Perlukah VAR?

Setelah bolak-balik mengalami kecelakaan di era 60 dan 70an akibat ketidaksempurnaan instrumen dan dianggap dampak era pengembangan dan penyempurnaan pesawat, kita memetik buah manis di era milenium ini, dimana, dari aspek tehnis pesawat sudah menjadi moda paling aman didunia, kecuali bila berpijak pada aspek kelalaian sumberdaya manusia dan manajemen (kelalaian maskapai). Istilah pesawat jatuh, bagi praktisi penerbangan, dianggap sebagai kata2 yg tidak perlu ada. Hari ini, pesawat telah berada di posisi terbaik dalam penyempurnaan, sejak ditemukan pada 1903 oleh Wright bersaudara.

Sepakbola juga begitu. Sebelum adanya teknologi VAR, sepakbola ibarat pesawat era 60-an. Tercederai oleh kontroversi keputusan wasit. Wasit tidak salah. Bola matanya hanya dua untuk memplototi 22 pemain. Jadi wajar ia butuh mata lain. Fenomena saat ini, kontroversi yang terjadi dalam.sebuah pertandingan, kerap dikenang sepanjang masa dan terus diputar ulang dalam progra. Televisi atau media sejenis. Keputusan keliru wasit selalu menjadi catatan paling hitam dalam sejarah sepakbola, dua diantaranya gol tangan Tuhan Maradona dan anulir gol Lampard. Ia menjelma menjadi momok bagi sejarah kompetisi piala dunia. Tentu tak ada penyelenggara kompetisi yang menyukai cacat itu. Karena tak salah FIFA terus berbenah.

Jadi, VAR itu adalah penyempurnaan. Membuat sepakbola jadi lebih baik. Versi saya, ketika wasit menghentikan sepakbola dan ingin melihat VAR dengan kode tangannya, itu malah menjadi sebuah adegan unik yang membuat pertandingan sepakbola seperti mendapat menu baru. Ketika kemudian wasit yang awalnya melihat tidak ada pelanggaran di kotak penalti lalu kemudian malah menunjuk titik pinalti, mengkoreksinya setelah melihat VAR, bagi saya, selain membuat keputusan terkoreksi dari salah menjadi benar, juga memperlihatkan sebuah pertandingan yang sempurna.

VAR itu keniscayaan, akan diperlukan, tidak hari ini, mungkin nanti. Nah, yang mengatakan VAR membuat sepakbola tidak seru, sebenarnya memiliki syaraf gagal paham dalam kepalanya, dimana ia menempatkan 'keseruan dan spontanitas' diatas memperbaiki 'yang salah menjadi benar'. Mungkin pelajarannya, dia harus mencoba kembali naik pesawat MD 80. Pesawat yang memiliki rentetan kekurangan, terus jatuh akibat gagal komponen, sehingga memaksa perusahaannya gulung tikar karena berada terlalu lama pada zona ketidaksempurnaan itu.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now