Juli 2011
Musim berganti dan waktu tiada mau menanti. Jejak pendidikan tertinggi dalam sejarah negeri sebagai serendah-rendahnya bentuk peradaban demi sebuah pekerjaan sedang dijejaki.
Para calon pengangguran berbaris rapi. Di bumi ini, siapa yang tak mampu bertahan akan mati. Namun aku tahu bahwa pendidikan tinggi tiada menjamin bagusnya budi pekerti, dan tidak mendidik untuk menjadi karyawan sejati. Sejujurnya seorang sarjana bisa saja kalah dari tamatan SD namun tamatan SD yang tidak memulai usaha sendiri tak akan pernah mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Tidak peduli apakah engkau masuk dan lulus dengan sogokan, selembar ijazah akan sangat menentukan pekerjaan. Belakangan aku bahkan tahu bahwa skill bisa jadi sering diabaikan. Dan pendidikan tinggi benar-benar bukan jaminan akan luhurnya budi pekerti serta timbulnya pemikiran maju dari benak kolot yang bertentangan dengan agama. Seorang kenalan yang telah menjejak pendidikan lebih tinggi membuktikannya padaku.
Sebagai salahsatu mahasiswa dalam barisan, aku adalah orang yang terdampar. Ingin masuk dayah dan mendalami Islam namun tak ada izin. Masa orientasi sewaktu SMA dulu aku tak lagi ingat namun masa orientasi di Universitas bisa kupastikan jauh lebih buruk. Hari pertama aku sudah membentak kakak leting panitia ospek tersebab ia melarang menggunakan HP saat berbaris. Sebenarnya aku sangat penurut dan tak suka mencari masalah, namun saat kujelaskan baik-baik bahwa aku sedang bicara dengan ibuku di telpon dan ia tetap melarang, amarahku terjangkit. Dan jadilah aku sebagai mahasiswa baru yang mendapat catatan hitam di awal pekuliahan.
Masa itu menjadi lebih buruk saat hari selanjutnya, kami dipaksa makan makanan sisa yang dikumpulkan dan bekas teman lain. Ada yang salah dengan negeri ini, bukankah sepatutnya generasi pemula mendudung dengan pendidikan yang bermoral bukan semakin meruntuhkan image pendidikan negara yang memang sudah ketahuan buruknya.
Aceh, 26 Juli 2018
