Perjuangan Nelayan Aceh dan Kisah Setelah Tsunami | Aceh Fisherman Struggle and the Story After Tsunami | Bahasa |



Saya menemukan hasil reportase ini dalam file lama. Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia dan kehidupan nelayan yang tidak banyak berubah, membuat tulisan ini tetap relevan sampai sekarang. Silakan membaca dan membandingkannya. Tidak terkonfirmasi apakah narasumber dalam tulisan ini masih hidup atau sudah meninggal dunia. Liputan ini sudah pernah dimuat di acehkita.com pada 2005.

Perjuangan Nelayan Aceh dan Kisah Setelah Tsunami

SEJUMLAH nelayan terlihat asyik mengobrol di bawah Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Pusong Lama Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe, Rabu (2/3/2005). Mereka belum melaut karena masih menunggu kedatangan rekan-rekannya. “Setelah shalat Dhuhur, kami baru melaut. Pulangnya seminggu kemudian. Tapi ada juga boat yang pulang Subuh besok,” ujar Ibrahim Gade (48), seorang pawang laut di Lhokseumawe.

Pemilik KM Nabawi itu memiliki 27 anak buah kapal (ABK). Siang itu belum semua anak buahnya muncul di TPI. Sambil menunggu kedatangan anak buahnya, mereka mengobrol tentang apa saja, termasuk soal kenaikan bahan bakar minyak (BBM).

Bagi sebagian nelayan, kenaikan solar dan jenis bahan bakar lainnya merupakan pukulan telak bagi nasib mereka yang selama ini pun sudah terpuruk. Solar merupakan bahan bakar utama bagi nelayan saat melaut. Dengan harga lama pun, sebenarnya mereka sudah menjerit. Biaya operasional tinggi, tangkapan ikan terbatas, dan harga ikan rendah. Bahkan ketika harga ikan naik pun, nelayan tetap miskin.

Kondisi itulah yang harus dihadapi para nelayan selama ini sehingga kesejahteraan mereka tidak juga beranjak naik. Kini Pemerintah menambah beban tersebut dengan menaikkan harga solar hingga mencapai Rp 2.100 per liter. Maka lengkaplah penderitaan para nelayan.

Ketika ditanya kondisinya setelah BBM naik per 1 Maret 2005, Ibrahim mengatakan tidak berpengaruh apa-apa terhadap dirinya. “Sudah dua tahun lalu, ketika BBM naik, kami sudah tidak pakai solar lagi. Harganya terlalu tinggi, apalagi sekarang dinaikkan lagi. Kami menggantikannya dengan minyeuk gah (minyak tanah),” tutur Ibrahim yang akrab disapa Pawang Him.




Sebagian besar nelayan di Pusong, menurut Pawang Him, sudah dua tahun lalu menyatakan selamat tinggal pada solar karena harganya yang dinilai terlalu tinggi. Sebagai gantinya, mereka menggunakan minyak tanah yang dicampur dengan oli. Perbandingannya, satu drum minyak tanah berisi 200 liter dicampur dengan 4 liter oli. Pilihan itu terpaksa diambil para nelayan agar lebih hemat. Perbandingan harga minyak tanah dengan solar yang demikian jauh, membuat mereka harus mengoplos minyak tanah dengan oli.

Dengan cara mengakali seperti itu, sebagian besar nelayan yang sudah lama meninggalkan solar, tidak terlalu berpengaruh dengan kenaikan BBM jenis itu. Apalagi, kebijakan Pemerintah tidak menaikkan harga minyak tanah tetap Rp 700 per liter, tidak akan menyulitkan mereka. Para nelayan tetap masih bisa menghemat Rp 1400 per liter dengan harga solar yang sekarang.

Ditanya, apakah penggunaan minyak tanah sebagai pengganti solar tidak merusak mesin boat, Ibrahim mengatakan tidak akan, sejauh perawatan tetap dijaga. “Kami hanya perlu mengganti karet pump di Medan. Kalau masih menggunakan karet lama akan mengembang saat kena minyak tanah,” jelas Ibrahim yang mengaku saat ini masih punya stok minyak tanah enam drum.

Ia menambahkan, biaya penggantian karet itu sekitar Rp 400 ribu yang mereka lakukan di Medan. Banyak pemilik boat di Pusong melakukan hal itu karena bisa menghemat uang dalam jumlah besar, apalagi penghasilan nelayan tidak tentu jumlahnya.

Kendati sudah menempuh cara demikian sejak dua tahun lalu, lanjut Ibrahim, kehidupan para nelayan di Pusong masih tetap sulit.

“Sekali melaut, saya harus menyediakan modal Rp 3 juta untuk beli minyak, lampu, serta bahan makanan dan minuman selama kami berada di laut. Kalau dapat ikan banyak, ya alhamdulillah. Minimal masih cukup untuk gali lubang tutup lubang. Tapi terkadang kami malah tidak dapat sama sekali. Kalau sudah begitu, terpaksa mengutang sebagai modal melaut kembali. Kalau modal tidak dapat, ya tidak melaut,” ujar ayah enam anak yang semuanya usia sekolah tersebut.



