Opinion : Diskursus Kualitas Pendidikan dan Pengentasan Kemiskinan di Aceh

Diskursus Kualitas Pendidikan dan Pengentasan Kemiskinan di Aceh

Oleh : Teuku Rizza Zulhilma Muly

image
Ilustrasi oleh : wowlit.org

Dalam 2 tahun terakhir Aceh memasuki masa-masa yang memprihatinkan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, Aceh menempati provinsi termiskin se-Sumatera keenam dan menempati urutan 32 dari 34 Provinsi kualitas pendidikan terendah se-Indonesia. Jumlah penduduk miskin mencapai 872,61 ribu orang atau 16,89 persen pada bulan Maret dan terus meningkat di bulan September 2017 (SerambiNews.com). Tercatat 5.189.466 masyarakat Aceh (desa+kota) dari rentan umur 19-24 tahun (laki-laki dan perempuan) sebanyak 65,56% tidak melanjutkan pendidikan lagi (BPS 2017).

Melihat fakta dan data di atas, sungguh ironi ketika membayangkan Aceh dengan sumber daya alam yang melimpah namun gagal mengkandaskan tingkat kemiskinan. Pun, dengan anggaran dana pusat serta tambahan ‘bonus’ OTSUS juga tidak mampu menunjang tingkat pendidikan di Aceh. Adakah yang salah? Sekilas mungkin tak begitu terlihat ada masalah. Akan tetapi, ketika di telaah banyak hal menjadi pemicu terjadinya dua hal tersebut.
Sebagai mahasiswa dan pemuda saya miris melihat keadaan daerah asal saya seperti itu. namun, ketika kita tidak bergerak serta mendiamkan saja hal tersebut, maka semua itu tidak berubah. Sudah tugas pemuda daerah untuk berbuat sebaik dan semampunya. Menyadarkan kaum muda tentang pentingnya melestarikan nilai-nilai moral dalam membangun peradaban.

Saya menitik beratkan arah kebijakan yang harus di ambil pada kegiatan sosial kepemudaan yang melibatkan antara pemuda dan pemerintah dalam merumuskan dan menjalankan roda perubahan dalam dan dari daerahnya. Hal itu tentu saja dapat di laksanakan dengan merubah mindset muda intelektual penerus bangsa, dengan membekali pemuda-pemuda melalui pelatihan-pelatihan kepemimpinan, kedisipilinan, serta pengembangan wawasan tentang cinta pada kenegaraan pun ikut mula membudayakan sifat anti korupsi sejak dini. Hal ini saya yakini akan mampu menggali potensi-potensi dari generasi emas masa depan bangsa.

Arus globalisasi memang menjerumus kaum muda Aceh untuk lebih egois,apatis serta kurang peduli pada lingkungannya. Nilai-nilai budaya ikut tergerus westernisasi yang mengakibatkan muda Aceh mengganggap sepele tentang hal-hal di sekitarnya. Mereka menganggap bukan tanpa alasan, tapi karena melihat pangan selalu tersedia di sekitar. Tapi apakah seperti itu cara kita melihat bahwa daerah kita Aceh benar-benar baik-baik saja? Tentu tidak. Karena berbagai hal majemuk sudah menimpa negeri ini setelah peristiwa tsunami dahsyat 2004 silam. Begitu pula pemuda nya mudah di gerogoti oleh budaya baru yang terkadang jauh dari norma agama kita.

Saya melihat dari berbagai perspektif serta membandingkan banyak pendapat dari hasil diskusi tentang Aceh. Dan solusi yang terbaik untuk arah kebijakan Nanggroe Seramoe Mekkah ini adalah kebijakan yang di kaitkan dengan agama. Karena dengan satu hal tersebut hal lainnya dapat di persatukan, hal itu mulai di wujudkan oleh pemimpin baru Aceh saat ini melalui salah satu programnya Aceh Carong (Aceh Pintar) dan Aceh Kaya. Dan saya, sebagai pemuda akan berdiri di garda terdepan, mengawal serta ingin berpartisipasi aktif dalam mewujudkan program-program yang menjadi cita-cita bersama tersebut. Karena ketika kita berbicara saya dan pemuda lainnya berbicara tentang membangun Aceh, maka secara tidak langsung kami juga sedang membangun Indonesia.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center