Berteriak atau Diam

Yang menjadi masalah adalah bukan pada bodoh ataupun tidak bodoh, juga bukan pada kritis ataupun tidak kritis. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita menyikapi kekritisan fikiran kita. Ada yang menyikapi dengan mendobrak meruntuhkan semua kesenjangan yang merusak. Lalu dengan bangga menceritakan sejarahnya pada dunia. Begitu bangga pula ia pada saat seluruh dunia terinspirasi menjadi pengikut jejaknya.

Ada yang menyikapinya dengan memaklumi keadaan dan bersikap apatis, dicerca dengan pandangan miring seolah ia adalah momok bagi kecerdasan dan kepedulian.

Lalu apakah harus mendefinisikan mendobrak sebagai kepedulian dan kecerdasan dan memaklumi kesenjangan adalah kebodohan ?

Bagiku tak masalah jika kau memilih mendobrak atau memaklumi. Yang mengganggu fikiranku adalah saat kau melakukan keduanya bukan dengan ilmu, tidak dengan pemahaman dan tanpa visi.

Berapa banyak yang menyangka bahwa ia mendobrak tembok- tembok kezaliman, membebaskan dan menghadirkan kebaikan, namun ternyata faktanya tak lebih dari sekedar gerombolan yang menghasilkan sampah- sampah dari ban yang dibakar ditengah jalan.

Lupa bahwa kekuatan juga bukan hanya pada tingginya volume teriakan tapi pada luwesnya gerakan tangan, lembutnya ucapan dan cucuran keringat ketekunan.

Dan berapa banyak pula yang memaklumi seolah tenang dan cinta damai padahal seonggok bisu yang membusuk dengan gerutu- gerutu dalam hati dan lupa bahwa kecukupan bukan kuantitas atau bangunan indah menjulang tinggi.

Lupa bahwa kecukupan ada pada keberkahan apapun yang ia dapat dan dari rasa syukur.

Lupa pula bahwa nilai bukan pada modal dan hasil semata tapi juga bagaimana cara melakukan sekuat tenaga dengan lurus dan benar.

Yang juga lupa bahwa hakikat kebenaran niat dan cara akan menghasilkan harta- harta yang tidak kasat mata untuk kesejahteraan yang sesungguhnya pada akhir hayat dunia.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now