Azan Bergemuruh di Tubuh Cibeunying

Kami telat bangun. Cibeunying masih dibalut mendung. Matahari malu-malu menyingkap awan dan sama sekali tidak berani melunaskan kehangatan. Tanah di apartemen kak @alaikaabdullah tempat kami dihadiahkan menginap selama perjalanan kedua ke kota dedek-dedek gemes ini masih lembab. Tipis gerimis tiba sesaat setelah kami turun mencari kopi. Anggaplah kopi pagi meski sudah jelang siang hari.
image

Sudah pukul setengah 12. Kami masih duduk di lantai G, dekat kolam renang yang tenang. Di meja, kopi kami masih mengepulkan asap tipis. Dari kejauhan terdengar sayup suara mengaji. Kuterka barangkali hanya ada dua masjid yang menghidupkannya. Kata "menghidupkan" memang lebih pantas dipakai mengingat sekarang di hampir rata masjid untuk mengaji selalu mengandalkan suara qari rekaman. Bahkan di negeri yang getol betul menyuarakan syariat Islam.

Itulah mengapa suatu kali ketika tiba di warkop @starblack Bireun saya terkejut mendengar suara anak muda mengaji di masjid tak jauh dari warkop itu. Natural dan menenangkan. Sudah sangat jarang. Dan di Bandung, saya tidak berharap akan ada suara anak muda mengaji. Kau tahu, jika di Aceh saja hal demikian sudah tak perlu diharapkan, konon lagi di daerah lain yang tidak "seolah-olah" fokus pada syariat Islam.
image

Waktu dhuhur tiba. Kami dengar suara azan keluar dari jaringan pengeras suara. Satu persatu azan menghimpun di telinga. Makin lama makin bertangkai-tangkai, menjadi deru, lalu gemuruh. Ramai betul. Saya menaksir ada sepuluh masjid di sisi tempat kami bertandang. Kami dikepung suara azan sehingga mengalahkan musik karaokean yang sedari tadi diputar.

Segalanya seketika hening. Dhuhur hidup di Cibeunying. Tiba-tiba saya rindu tanah lahir pada masa pesantren Teungku Sudirman belum dilanda fitnah orang-orang berpikiran miring. Duhai, Kuta Bakdrien. Anak-anak muda berpeci dan sarung yang terusir.
image

Pada akhirnya sebagian anak muda itu menjadi pekerja, sebagian menuju Banda dan pulang lagi menjadi tenaga honorer dan kontrak serta beberapa hanya pulang ke sawah dengan ijazah yang sia-sia. Tiga dari mereka menjadi Teungku yang di kampung itu tak dianggap begitu berguna. Satu dari mereka yang dulunya kerap dipercaya sebagai pelantun utama syair Barzanji dan Dalail Khairat sekarang terlontar di Cibeunying, mendengar azan yang gemuruh, lalu tersuruk dalam kenangan yang hening.
image

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now