Sudah Bukan Zamannya Berjuang untuk Sastra

Terkadang kita memang sok idealis (atau pencitraan semata?) -- merasa harus "berjuang" atau menjadi "pahlawan" bagi sastra (dan seni lainnya) sehingga kita mengobral karya dan kreativitas kita. Bukan dengan harga murah tapi tanpa harga.

Kita sungkan bicara honor, apalagi bernegosiasi ketika mengisi acara sastra. Bahkan sebagian pegiat sastra dengan suka rela menyodor-nyodorkan diri untuk mendapat panggung demi popularitas semu. Sebagian pegiat sastra rela mengejar panggung hingga ke luar kota -- tentu saja dengan biaya sendiri.

Kondisi inilah yang membuat sastra (dan seni) tidak pernah menjadi dunia profesional. Kita terus merasa harus jadi "pejuang". Dunia sastra hanya bisa dikerjakan sambilan karena ia harus mengerjakan pekerjaan lain yang bisa memberinya makan. Bukan hanya karena sastra tidak bisa mengepulkan asap dapur, juga karena kita butuh uang untuk membiayai sastra.

Salah siapa? Ya salah pegiat sastra itu sendiri tak bisa memberi nilai pada karya dan kreativitasnya. Kita menganggap sastra hanya hobi, bukan profesi. Hobi tentu saja harus dibiayai. Seperti halnya hobi mancing, kita harus beli pancing hingga membayar biaya untuk keperluan pergi memancing. Seperti hobi golf kita harus membiayai semua keperluan untuk bisa bermain golf.

Itulah bedanya dengan profesi. Jika kita menganggap bersastra adalah sebuah profesi tentulah kita yang mendapat bayaran dari kegiatan tersebut. Tentu pula ada nilai yang kita tentukan, ada standar yang kita tetapkan. Seperti profesi tukang sulap, tentu untuk mengundangnya tampil kita harus membayar sejumlah uang. Bukan justru tukang sulap yang mencari-cari panggung.

Celakanya ada pula pegiat sastra yang ikut-ikutan tidak menghargai karya, kreativitas dan intelektualitas rekan sesama pegiat sastra. Bahkan ada pula yang memanfaatkan orang-orang yang mencari panggung itu untuk kepentingan bisnis sastra: mulai lomba yang mengenakan uang pendaftaran, bikin bersama dengan kewajiban membayar, dan seterusnya. Ini sesungguhnya lebih parah dari #honor2m. Sudah bikin karya, lalu untuk diterbitkan harus membayar pula!

Tapi bagi pencari panggung orang-orang yang "membisniskan" kegiatan sastra itu atau orang-orang yang menyediakan pangung dianggap pahlawan karena bisa membuatnya bisa memperpanjang biodata -- puisinya dimuat dalam antologi a, b, c, d dan seterusnya. Ia pernah baca puisi di acara a, b, c, d dan seterusnya. Seolah-olah biodata itu penting.

Mereka lupa, yang abadi itu karya. Popularitas itu semu, hanya buih-buih yang begitu kita sentuh langsung mencair. Maka itu, jika ingin menjadi sastrawan atau seniman yang baik, berlatih dan belajarlah dengan sungguh-sungguh. Tak perlu mencari-cari panggung agar cepat dikenal. Jalankan proses alamiah, bukan proses instan. Proses alamiah akan membuat seseorang tahan banting dan kuat. Sementara proses instan itu rapuh

Tak perlu mengejar gelar. Untuk apa? Apakah gelar itu bisa ditukar dengan nasi Padang atau pizza? Juga tak perlu menjadi pahlawan kesorean yang mengobral karya dan kreativitas dengan harga nol rupiah. Hargai dirimu. Jika tidak bagaimana orang lain menghargaimu.

Hehehe...

#kataustad #tukangkompor #honor2m #bukanpuisi
MUSTAFA ISMAIL | musismail.com | @musismail

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center