Menanti Maaf dari Paya Bujok Tunong (5)


Source

Sebelumnya

Fluktuasi sensasi rasa dan tubuhku kerap bertukar usai ia melontarkan 'bom' ke dalam hidup. Kertas... ya kertas... siapakah penemunya. Betapa kini kurasakan hadirnya menjadi dualitas nan mengkeritingkan rambut. Seperti ulah perempuan satu itu yang tengah menegakkan menara bimbang di tubuhku sebatang.

Gravitasipun terasa naik-turun oleh golak-meluah di dada. Aku yang tak punya riwayat asthma dan kelainan jantung genetik, kini kerap merasakan gedoran di pintu kakus umum dari dalam dada.

Gedoran yang menegaskan aspirasi tubuh para pengandung tinja. Penting dan genting. Sesak dan mendesak.

Suara Hengky Supit dalam gita Isi Hati yang melantun di radio penjual gorengan membuat aku murka. Mengapa ilham lagu itu tak tertangkap sensor khayalku. Aku iri karena semestinya lagu yang kini melambungkan lamunan kaum dara tersebut akan menjadi ungkapan paling jitu untuk memanjat dinding keangkuhannya. Suara bariton milik Bang Indra, penyiar Radio Citra Nuansa FM menghantar lagu sambil menindih sayatan blues di bagian intro...

Akan kurangkai semua kata Cinta yang ada di bumi ini...
Jadikan seikat kembang, agar kau tau semua isi hati
semoga kau 'kan terima hasratku yang tulus untukmu
dan janganlah kau biarkan harapan ditelan waktu

Amboooiii... sampai ke sumsum kurasa... betapa lagu ini semestinya milikku, untuknya.
Hati dara macam apa yang tak luluh dengan rayuan seabsolut itu. Bayangkan, Kawan... semua kata Cinta si bumi kurangkai jadi seikat kembang untuknya. Cuma untuknya.
Coba saja kalau ia mendengar tembang itu sebagai karya jiwaku, setidaknya ada sesuatu yang tak 'kan didapatnya dari jejaka lain.

Ah... awas kau, Hengky Supit. Tunggu sampai kutemukan mesin waktu. Aku menanti sudako jurusan kota yang selalu penuh jam segini. Sudah kuniat di hati untuk mampir ke base Citra Remaja Maju Jaya FM, membeli selembar kupon permintaan lagu dan mengirim untuknya.

Lapar mendobrak perut. Kupaksakan diri bergelantungan di pintu sudek untuk menggapai pelataran losmen Blantika. Tujuanku bersisa beberapa ratus meter lagi. Aku bersiap menekan bel. Sudek berhenti tepat di seberang tugu Bambu Runcing, landmark Kota Langsa tempat aku selalu menunggu sudako menuju satu-satunya ruang di bumi tempat kita bersua, SMUN 1 Langsa. Kanopi tajuk Mahoni membantuku meredam sengatan mentari-pesisir. Mataku awas mengamati kendaraan yang melintas saat hendak menyeberang. Memasuki Jalan Profesor A Majid Ibrahim, naungan langkahku berganti dengan Tamarindus Indica. Angin sepoy bertiup semilir membelai tengkukku yang berkeringat, tepat saat aku membuka tumpukan album senyummu di benak.

"San..." bibirku mengucap penggalan namamu seperti rapalan mantra. Lirih, klandestin dan samar. Aku tetap merahasiakan kita dari indra tiap insan. Khusus untuk yang satu ini, aku akan lebih mempercayakan kerahasiaannya pada hewan dan tumbuhan. Hingga saat menulis kupon request lagu, kutilis:

Dari: Pejantan Blang Paseh yang rela punah untuk mendapat satu menit balasan tatapmu.
Lagu/Oleh: Isi Hati, Hengky Supit.
Untuk: San, di Paya Bujok Tunong.
Ucapan: Aku sedang berjuang keras di kelas Fisika untuk membuat mesin waktu, agar di masa lalu yang akan kudatangi, aku mampu merebut lagu ini dari Hengky Supit. Cuma untuk membuat kau tau isi hatiku semata.

Kuselipkan kupon pada kotak berisi kaum sebangsanya setelah menyerahkan koin Rp 500, sisi yang bergambar cengkeh ada di atas saat itu. Ya... aku sekonyong sadar betapa mirip kau dengan cengkeh.

Sulur sesak menjalari broncheolusku tiap mengkhayalkan jam 4 sore di hari yang sama dengan saat ini minggu depan. Beserta 6 jam hidupmu yang cuma untukku...

Akan kita isi dengan apa waktu sepanjang itu? (Atau sependek itu?). 6 jam yang akan abadi di masa depan. 6 jam yang tak 'kan mampu terbantah oleh apa dan siapapun. 6 jam yang mungkin berarti segala atau tiada. 6 jam yang menantang kita dengan godaan seranum khuldi. 6 jam yang menegaskan 'kita' sungguh ada di antara kau dan aku.

Dahagaku bertambah saat benak tengah membandingkan bibirmu dengan seulas limau. Kata 'tangeryn' menggema dengan intonasi suara Bu Gusti lengkap di dalamnya.

