Implementation of raids prostitution in Aceh, not the authority of the council

Terkait kasus prostitusi online yang sedang memanas di Aceh, khususnya Banda Aceh. Menurut hemat saya bahwa perlu ketegasan dalam mengambil kebijakan bagi setiap orang atau badan usaha yang ikut serta terlibat di dalamnya.

Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, qanun tersebut tidak hanya berlaku bagi setiap orang atau pelaku, akan tetapi juga berlaku bagi badan usaha yang menjalankan kegiatan usahanya di Aceh (Pasal 5).

Dalam Pasal 33 qanun aceh nomor 6 tahun 2014, menyebutkan bahwa setiap orang dan/atau badan usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan jarimah zina, diancam dengan uqubat ta'zir cambuk paling banyak 100 kali dan/atau denda paling banyak 100 gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 bulan.

Terkait penjatuhan hukuman tersebut bagi badan usaha dijatuhkan kepada pelaku dan penanggungjawab yang ada di Aceh. (Pasal 8).

Disamping itu, untuk adanya efek jera bagi badan usaha maka dapat dicabut izin usahanya sebagai uqubat tambahan, seperti yang tertuang dalam Pasal 70 ayat (3).

Mengenai sikap ketua komisi VII DPRA yang akan melakukan razia gabungan dalam upaya pembongkaran kasus prostitusi tersebut yang sedang maraknya di banda Aceh. Menurut hemat saya, bahwa razia gabungan DPRA dengan instansi terkait bukanlah tupoksi DPRA, bukan berarti tidak boleh melakukan razia gabungan. Akan tetapi tugas utama DPRA adalah melakukan pengawasan terhadap berjalannya regulasi yang sudah pernah diatur bersama dalam hal ini salah satunya Qanun Hukum Jinayat.

Misalnya, ada hotel atau penginapan yang terbukti memfasilitasi prostitusi online, maka tugas DPRA adalah mendesak instansi terkait untuk mencabut izin usahanya karena pencabutan izin usaha tersebut ada di atur dalam Qanun Hukum Jinayat. Hal tersebut merupakan salah satu pengawasan DPRA terhadap regulasi yang sudah disetujui bersama. Pertanyaannya, beranikah mencabut izin usaha hotel yang memfasilitasi prostitusi online tersebut?

Disamping itu, untuk berjalannya pelaksanaan syariat Islam secara efektif dan efesien, tugas DPRA juga memplotkan anggaran yang besar untuk kegiatan pelaksanaan tersebut. Karena petugas dilapangan dalam melaksanakan tugasnya juga membutuhkan biaya operasional dan sarana prasarana yang layak. Jadi soal anggaran, DPRA juga harus memperhatikannya.

Kelemahan saat ini, menurut amatan saya bahwa penegak hukum syariat Islam terhambat dengan sarana dan prasarana yang belum memadai dan biaya operasional yang minim. Jadi, hal-hal seperti itu perlu diperhatikan selayaknya. Demikian

Muksalmina Mta
(Pengamat Hukum & Politik)

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now