Dealing With Lupus (Part 1)

“Menurut diagnosa saya, kamu itu Lupus.”

DEG!

Kalimat yang mengejutkan itu saya dengar dari satu-satunya dokter ahli Rematologi di Banda Aceh tepat tiga hari sebelum jadwal terbang saya ke Taiwan untuk ikut suami melanjutkan sekolahnya. Bingung, galau, khawatir, bibir kelu, semuanya bersatu di malam Minggu itu.

Saya memang belum tahu banyak tentang Lupus, yang saya tahu waktu itu, Selena Gomez adalah penderita Lupus, dan Lupus termasuk penyakit yang berbahaya, banyak pasien yang meninggal sebab mengidap penyakit seribu wajah itu.

image

Untuk menegakkan diagnosa, tentu saja dokter menyarankan untuk tes darah, tes spesifik yang khusus untuk melihat apakah saya benar-benar mengidap Lupus atau tidak. Nama tesnya Ana Profile, dan biayanya cukup membuat kantong bolong hanya untuk sekali tarikan darah saja. Sebab dokter mengatakan kalau hasil tes biasanya memakan waktu seminggu untuk dianalisa, dan dalam waktu tiga hari ke depan saya akan meninggalkan Banda Aceh untuk sementara, saya dan suami putuskan untuk menunda tes darah dan menjalani hidup baru di Taiwan dengan membawa banyak tanda tanya.


Berbagai macam ekspresi dari kawan-kawan saya dapatkan saat mereka mendengar saya punya Lupus di tubuh saya. Ada yang biasa saja (yang memang tidak tahu apa dan bagaimana itu Lupus), ada yang menunjukkan rasa simpati (bagi yang sedikit paham tentang Lupus), dan ada yang agak ‘panik’ sampai berkali-kali berusaha menguatkan saya (bagi mereka yang paham Lupus sebab kuliah di bidang Kesehatan) seolah-olah hidup saya sudah berakhir karena mengidap penyakit ini.

image

Dan tentu saja, banyak teman yang bertanya, gimana ceritanya saya bisa kena Lupus, apalagi secara fisik, saya terlihat baik-baik saja dan tidak terlihat seperti orang sakit?
Saya akan coba ceritakan gejala-gejala awal yang saya rasakan sampai akhirnya saya didiagnosa Lupus oleh dokter ahli Rematologi, setelah sebelumnya berobat ke dokter saraf dengan mengonsumsi obat anti nyeri—yang ternyata salah--selama tujuh bulan. Ini menyedihkan 😐

Awalnya, di tahun 2016 lalu, saat itu saya memang sedang mengonsumsi obat dalam jangka panjang karena adanya penyakit lain di salah satu organ tubuh saya. Kala itu saya mulai merasakan sakit di bagian lutut saya; nyeri, perih, kebas, pegal, kesemutan, panas, dan bermacam rasa sakit yang tidak bisa saya jelaskan bagaimana. Sakitnya waktu itu bikin saya susah tidur, dan sejak saat itu saya mulai bersahabat dengan yang namanya Insomnia.

Dokter saya saat itu menjelaskan bahwa sakit di lutut itu merupakan salah satu efek negatif dari obat yang saya konsumsi, dan beliau menyarankan untuk konsul ke dokter saraf jika rasa sakitnya sudah terasa berlebihan.
Alhamdulillah, rasa sakit yang luar biasa di bagian lutut itu sempat berhenti saat saya selesai mengonsumsi obat, di bulan Juli hingga Desember 2016. Enam bulan itu adalah hari-hari bahagia bagi saya sebab akhirnya saya bebas dari obat dan bisa merasakan jadi manusia sehat seperti teman-teman lainnya.

Namun, sayangnya, tiba-tiba saja, awal tahun 2017 lalu, saya mulai merasakan sakit yang sama lagi di kedua lutut saya. Saat itu saya memang sedang dalam kondisi stress, sebab tesis Magister (yang pada akhirnya saya putuskan untuk resign dan mencoba move on untuk menjalani hari baru dan mencoba kesempatan baru di bidang lain), juga karena sedikit ‘riweuh’ dengan persiapan S3 suami ke Taiwan dengan berbagai kabar miring tentang beasiswanya, dan masalah-masalah lainnya.

Pertama-tama, sakitnya hanya terasa beberapa kali saja dalam sehari, masih bisa saya tahan, dan paling sering kambuh di malam hari saat waktu tidur saya tiba. Namun, seiring waktu berjalan, sakit yang saya rasakan makin menjadi-jadi. Sakitnya pun saya rasa mulai menyebar, tidak hanya di bagian lutut saja, tapi mulai menjalar ke area paha, betis, bahkan mata kaki. Saking sakitnya, saya bisa menangis tiba-tiba dengan sendirinya saat kedua lutut saya sedang bergejolak. Obat anti nyeri dari dokter saraf, atau rasa panas dari tumpahan minyak kayu putih yang saya oleskan ke seluruh kaki pun tidak membantu meredakan nyerinya. Hasilnya, badan saya jadi sangat lemas, tidak kuat berdiri, atau melakukan apa-apa. Yang saya lakukan di kala itu hanya bisa meringkuk di kasur dan scrolling di layar hp berjam-jam. Hari-hari berat yang saya sesali sebab saya benar-benar tidak bisa se-produktif dulu lagi.


Tentang Lupus, gejala, dan penyembuhannya, di part 2 ya.

image

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center