Ibu Penjual Sayur

“Sayur, sayur.., sayur bu, sayurnya kak. Sayur, sayur.”

Begitulah teriakan seorang perempuan separuh baya yang menggunakan sepeda, dengan membawa beberapa tentengan plastik birisi sayuran segar yang digantukan di sepedanya. Dia pergi berkeliling kampung menawarkan dagangannya kepada ibu-ibu rumah tangga yang membutuhkan sayuran.

6ecd0c47-9cf5-43e7-9738-62296b7c62ea.jpg

Mulanya aku tidak tertarik untuk membelinya karena jarak pasar sayur dari rumah kontrakanku sangat dekat. Aku bisa memilih sayuran segar yang kumau di pasar sayur dan berbelanja barang dapur lainnya yang disediakan di sana.

Mendengar teriakan perempuan itu setiap hari, menarik perhatianku untuk menelusuri lebih dalam si pemilik suara. Aku penasaran dengan ibu penjual sayur yang biasanya menggunakan topi yang terbuat dari anyaman bambu itu.

Cukup jarang menurutku perempuan jaman now mau melakukan itu dengan menjajalkan dagangannya ke rumah-rumah menggunakan sepeda. Apalagi yang dibawanya itu sayuran yang hasilnya tidak seberapa. Aku berpikir “kemana ya suaminya, sampai dia tega membiarkan istrinya mencari nafkah seperti itu?”

Aku mencoba mengakrabkan diri denganya dan membeli sayurnya saat dia melewati rumahku. “Mau beli apa Dek? Ada bayam, kangkung, pucuk ubi, brokoli, tahu, tempe, toge, semua ada di sini. Masih segar-segar” ungkapnya dengan penuh semangat.

Sejak itu, aku sah berlangganan dengannya dan selalu menunggu kedatangannya saat aku ingin membeli sayur. Seiring waktu, aku mulai akrab denganya dan dia mulai bercerita banyak hal selain membahas tentang sayuran.

Penasaran, aku pun mulai bertanya tentang idenya yang mau menjadi penjual sayur keliling. “Hahaha, nggak kutahu di mana ide itu muncul. Tiba-tiba muncul begitu saja karena aku tidak tahu mau ngapain lagi setelah suamiku meninggal, sedangkan aku harus memberi makan tiga orang anakku yang masih kecil-kecil.” Jawabnya dengan gelak tawa.

“Ibu hebat ya, bisa menafkahi keluarga dan semangat melakkukannya” Aku kagum dengan kesungguhannya karena bisa bertahan dalam situasi sulit seperti itu.

Dia berccerita saat pertama kali dia membawa dagangan menggunakan sepeda, anaknya yang sulung mengatakan “mamak kayak orang gila.” Padahal apa yang dilakukannya untuk memberi makan anak-anaknya.

“Janganlah bilang mamak kayak orang gila, mamak sedih kalau anak sendiri mengatakan ibunya sendiri seperti itu” kenangnya sambil tertawa.

“Itu dulu, tapi sekarang dia sudah bisa memakluminya karena jika saya nggak kerja, dia mau makan apa? Kadang aku sempat juga menangis sambil membawa sepeda teringat kenangan bersaama suamiku.” Kali ini dia serius mengatakannya, nampak bulir cairan bening di ujung matannya. Aku mengira tawanya tadi hanya cara untuk menutupi kesedihan yang dirasakannya.

Suaminya meninggal setahun yang lalu. Sebelum meninggal, suaminya ditabrak mobil saat perjalan pulang kampung hingga membuatnya tidak bisa berjalan satu tahun dan akhirnya meninggal dunia.

“Dulu saat aku masih punya suami, aku tidak tahu yang namanya cari uang. Dia yang selalu memberikan kepadaku untuk membeli kebutuhan pokok. Aku tak tahu bagaimana caranya bayar listrik, bayar air PDAM, beli air minuman, memasang bola lampu, dan urusan-urusan kecil lainnya yang biasanya dikerjakan oleh laki-laki. Sekarang aku terasa sekali setelah kepergiannya karena semua itu aku lakukan sendiri. Makanya nanti kamu setelah bersuami jangan terlalu manja dengan suami, kita harus punya keterampilan khusus supaya bisa tetap bertahan hidup bila tidak ada lagi suami.” Ujarnya kepadaku.

Aku semakin antusias mendengarkan kisahnya apalagi saat dia berkali-kali menyebut kata sayang dan cinta kepada mending suaminya.

“Aku sangat sayang sama suamiku. Dia orangnya baik dan sangat mencintai keluargaku. Dua belas tahun aku berumah tangga dengannya tak pernah terjadi percekcokan di antara kami berdua. Meskipun dia seorang tukang bangunan, tapi dia selalu berusaha untuk membahagiakanku. Rumah tangga kami selalu dipenuhi dengan kedamaian sehingga cintaku kepadanya begitu dalam. Bahkan sekarang, sedikit pun tidak ada terniat di hatiku untuk mencari penggantinya. Cintaku Cuma satu di dunia dan juga di akhirat, yaitu untuk dia.” Sambungnya sambil mengadahkan kepalanya ke langit untuk menahan air matanya supaya tidak jatuh membasahi bumi.

Aku terharu mendengar kalimatnya itu. Tiba-tiba, aku langsung teringat akan si dia (calon suami) yang katanya akan tetap seutuhnya mencintaiku kalau sudah menikah nanti. Entah itu benar, kita lihat saja nanti. Aku berharap dia tidak meninggalkanku setelah memberikanku beberapa keturunan karena aku ingin menghabiskan waktu sampai di usia senja dengan si dia alias sampai nenek kakek.

Ibu si penjual sayur itu pun mengemasi kembali dagangannya dan menggantungkan ke sepeda. Dia mau melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan sayuran kepada para pelanggannya.

Sebelum dia pergi aku meminta mengabadikan fotonya di ponselku dan dia pun menyetujuinya sambil berpose dengan penampilan terbaik.

6367d02a-d94c-40ee-b117-7eb98ff7c871.jpg

“Beginilah perjuangan seorang ibu untuk menghidupi anak-anaknya.” Tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulutnya yang membuatku semakin iba melihat keadaannya.

“Bolehkah kisah ibu aku tuliskan?” pintaku sebelum dia beranjak pergi.

“Silakan, selama itu membuat para ibu bersemangat untuk berjuang menghidupi keluarganya.” Dia pun pergi sambil meninggalkan sebuah senyuman manis kepadaku.

“Terima kasih bu.” Ucapku sambil dia berlalu meninggalkanku.

“Sayur, sayur.., sayur bu, sayur dek, sayur kak.” Teriakan itu semakin jauh terdengar olehku dan kemudian menghilang.

e904bf05-b54c-43a4-9522-cd4473607bee.jpg

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center