Jurnalisme Damai: Bad News is (not always) a Good News

sumber

Sebagai negara yang multikultural dengan berbagai etnis, suku, budaya, ras, dan agama, merupakan tantangan besar bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk menjaga keseimbangan dalam keberagaman. Agar kondisi negara tetap stabil, maka sangat dibutuhkan kerja sama yang baik antar warganya untuk mengayomi setiap perbedaan. Bukan menciptakan pertikaian.

Namun, selama beberapa waktu ini Indonesia kembali diguncang dengan berbagai isu SARA yang mengancam toleransi di tengah-tengah masyarakat. Isu SARA memang isu yang paling mudah digoreng sedemikian rupa oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan tidak bertanggung jawab, untuk memecahbelahkan bangsa. Salah satu pihak yang paling mungkin menampilkan kasus bertemakan SARA dan membuatnya meledak di tengah-tengah masyarakat adalah media massa. Baik itu media-media mainstream ataupun media-media sosial.

Sejalan dengan pandangan Peter L. Berger mengenai konstruksi sosial atas realitas, maka dalam konteks ini media massa menjadi salah satu elemen yang mampu membentuk realita di tengah-tengah masyarakat, begitu pula realita mengenai pertikaian/konflik/peperangan. Berbagai kasus yang diterima oleh masyarakat merupakan hasil dari perpanjangan tangan media massa. Maka opini yang terbentuk di kepala masyarakat, sangat bergantung pada bagaimana media massa membentuknya. Sesuai dengan fungsi media massa sebagai pengkonstruksi realita.

Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan menjadi sebuah berita bermakna yang disajikan kepada publik (Ibnu Hamad, 2004: 11).


sumber

Apa yang dibaca, didengar, dan ditonton oleh masyarakat dari media massa pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi media atas realitas. Media tidak bisa objektif atau mengutip realita begitu saja dari lapangan, tapi media "membungkus" realita dengan nilai-nilai yang diusungnya. Media selalu punya kepentingan, punya framing, atau pembingkaian atas realita yang ditemukan dan disampaikan kepada khalayaknya. Al-Zastrouw menjelaskan di dalam Alex Sobur (2001: 35), setidaknya media massa itu dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, kapasitas dan kualitas pengelola media. Kedua, besar kepentingan yang bermain dalam realitas sosial. Ketiga, tinggi/rendahnya taraf kekritisan masyarakat.

Oleh karena itulah, dalam memberitakan berbagai kasus yang ada di tengah-tengah masyarakat pun media akan mewakili nilai-nilai yang mendominasinya. Punya sudut pandang dominan. Sehingga tidak aneh jika masyarakat menemukan media yang pro ke kelompok/pihak tertentu, lalu bersikap kontra dengan lainnya. Seperti itu juga dalam memberitakan isu-isu konflik/pertikaian.

Sudah menjadi sejarah kelam di tengah-tengah masyarakat Indonesia mengenai berbagai pertikaian yang berkaitan dengan SARA. Kasus di Poso contohnya, dapat kita jadikan gambaran bagaimana peranan media massa menjadi pemicu pertikaian antar kelompok etnis sehingga menjadi kian berlarut-larut.

Begitu pula dalam peliputan kasus konflik di Aceh yang terjadi dengan pemerintahan pusat sebelum bencana Tsunami lalu. Media massa juga berperan sebagai mediator untuk semakin memperkeruh ataupun mencapai kesepakatan-kesepakatan.

Kasus SARA lainnya juga masih saja terjadi seperti ketika adanya Bom Bali, pembakaran gereja di Singkil, pembakaran mesjid di Papua, kasus jamaah Ahmadiyah, perbedaan khilafiyah antar jamaah dalam Islam, dsb. Selalu saja mendapat sorotan media massa dan publik.

Sehingga dalam beberapa tahun belakangan pun, isu bertemakan SARA semakin marak terjadi. Terlebih lagi di masa internet dan sosial media semakin menjamah kehidupan masyarakat Indonesia. Liputan bertemakan SARA yang entah itu fakta atau hoax kian menggerogoti pikiran khalayak, menggiring opini dan sikap mereka.

Lihat saja bagaimana kasus penistaan agama Ahok membangkitkan kemarahan sebagian besar umat muslim Indonesia. Media massa kini berhasil menggiring opini dan menciptakan dua kubu besar masyarakat Indonesia yang saling pro dan kontra satu sama lainnya, yaitu kubu kaum pembela Islam dan kubu nasionalis/multikulturalis.

Dua kubu ini kini menjadi jamaah media massa yang saling menjatuhkan satu sama lainnya, bersikeras, dan berperang sebegitu hebatnya di media-media massa mainstream ataupun media sosial.

Hingga pada akhirnya, baru-baru ini DUAR! Meledaklah bom di tiga gereja Surabaya dan menyusul aksi-aksi teror lainnya di beberapa wilayah Indonesia. Pertikaian pun meruncing. Kepercayaan, keberagaman, dan persatuan antar masyarakat semakin diuji.

Indonesia krisis keberagaman. Rasa kebersamaan bangsa sedang ditantang habis-habisan gara-gara kasus bertemakan SARA, yang gencar dipertontonkan di media massa, diperlihatkan sahut-menyahut, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut media.

