MORALITAS MANUSIA BAGAIKAN PEDANG BERMATA DUA

HELLO PARA STEMIAN

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ bagi yang muslim dan salam kenal dan salam bahagia bagi yang non muslim.

Kali ini saya akan membagikan postingan kepada kalian semua dan tentu saja postingan ini bersifat asumsi saya yang saya dapatkan dari berbagai buku dan tulisan lainnya, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya tidak mencantumkan sumber dari postingan ini karena postingan ini hanya untuk kita bahas, dan tentunya sangat saya butuhkan pendapat-pendapat dari kalian semua tentang materi ini.
langsung saja materi ini membahas tentang renungan terhadap kehidupan yang dipikiran manusia tentang diri yang dianggap hanya sebagai budak dari penentuan biologis, dan apakah evolusi biologis cukup untuk menjelaskan struktur kompleks moralitas manusia.

Mungkin hal itu tentu tidak, tapi sekarang saatnya untuk beberapa hal yang serius, mari kita menyelam jauh ke dalam jurang perilaku manusia, evolusi memberi kita beberapa alat yang tak ternilai untuk bersikap baik, empatik dan etis terhadap sesama manusia.
Tapi moralitas manusia adalah pedang bermata dua.
Tentu hal ini lebih sulit daripada yang bisa di bayangkan dibandingkan dengan evolusi dan ilmu saraf, dan tentu saja hal ini tidak sesuai dengan aspek biologis.
Dengan adanya teori filosofis atau konstruktivisme sosial yang sangat menarik, dan tetap saja dalam hal ini tetap tidak sesuai, karena hal ini bersifat pendekatan yang hampir seluruhnya empiris.

Untuk memanfaatkan sepenuhnya perilaku empatik dari tatanan kognitif yang lebih tinggi membutuhkan kemampuan otak manusia. Misalnya kita hanya bisa merasakan kekhawatiran empati mendasar, atau kita juga bisa memahami perasaan itu. Sebagai manusia, dalam kebanyakan kasus kita mampu melakukan keduanya.
Jika kedewasaan kita sudah terlahir dalam diri, kita hanya bisa mengungkapkan perasaan empatik mendasar.
Asosiasi yang dimediasi secara verbal adalah salah satu penemuan paling berguna yang pernah dilakukan manusia. Bukan hanya karena pengetahuan itu bisa mengangkut bahkan melintasi samudera, tapi juga memicu perasaan empati. Bayangkan, jika kita sedang membaca sepucuk surat dari seorang teman, menggambarkan situasi putus asa kehilangan pekerjaan dan frustrasinya dengan kehidupan pada umumnya, meskipun kita mungkin bermil-mil jauhnya, Anda bisa mengerti dan, sampai batas tertentu, mengalami perasaannya.

Bahkan empati dewasa tidak memastikan perilaku sosial. Jika diamati, korban bertanggung jawab atas penderitaannya sendiri, jika tidak, tindakan tersebut tidak akan menghasilkan tindakan pendukung prososial terhadap korban.
Atau jika korban dikaitkan dengan cara yang negatif, terlepas dari penderitaannya, tidak akan banyak empati yang tersisa.
Pentingnya empati seharusnya tidak dipaksakan pada orang yang tidak mau.
Ada risiko bahwa apa yang disebut "empati” dapat terjadi. Ini berarti, tanda-tanda tertekan dan masif mialnya seperti kelaparan, perang, kemiskinan, dll.

Oleh karena itu, ada semacam tugas batin untuk hidup sesuai dengan standar moralnya sendiri karena mengalami kesalahan, Jadi sosialisasi sebagai proses itu sendiri terjadi pada tahap awal kehidupan kita terutama melalui orang tua kita atau saudara dekat lainnya. Kemudian, lembaga sosial dan kelompok sebaya memberikan pengaruh tambahan. Semakin kuat hubungan kita dengan masing-masing orang atau institusi, maka semakin besar kemungkinan penerapan standar moral mereka akan terjadi.

Jadi cukup sampai di sini dulu pembahasan kita tentang moralitas manusia yang kita pandang sebagai pedang bermata dua, sampai ketemu pada tulisan yang selanjutnya, dan bila ada kekurangan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan membuat anda senang untuk membacanya dan meringankan tangan untuk kita saling upvote.

Sekian dan terima kasih

FOLLOW ME @pranata

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now