Hujan Masih Sama dan Kita Telah Dewasa


image


Hari ini, di kampung singgahanku hujan. Tidak begitu deras, juga tidak begitu lama. Sekira 25 menit saja, cukuplah untuk membasuh lapisan bumi paling atas. Juga memadai sekedar untuk membasahi rumput yang mulai kering, dan semoga hijau kembali.

Kalau berkenan, mari sejenak sama-sama kita bernostalgia. Mengingat jauh ke belakang, semasa hujan masih menjadi mainan, ketika hujan masih menjadi teman. Itulah masa di mana kebahagiaan mutlak milik semua anak, tidak terkecuali kita.

Walau hujan adalah kebahagiaan, namun setiap Emak kita selalu gelisah jika hujan datang. Karena harus berulangkali mengganti pakaian anaknya, karena harus berulangkali memandikan anaknya, dan harus berulangkali melarang anaknya agar tidak mandi hujan.

Emak takut demam menyerang kalau kelamaan main hujan. Dan Emakku bukan Ibu Dettol seperti di iklan televisi.


image


Ada banyak di antara kita menangis sekeras-kerasnya karena tidak diizinkan main hujan oleh emak. Sedangkan anak-anak lain yang sebaya, mereka bebas tengadah langit membiarkan wajah kecil diterpa bulir hujan untuk beberapa saat.

Lalu hujan perlahan reda, membiarkan kita bermain apa saja yang kita suka di sisa genangan bening bulirnya yang berubah menjadi lumpur. Berguling di sana hingga seluruh tubuh dibalut lumpur, semakin melengkapi cara menikmati hujan.

Setelah hujan benar-benar reda, dalam keadaan basah dan kotor setiap kita kembali ke rumah dengan perasaan was-was. Kita berusaha masuk rumah secara sembunyi-sembunyi, dan semoga saja Emak tidak berdiri di depan pintu rumah. Jika Emak di sana, omelannya sudah barang tentu masuk ke telinga kita.

Dan jika pun sekarang kita merindukannya, sungguh hujan telah reda dan kita bukan anak kecil lagi, walau kita akan selalu menjadi anak Emak.

Salam-salaman...
@pieasant

Foto: 1 2

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center