Maka oleh karena itu, peran media massa sebagai pembentuk realita sangat penting kiranya dalam menjaga kestabilan di dalam masyarakat Indonesia di tengah-tengah ancaman dan ujian keberagaman seperti saat ini. Konflik akan semakin terjadi jika media massa pun memfasilitasi itu terjadi. Begitupula sebaliknya, jika media mampu menjadi membawa isu-isu perdamaian di dalam liputannya, maka kedamaian pun akan tercipta di tengah-tengah masyarakat.

Eriyanto (2002: 27) menjelaskan, media massa adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk ditampilkan kepada khalayak. Maksudnya, pekerjaan dari media massa tidak sekadar memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa. Melalui penggunaan bahasa, media dapat menonjolkan aktor-aktor dan peristiwa tertentu dengan mengabaikan yang lainnya. Inilah yang disebut sebagai framing media. Pembingkaian tersebut menentukan bagaimana khalayak akan memahami dan melihat peristiwa-peristiwa bertemakan konflik dalam sudut pandang tertentu.

sumber

Di sinilah perlu penerapan jurnalisme damai. Sebuah proses yang mana kegiatan di media lebih berorientasi membawa nilai-nilai perdamaian dalam setiap liputannya, khususnya dalam kasus bertemakan konflik.

Jurnalisme damai adalah sebuah keharusan untuk menjaga iklim yang baik bagi kehidupan bangsa dan Negara.

Dalam istilah jurnalisme damai, istilah bad news is a good news bagi media massa tidak sepenuhnya benar. Karena sesuatu yang buruk jika disampaikan hanya akan semakin membuat suasana semakin buruk bagi khalayaknya yang sedang bertikai.

Apa yang kita dapatkan saat ini memperlihatkan bagaimana setiap media punya framing masing-masing dalam menciptakan realitanya. Terkait dengan kasus bom Surabaya misalnya, media-media massa punya nilai yang berbeda dalam membingkai realitas.

Bagaimana labelisasi dan stigma negatif terhadap keyakinan tertentu, kemarahan publik, kesedihan, ketidakpercayaan, kekhawatiran, belasungkawa, pesan perdamaian, kelapangan hati korban dan orang di sekitarnya, dan berbagai reaksi lainnya sangat tergantung pada setiap framing yang diciptakan media.

Penerapan jurnalisme damai ini tidak hanya sebatas memberitakan informasi ke masyarakat, tapi juga harus dapat menyejukkan, tidak membawa kepentingan, dan bisa merangkul siapa saja.

Semakin gencar media membela pihak tertentu dan menjatuhkan lainnya, semakin berkibarlah konflik dan pertikaian. Sehingga hal ini tentu saja tidak boleh terjadi, demi Indonesia yang stabil dan iklim demokrasi yang baik dalam bangsa dan bernegara.

Akan tetapi, alangkah buruknya pihak media massa adalah jika menjadikan isu bertemakan konflik ini sebagai ladang uang mereka, dalam konteks kepentingan ekonomi politik media massa. Isu konflik dianggap sebagai good news yang punya rating tinggi dan diminati masyarakat. Atau dibawa dalam ranah kepentingan kelompok dominan tertentu, sehingga kasus-kasus konflik disetting sedemikian rupa melalui agenda -setting media, sehingga mencerminkan kepentingan pihak yang diusungnya.

Jika demikian. Berdosalah media.

Untuk itu, jurnalisme damai harus diterapkan. Setiap pelaku media, pengguna media, harus dapat menanamkan nilai-nilai perdamaian dalam menyampaikan pesan-pesan di media massa.

Media massa dan orang-orang di dalamnya tidak boleh egois untuk mengedepankan kepentingan dari nilai-nilai yang diusung di belakangnya dengan mengorbankan persatuan masyarakat. Tidak boleh membela satu pihak, menjatuhkan yang lainnya. Tidak boleh mengadu domba. Menjadi pemantik api dan kemarahan. Atau memberikan pesan-pesan pertikaian. Yang diutamakan haruslah inti dari perdamaian.

Kunci dari jurnalisme damai adalah berpegang pada etika jurnalistik dan mengedepankan idealisme pers demi menjalankan tugas sebagai pemersatu bangsa. Hal ini tentu saja sesuai dengan apa yang telah diamanahkan di dalam Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Bahwa dalam bermedia insan pers punya aturan yang harus dijalankan, etika yang harus dijaga dalam bentuk sikap independensi, prinsip cover both sides, tidak SARA, dan menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran.


Referensi:

  1. Agus Sudibyo. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS.
  2. Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media: Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  3. Ana Nadhya Abrar. 2011. Analisis Pers. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
  4. Apriadi Tamburaka. 2012. Agenda Setting Media Massa. Jakarta : Rajawali Pers.
  5. Burhan Bungin. 2006. Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
  6. Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LkiS.
  7. Ibnu Hamad. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap berita-berita Politik. Jakarta: Granit.

DQmTtT5dMeuTXG91Nyou3LGXuxkfZ8xQKUETMt9YUD5dipm_1680x8400.jpeg

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now