Kuarahkan langkah menuju gerobak penjual buah. Cuaca sedang berpihak padanya. Pepaya, nanas, mangga, jambu air dan bengkuang tampak sungguh sedap dipandang siang ini.
Aku tak membeli buah yang telah termutilasi dan berbaris dalam kotak kaca. Kutunjuk termos bervolume 15 liter berisi air kelapa yang entah berampur essence perasa apa; tapi kerap kurindu rasanya saat cairan putih-keruh-dingin itu melintasi trakea.

Kuputuskan untuk tak menghitung mundur detik menuju pertemuan kita. Meski aku punya cukup kegilaan untuk itu, kali ini kurelakan kewarasan bertakhta. Semoga aku tak mengigaukan namamu malam ini. Susah betul kalau Mamak dan penghuni rumahku yang lain mendengarnya...

Kusingkirkan sejenak gejolak asmara, sebab saat langkah menapak di belakang rumah, aroma terasi Pulo Kampek menguari rongga hidung. Cuma dengan terasi Pulo Kampek, Mamak bersedia membuat sambal kukus. Bawang merah 2 siung dibelah 4, cabe merah 3, cabe hijau tiga, cabe rawit tak terhitung dan 2 lempeng karya peradaban setara roda dan mesin uap; Terasi Pulo Kampek ia punya nama.

Semua bahan yang telah pasrah tak berdaya itu terkungkung dalam mangkuk sop bergambar ayam jantan. Bermandi uap hingga lunglay-layu tiada daya. Cobek batu buatan Bireuen yang sama usianya dengan adekku turut mendukung. Gilasan batu yang agak berdenting terdengar sebagai simponi surgawi bagi perutku. Aroma percumbuan terasi, bawang merah dan trio cabe menghadirkan persalinan rasa.

Sambal kukus belumlah paripurna jika Mamak tak memeras 3 potong limau nipis berkitar-kitar 3-5 senti di atas gundukan nan mulia itu. Salivaku menggenang, lidahku terendam. Seperti kerasukan kusambar piring, berkelontanganlah tutup kukusan oleh hasrat paleolitikum yang menggeletarkan lambung. Kol rebus, daun selada, terong mentah, daun kemangi dan tempe goreng.

Entah mengapa Mamak tak pernah menegur kergesaanku yang satu ini. Kerap kudapati Mamak tersenyum bangga, mungkin cuma aku yang bisa mengekspresikan secara total penghargaan atas masterpiece kulinernya bertajuk Sambel Kukus Terasi Pulo Kampek.

Saat seperti ini aku tak ingat ada ayat yang berulang 31 kali dalam satu surat. Namun maknanya sungguh melekat. "Yong... ada ikan asin gembung di irus?" kata Mamak mengingatkan. Aaahhh... Mamakku memang super. Sungguh, sempurna cuma milik Tuhan, tapi seleraku seperti sudah menghamba pada daya magis sambal kukus dan perangkat lalapan plus ikan asin gembung hasil aransemen Mamak. Menjelmalah simbal dalam desis kepedasanku, kontrabass di sendawaku, biola di decit suara piring bergesek kulit tanganku...

Kuingatkan pada kalian semua, kawan... menggunakan sendok di tengah ansambel berhias sambel semacam ini adalah bukti kesesatan kuliner dan krisis identitas. Table manner Eropa sungguh tak cocok dipakai; campakkan saja ke tong sampah terdekat.

Entah mengapa, aku heran dengan orang luar Langsa yang memuja terasi Langsa dengan puji sepanjang garis pantai China. Aku yakin pemberhalaan mereka pada terasi Langsa akan punah, luruh dan ambruk saat menjilati jejak sambal kukus versi terasi Pulo Kampek di ujung 5 jemari tanganku...

Jam 3 sore aku tiba lagi di sekolah. Penuntasan rindu-dendam dengan sambal kukus Pulo Kampek version nyaris menidurkanku di dekat jendela kamar. Perut kenyang berpadu belaian sang bayu yang dikirimkan reranting bakau Kuala Langsa, sungguh bisikan terlarang yang nyaris membuatku alpa di kelas komputer sore ini. Disket bertulis Verbatim penghuni floppy B: dalam sistem operasi DOS adalah barang yang wajib kubawa. Pak Sofyan Hasibuan hari ini menggantikan peran Pak Amir yang sedang pulang ke Samalanga. 41 unit komputer menyala hampir bersamaan di ruang sebelah timur Mesjid Sekolah. Kau di situ, tak sampai sepelemparan batu dariku. Tapi kini, aku masih batu bagimu...

***

Ah... Einstein... Rosen... Lorentz... Hawking... bantulah aku melipat waktu dengan daya lengkung gerhana... Oh... Newton... macam mana cara kukendali daya gravitasi sesuka hati? Ada gadis sedang mematikan panca-indraku. Tolonglah... bantu aku sebagai sesama lelaki. Berpihaklah sedikit saja, sekali ini saja untuk kaum kalian...

Bersambung...

Steemit Sastra.jpg

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now