Gubernur versus DPRA, Sedang "Bertarung di Kandang Macan"

IMG20180228115754.jpg

Oleh Teuku Zulkhairi

Mencermati rivalitas Eksekutif (Gubernur) versus Legislatif (DPRA) hingga sejauh ini, khususnya dalam pembahasan RAPBA, saya teringat nasehat Tu Sop Jeunieb dalam setiap kali berdiskusi dengan beliau.

Beliau selalu mengatakan, kira-kira intinya begini: "kita bangsa Aceh khususnya dan umat Islam umumnya jangan seperti orang yang bertarung di kandang macan". Sebuah nasehat penting yang saya perhatikan telah diamalkan secara baik oleh beliau.

Kalau kita bertarung di kandang macan, yang menang di makan macan, yang kalah juga di makan macan. Jadi dua-duanya jadi makanan macan. Tidak akan ada pemenang. Dua-duanya hancur lebur.

Nasehat ini sepertinya sangat tepat untuk menjadi tamsilan atas rivalitas yang terjadi antara Gubernur dan DPRA sejauh ini dalam kisruh pembahasan RAPBA.

Rivalitas Gubernur vs DPRA sangat cocok ditamsilkan sebagai sebuah pertarungan di kandang macan, karena mereka berdua ini tidak sadar bahaya besar yang menanti mereka berdua dan kita semuanya sebagai sebuah bangsa.
Bahwa sebagai sebuah bangsa, dan juga sebagai bagian dari bangunan besar umat Islam dunia, saat ini kita semua sedang berada di "kandang macan". Macan lah sebenarnya lawan kita. Bukan sesama kita sendiri.

Kalau kita bertarung sesama kita sendiri, maka baik yang menang maupun yang kalah di antara kita tetap akan dimakan macan. Jadi seharsunya yang kita pikirkan adalah bersatu melawan macan ini, supaya kita semua tidak hancur lebur.

Macan itu adalah berbagai tantangan keummatan dan kebangsaan yang kita hadapi dewasa ini, berupa kemiskinan, kelemahan, ketidakberdayaan menghadapai berbagai tantangan zaman, ketertinggalan dari bangsa-bangsa luar, keterkungkungan, dan seterusnya. Inilah lawan yang seharusnya kita hadapi.

Dari perspektif Islam, umat Islam di akhir zaman itu, kata Rasul adalah seperti makanan di atas meja hidangan yang siap disantap dari berbagai sudut meja makan. Demikian pula halnya kita sebagai sebuah bangsa Aceh.

Sebagai sebuah bangsa, kita semestinya menunjukkan persatuan di antara kita. Bukan terus-menerus memperlebar jurang perbedaan dan rivalitas tak berujung.

Dengan bersatu saja kita akan kewalahan menghadapi berbagai tantangan zaman, apalagi dengan berpecah belah. Pastilah kita akan lemah.

Kita seperti tidak sadar semua mata macan sedang mengarah ke kita dan siap menyantap kita. Akhirnya, persoalan RAPBA saja menjadi masalah yang berlarut-larut yang membuat kepentingan masyarakat terabaikan sama sekali. Padahal, legislatif dan eksekutif dua-duanya dipilih oleh rakyat.

Harus kita akui, ada masalah besar dalam pengaturan porsi kue APBA sehingga sampai saat ini eksekutif dan legislatif gagal menemui titik kesamaan. Ini preseden sangat buruk bagi bangsa ini karena akan menyebabkan sekat-sekat perbedaan dan rivalitas yang berkesinambungan.

Kita tidak akan menyalahkan salah satu di antara Legislatif ataupun eksekutif, tapi kedua-duanya seharusnya paham bahwa jika mereka bertarung maka pertarungan itu berlangsung di kandang macan. Seharusnya mereka yang diapit para intelektual dan aktivis lebih mencintai Aceh ketimbang mencintai rivalitas.

Sebelum semuanya terlambat, marilah kembali merenung posisi kita sebagai hamba Allah Swt di atas muka bumi ini. Kita semua akan mati, dan kelak sumbangsih (amal) terbaik kita lah yang akan membantu kita di hari akhirat. Manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain, kata Rasulullah Saw. Walalhu a'lam bishshswab.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now