Source


BILA Ibrahim tidak terlalu terbebani dengan kenaikan solar karena sudah lama memakai minyak tanah, tidak demikian halnya dengan Basmillah (35), pawang dari Banda Aceh yang ditemui di TPI Pusong, Lhokseumawe, Rabu siang.

Menurut warga Kampung Mulia Banda Aceh itu, KM Laut Indah miliknya, masih menggunakan bahan bakar solar. Karena itu, kenaikan solar sangat memberatkan dirinya, apalagi lelaki berkulit hitam kelam itu baru saja tertimpa musibah. Tiga anaknya, istrinya, adik, ayah mertua, dan keponakan, meninggal dunia akibat gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 lalu. Rumahnya juga rata dengan tanah.

“Saya tinggal sebatang kara,” kata lelaki yang sejak kecil sudah melaut itu. Dirinya terselamatkan karena ketika tsunami terjadi, ia masih melaut bersama sejumlah ABK-nya.

KM Laut Indah yang bermesin colt 120 pk dan memiliki 15 ABK, berada di Lhokseumawe sejak Selasa (1/3) sore setelah sebelumnya berada di perairan Idi, Aceh Timur. Menurut Basmillah, mereka berada di Idi untuk perbaikan mesin boat yang rusak akibat tsunami.

“Di Banda Aceh tidak bisa diperbaiki karena susah mendapatkan onderdil. Kalau pun ada, harganya sangat mahal. Apa-apa sekarang di sana mahal,” tutur Basmillah.

Kebutuhan solar bagi KM Laut Indah terhitung tinggi. Selama semingg berada di laut, mereka membutuhkan sembilan drum solar. Sejak BBM naik, Basmillah baru membeli tiga drum solar atau 660 liter seharga Rp 1,4 juta. Nominal ini sangat tinggi baginya.

“Pokoknya dengan harga solar yang lama pun, nafas kami sudah megap-megap. Kami melaut hanya karena dilahirkan dalam keluarga nelayan. Kerja di darat pun, saya tidak mempunyai keahlian apa-apa,” tuturnya.

Sekali melaut atau selama seminggu, kalau nasib lagi apes dia tidak mendapatkan apa-apa, seperti yang diakuinya Ibrahim Gade. Kondisi seperti itu sering terjadi. Untuk bisa melaut kembali, dia juga berutang kepada orang lain. Bila tidak dapat, pilihannya adalah tidak melaut.

Untuk mengatasi persoalan seperti ini, seharusnya Pemerintah menyediakan pinjaman berbunga lunak kepada para nelayan. Namun, Basmillah mengaku belum pernah mendapatkan pinjaman dari Pemerintah sejak ia melaut.



Source


Bila sedang beruntung, saat merapat KM Laut Indah bisa membawa pulang uang Rp 10 juta hingga Rp 20 juta. Kedengarannya sangat banyak. Tapi setelah dipotong untuk BBM, es batu, bahan makanan dan minuman selama di laut, oli, dan juga lampu serta peralatan kapal lainnya, Basmillah hanya mengantongi uang ala kadarnya saja.

Tidak setara dengan keringat yang ia kucurkan selama seminggu berada di tengah samudera. Apalagi bila dikaitkan dengan berbagai ancaman yang ada selama di tengah laut, mulai dari gelombang ganas sampai ancaman dari nelayan asing yang menggunakan kapal dengan peralatan lebih canggih.

Keluhan senada juga datang dari Khairul Anwar (30), nelayan asal Lhokseumawe yang sudah tiga tahun tinggal di Banda Aceh. Gelombang tsunami yang melanda Aceh, menambah penderitaan Khairul karena tiga kapal motornya hancur. “yang tinggal hanya suratnya saja,” kata lelaki itu.

Mereka mengharapkan Pemerintah memberikan keringanan bagi para nelayan untuk mendapatkan solar. “Bagaimana caranya terserah Pemerintah. Bisa dengan menjual solar dengan harga lama bagi nelayan seperti kami, atau memberikan kredit tanpa bunga. Kalau kami dibiarkan terus seperti ini, anak-anak kami tidak ada yang mau melaut. Siapa yang mau jadi orang susah,” timpal Khairul.

Bila biaya operasional lebih tinggi daripada hasil yang diperoleh, Basmillah dengan amat sangat terpaksa memotong gaji para ABK. Penghasilan melaut memang tidak tentu jumlahnya karena tergantung jumlah ikan yang ditangkap. Upah yang rendah terpaksa diberikan kepada ABK agar kapal mereka bisa berlayar kembali.

Hal itu diakui Muhammad Sufi (24). Menurut pemuda asal Buloh Blang Ara, Aceh Utara, itu dia terkadang hanya mendapatkan uang Rp 10 ribu dari satu fiber (tempat ikan) yang diperoleh. “Padahal, biasanya sampai Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu, tergantung kebijakan masing-masing pawang,” kata Sufi yang baru empat bulan melaut.[***]






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now