Ketika Kegagalan Mengadang |


Bersama mahasiswa.

Assalammualaikum Wr.Wb

Salam hormat bagi Pak Rene. Mohon maaf keliru menggunakan aksana di nama Bapak. Agak ribet mencari tanda akses di atas aksara e seperti di nama Rene Descartes, Rene Russo, atau Rene Higuita. Tadinya saya mau menyingkat saja nama Pak Rene. Tapi singkatan RS sungguh tidak manis kedengarannya.

Saya Ayi Jufridar, tinggal di Lhokseumawe, Aceh. Kalau ditanya pekerjaan, sekarang ini agak bingung menjawabnya. Di KTP, pekerjaan saya tertulis wartawan. Sebelumnya saya memang wartawan dan bekerja di harian lokal, Serambi Indonesia, yang masih satu grup dengan Kompas. Namun 15 tahun terakhir saya menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum di Kabupaten Aceh Utara. Tapi saya sering mengaku sebagai wartawan dan penulis jika ditanya tentang pekerjaan.

Setiap pekan saya mengikuti artikel Pak Rene di Kompas. Saya menyukai artikel dan buku menyangkut pengembangan diri, motivasi, dan strategi meraih sukses. Beberapa pelatihan juga sudah pernah saya ikuti dan semuanya atas kebaikan beberapa lembaga yang mengundang atau dilaksanakan KPU.

Artikel Bapak tanggal 22 September 2018 lalu menyentuh saya untuk mengirim surel untuk pertama kali. Barangkali karena temanya sesuai dengan kondisi saya saat ini. Apa yang saya lakukan setiap kali mengalami kekecewaan?

Tahun 2018 boleh dibilang tahun yang penuh kekecewaan bagi saya. Setelah 15 tahun bekerja sebagai komisioner di kabupaten, saya merasa layak dan patut menjadi komisioner di tingkat provinsi. Saya pun mempersiapkan diri mengikuti tes dan singkat cerita, hasilnya gagal bahkan menjadi cadangan. Target saya sangat realistis sebab di Aceh, anggota KPU tidak diseleksi oleh KPU RI, tetapi oeh DPR Aceh sehingga sangat politis. Integritas, kapasitas, kemampuan menulis dengan standar tertentu yang tidak dimiliki semua pesaing, tidak menjadi perhitungan ketika diseleksi oleh anggota DPRD. Saya menyadari itu sejak awal sehingga menargetkan hanya masuk 10 besar (dari tujuh yang dibutuhkan). Menjadi cadangan pertama, kedua, atau ketiga. Dan saya pun melobi seperti yang dilakukan pesaing lainnya.

Rencana A gagal, saya beralih ke rencana B sebagai anggota Bawaslu di Kabupaten Aceh Utara. Dengan pengalaman 15 tahun, hasil computer assisted test (CAT) tertinggi di Aceh Utara, dan kedekatan dengan komisioner Bawaslu di daerah, serta lobi di tingkat Bawaslu RI karena mereka yang menentukan, saya yakin terpilih masuk lima besar. Ternyata, hasilnya saya malah urutan tujuh. Yang lulus malah calon yang ketika diskusi dia gugup, nilai CAT rendah, tes psikologi harus mengulang, dan tidak memiliki kemampuan kecakapan komunikasi publik yang menjadi poin penting dalam menjalankan tugas sebagai komisioner. Kelima yang lulus kawan saya, tiga di antaranya pernah saya tes dalam seleksi penyelenggara di tingkat kecamatan.

Mulanya saya pikir, seleksi di Bawaslu lebih fair karena mengutamakan integritas dan profesionalisme. Ternyata lebih parah dibandingkan dengan seleksi oleh DPR Aceh.

Saya kecewa sekaligus sedikit resah untuk menjamin kebutuhan keluarga. Saya punya empat anak, yang terbesar sudah kelas dua SMA dan paling kecil masih empat tahun. Saya katakan “sedikit” resah, karena lebih bersifat jangka panjang. Setelah memiliki penghasilan Rp14 juta lalu turun tajam ke Rp14 ratus (maksudnya Rp1,4 juta), tentu tidak mudah menyesuaikannya. Apalagi kebutuhan dan inflasi terus meningkat. Bagi diri sendiri mungkin bisa, tetapi bagi anak-anak agak sulit.

Namun, saya sudah mempersiapkan diri menghadapi kekecewaan tersebut. Saya terbiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan dalam sebuah seleksi atau dalam menghadapi kehidupan. Saya menyiapkan diri untuk berhasil sekaligus untuk gagal. Ketika menjadi anggota KPUD, saya juga menggagas tagline bukan “Siap Menang Siap Kalah” seperti yang sering terdengar, tapi “Ikhlas Menang Ikhlas Kalah”, sebab kedudukan ikhlas itu sangat tinggi. Seperti yang pernah Pak Rene sebutkan dalam artikel sebelumnya, kita memiliki rencana, tapi rencana Tuhan yang lebih menentukan. “Allah yang maha membolak-balik hati manusia” (ini kalimat persis dari Pak Rene yang saya ingat), dan seringkali nasib kita tergantung kepada manusia sehingga harus ikhlas menerima apa pun hasilnya.

Setelah menyiapkan diri dengan agar layak dan patut terpilih, saya menyiapkan diri menghadapi hasilnya. Tapi, kekecewaan tetap tak bisa dibendung dan ini menganggu saya sampai saat ini. Tapi karena tanggung jawab ekonomi terhadap keluarga, tentu saya harus memotivasi diri untuk move on. Jadi, saya mengevaluasi dua seleksi di atas (sebagai calon KPU Provinsi Aceh dan calon Bawaslu Kabupaten Aceh Utara). Saya mencari tahu kenapa tidak dipilih. Untuk kasus pertama, di mana kedekatan dan lobi yang lebih menentukan, saya anggap selesai. DPR Aceh hanya memilih orang-orangnya. Tapi untuk seleksi Bawaslu Kabupaten Aceh Utara, saya tidak menemukan jawabannya. Saya tidak memahami mengapa tidak dipilih. Akhirnya, saya anggap saja saya belum beruntung, atau justru beruntung karena Allah memberi kesempatan saya mencari sumber rezeki yang lain. Tidak selamanya pemain terbaik masuk dalam line up tim sepakbola (ketika remaja saya atlet sepakbola). Kebutuhan tim, selera pelatih, tekanan pengurus, dan nasib baik terkadang lebih menentukan. Oh ya, entah percaya diri atau atau narsis, saya berusaha dan meyakini diri lebih baik dari kompetitor, setidaknya saya selalu berusaha memiliki faktor pembeda dengan yang lain, meski itu hanya setitik.

Selain itu, keluarga dan hubungan persabahatan juga penting dalam menghadapi kekecewan atau kegagalan. Keluarga dan sahabat saling memotivasi. Kalau datang dari orang yang kita cintai dan hormati, nasihat yang terdengar klise pun menjadi sangat berarti. Selain itu, saya memiliki kebiasaan melampiaskan kebahagiaan, kekecewaan, penderitaan atau apa pun, dalam bentuk tulisan baik itu cerpen, puisi, maupun artikel lainnya. Hal itu membuat kita bisa mendapatkan hasil positif dari sebuah kegagalan atau kekecewaan.

Begitu saya pikir, Pak Rene. Maaf bila terkesan baper atau terlalu panjang sehingga mengganggu waktu Bapak. Salam hormat saya dari Aceh, Mohon doanya agar rencana-rencana finansial saya ke depan berhasil.

Lhokseumaawe, 24 September 2018
Saleum takzim:

Ayi Jufridar


H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now