koordinator untuk pertunjukan kelas mereka. Memang sebelum liburan semester, di sekolah selalu diadakan pertunjukan dan lomba-lomba yang menggembirakan. Bukan lomba-lomba yang membuat jantung berdebar dan rasa tertekan seperti ujian. Hanya lomba balap karung, memancing botol kosong, mencari koin dalam tepung, dan pertunjukan seni bagi yang anak-anak yang punya minat menggambar, bermain drama, dan bernyanyi.

Kelas Lila akan menampilkan pertunjukan seni drama. Lila diberikan sebundel kertas yang berisikan dialog-dialog drama. Lila akan mengatur teman-temannya sesuai dengan peran-peran yang telah disepakati. Lila memang tidak akan memainkan tokoh apa pun, tapi nanti nama Lila akan ditampilkan di layar sebelum teman-teman lain tampil, dia juga akan memberikan kata pengantar sebelum drama dimulai dan memang nanti dia adalah bintang di atas panggung.

Namun, tunggu dulu! Lila bisa saja jadi bintang yang bersinar atau bintang yang meredup. Tergantung dari kerja keras Lila dalam dua minggu ini mempersiapkan seluruh acara. Teman-teman Lila sudah mengambil semua peran yang dirasa cocok. Mereka juga sudah dapat materi tentang memerankan drama di sekolah, tetapi untuk lebih memantapkan masing-masing peran, mereka memutuskan untuk menonton drama dengan judul yang sama di kanal YouTube. Sebagian teman khusyuk mengamati dan sebagian lain kasak-kusuk saja.

Pulang ke rumah, Lila merasa harus berpikir keras bagaimana menyukseskan acara panggung drama mereka. Lila masih saja memikirkan tempat berdiri tokoh utama yang cocok di atas panggung, bagaimana drama itu akan dibuka dan banyak hal lain yang dipikirkan Lila.

"Ayo, Lila. Habiskan makan siangmu, kalau hanya melamun, nasi itu tidak akan masuk sampai ke lambungmu dengan sendirinya," lagi-lagi Ibu memperingatkan Lila.

Lila akhirnya mengunyah makan siangnya perlahan sambil menggerutu kenapa Ibu membuyarkan khayalannya, padahal ia baru saja mendapatkan ide bagus untuk drama itu.

Lila terus merasa kesal hingga malam menjelang. Ia merasa sedikit gugup kalau nanti drama itu tidak sebaik yang diharapkan Bu Guru. Dia juga tidak mau membuat teman sekelasnya malu.

Lila tidur dengan pikiran waswas.  Sebelum azan Subuh, Lila tiba-tiba tersentak bangun. Dadanya terasa sempit seperti ada sesuatu yang menyesaki, semacam ada gumpalan kapas padat di dalam rongga dada. Lila jadi berkeringat dan meraba jantungnya. Harusnya dia baik-baik saja karena ia hanya bermimpi buruk.

Di dalam mimpi itu semua teman-temannya tak ada yang mau mendengarkan apa yang dikatakan Lila. Lila sudah berada di ruang latihan dan dia menyaksikan teman-teman sibuk dengan camilan di tangan. Kertas-kertas beserakan di lantai, di meja, di bangku, tak ada temannya yang mau menghafalkan dialog-dialog drama mereka. Teman-teman sibuk mengobrol satu sama lain sambil tertawa terbahak karena lelucon mereka sendiri. Lila berteriak memanggil pemain-pemain drama yang sudah dipilih sebelumnya, tapi tak ada yang menyahut, beberapa dari mereka sempat melirik Lila dan terdiam sesaat. Hanya memandang dengan tatapan tak suka dan melanjutkan obrolan mereka.

Lila panik dan mulai menarik tangan mereka satu per satu, tetapi teman-teman menyentak dan melepaskannya lagi dengan wajah tak suka. Lila memohon baik-baik agar mereka iba dan beralih mendengarkan Lila, tapi semuanya sia-sia. Lila bingung dan ingin segera berlari pulang, sambil ia berteriak, "Ibu! Ibu! Kenapa tak ada yang mau mendengarkanku?"

Rasanya Lila ingin menangis, tapi dia tahu itu tak sungguh-sungguh terjadi, Lila hanya bermimpi. Hingga azan Subuh terdengar sayup-sayup dari corong masjid, perasaan Lila tetap tidak enak. Dia sangat kesal, sedih, dan marah karena tak ada teman yang mendengarkan apa yang diusulkan Lila, walau dia sudah mengeraskan suaranya, bahkan dia tahu teman-teman sudah mendengar tetapi tak mau peduli. Rasanya sangat menyakitkan.

Lila menyiapkan bukunya sebelum matahari tampak berseri, dia menyiapkan dengan terburu-buru. Memang dia tak lagi banyak membawa buku, hanya buku catatan biasa dan kertas naskah drama, beberapa pulpen kesayangan juga ia masukkan ke tas.

Sebelum Ibu sibuk menyuruh mandi, Lila sudah menyambar handuknya dan pergi ke kamar mandi, lalu memakai seragam sekolah, mengambil piring dan duduk tertib menunggu Ibu menyajikan telur mata sapi dan nasi goreng kesukaan Lila.

"Lila semangat sekali pagi ini. Mimpi apa kamu semalam?" tanya Ibu sambil memandang Lila dengan wajah bahagia.

Karena Ibu mengingatkan tentang mimpi, wajah Lila berubah muram.

"Ibu dengar dari Bu Guru kalian akan mengadakan pertunjukan drama dan kamu ditunjuk sebagai ketua acara," sambung Ibu lagi tanpa menunggu jawaban Lila tentang mimpi.

"Iya, kata Bu Guru namanya koordinator." jawab Lila.

"Wah, hebat, dong! Ibu pasti akan datang menonton," wajah Ibu semakin bersemangat.

"Iya, tapi ternyata jadi koordinator itu tidak mudah, Bu ..." ujar Lia agak lesu.

"Jangan khawatir, semua pasti baik-baik saja. Ibu yakin kamu bisa jadi koordinator. Kalau Bu Guru percaya, tandanya kamu punya kemampuan," ujar Ibu menyemangati, "kamu hanya butuh kepercayaan diri dan keberanian."

Lila tersenyum memandang Ibu, "Dan kemampuan supaya teman-teman mau mendengarkan. Apa menurut Ibu teman-teman akan mendengarkan apa yang Lila katakan?"

"Tentu saja! Kamu teman yang hebat!" sahut Ibu sambil merentangkan kedua tangan. Lila memeluk Ibu dan seketika sesak di dalam dadanya menguap seperti air dipanaskan. Dada Lila menjadi sangat lapang dan Lila berjanji akan menanggapi setiap perkataan Ibu dengan baik. Lila tidak ingin menyumbat dada Ibu dengan gumpalan-gumpalan kapas, karena Lila tahu itu membuat sesak dan menyakitkan.[]


Ilustrasi: @dysexicmom

Posted from my blog with Exxp : https://stanzafilantropi.com/lila-sang-ketua-pertunjukan-drama/
H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now