Biarkan Anak Indonesia Menulis

Salah satu masalah yang paling sering menjadi kendala anak Indonesia ketika sekolah di luar negeri atau ketika harus berhadapan dalam kompetisi dalam karya adalah menulis. Bukan berarti kemudian kalah atau bodoh, tetapi karena tidak mampu menulis dengan baik dan benar, maka seringkali pada akhirnya tidak mendapatkan apresiasi dan penghargaan yang sepatutnya. Apalagi jika kemudian harus presentasi dan mempertanggungjawabkan semua hasil karya, riset dan penilitian, untuk menjawab pertanyaan essay pun banyak yang kebingungan. Padahal, semuanya pintar, rajin membaca, dan memiliki karya serta pemikiran yang luar biasa. Sayang, kan?!

20150307_210539.jpg
Setiap hari anak-anak saya dan teman-temannya boleh menulis dan menggambar di rumah. Mereka bermain dengan tulisan dan warna-warni sejak kecil, dan sekarang di usia belia, menulis dan gambar menjadi kebutuhan mereka seperti makan dan minum.

Banyak orang tua dan guru di Indonesia kurang menyadari betapa pentingnya mengajarkan anak menulis. Bukan kemudian mengajarkan mereka untuk menjadi seorang penulis yang hebat, tetapi cukup mengajarkan mereka untuk mampu mengeluarkan isi hati, pendapat, serta menuangkan imajinasi mereka ke dalam bentuk tulisan. Hal ini akan sangat membantu anak untuk bisa menjadi seimbang penggunaan otak kiri dan kanan, sekaligus mengasah hati dan kepekaan mereka. Apalagi jika anak yang bermasalah dan introvet, menulis akan sangat membantu mereka dapat menyelesaikan masalah dengan dirinya sendiri.

Bukan hanya itu saja, menulis juga sebenarnya mengajarkan anak untuk memiliki struktur dan pola dalam berpikir yang lebih teratur, sehingga kemudian tanpa disadari akan berpengaruh pada kehidupannya sehari-hari. Nampak jelas ketika pada usaha di dalam menyelesaikan masalah, biasanya anak yang sudah terbiasa menulis dengan baik akan bisa menelaan masalah dari awal dan dasarnya lalu kemudian mencari penyelesaiannya, bahkan bisa membayangkan bagaimana efek dari penyelesaian itu kemudian.

Tulisan memang jelas membeberkan fakta dan kenyataan tentang diri kita yang sebenarnya, mulai dari pemilihan kata hingga cara menulis itu sudah jelas. Tulisan semrawut menunjukkan bagaimana kesemrawutan penulisnya di dalam berpikir dan bertindah, tulisan yang penuh dengan marah, dengki, dan kebencian, juga menunjukkan bagaimana isi hati dna pemikiran orang tersebut sesungguhnya. Tulisan yang isinya menunjukkan diri sepertinya sangat baik dan malaikat banget juga justru menunjukkan bagaimana orang tersebut, belum tentu sama seperti yang dituliskannya itu, kebanyakan malah kebalikannya, tergantung dari kata dan cara menulisnya, ketahuan semua, kok!

Anak-anak di negeri Barat, sudah terbiasa menulis sejak kecil. Anak-anak di sekolah dasar hingga kuliah, terus diajarkan untuk menulis. Mereka dibiasakan menulis sejak kecil, bahkan di sekolah dasar, menulis dan menggambar adalah seperti harus dilakukan setiap hari di sekolah. Bukan hafalan ataupun dipaksakan untuk menjadi tahu segalanya, tetapi justru diupayakan untuk mengeluarkan dan mengembangkan apa yang dimiliki oleh setiap anak agar bisa benar maksimal digunakan dan dikembangkan. Tak heran bila mereka kemudian sangat terbiasa membaca, menulis, dan tidak takut untuk mengeluarkan pendapat dan berkembang, serta berani menjadi diri mereka sendiri. Inilah yang kemudian membuat mereka menang dalam banyak hal.

Saya seringkali menemukan anak yang bahkan sudah kuliah di tingkat akhir pun masih kesulitan di dalam menulis. Herannya, ketika saya meminta hasil dari semua tulisan yang diwajibkan di kuliah, isinya adalah “copas” dari tulisan karya orang yang hebat dan terkenal. Bisa dikatakan, tulisan yang dibuat adalah hanyalah kumpulan dari pemikiran orang-orang yang kemudian dijadikan satu agar nampak hebat dan baik, herannya itu juga yang mendapatkan nilai dari guru mereka. Kalau saya yang menjadi dosen dan diberikan seperti itu, langsung saya berikan nilai yang sangat rendah. Yang dibutuhkan adalah pemikiran diri sendiri, bukan orang lain, pemikiran orang lain hanya sebagai latar belakang dan penguat saja, bukan kemudian itu yang dikedepankan. Terutama lagi dalam hal penemuan dan pemecahan masalah, kalau pakai pemikiran orang lain terus, untuk apa capek-capek dan buang uang untuk sekolah?! Jadi tukang copas dan plagiat saja cukup. Galak, ya?! Hehehe….

Banyak juga anak yang kemudian berhenti menulis dan berkarya, kehilangan motivasi karena tidak didukung dan diapresiasi oleh orang tua. Mereka biasa suka coret-coret dan menulis di mana-mana, kertas dirobek, lalu disimpan sembarangan sehingga nampaknya seperti sampah. Nah, orang tua lalu marah dan membuang apa yang sudah mereka buat itu, pakai terus lagi ngomel tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya sudah dilakukan anaknya dan betapa penting serta berartinya karya yang sudah dibuat itu bagi mereka. Pokoknya maunya bersih, beres, nggak suka kotor dan berantakan, mematikan imajinasi dan membuat anak takut serta rendah diri dalam berkaryanya tidak diperhatikan. Yah, kalau anaknya jadi masalah kemudian, tidak juga mau disalahkan, kan?! Anak terus yang salah! Soal berantakan, tinggal diajarkan saja bagaimana menyimpan karya mereka dengan baik di dalam map atau di dalam dus pribadi mereka. Capek, ya namanya orang tua, harus sabar dan konsisten jika ingin anaknya menjadi yang terbaik.

Saya sendiri sempat lama berhenti menggambar karena saya merasa tidak diapresiasi malah dimarahi melulu. Memang saya suka sekali menggambar di dinding dan lantai, menghiasi kamar saya sendiri dengan gambar-gambar yang saya buat. Lalu, terus saja dihapus lagi, dicat lagi, dianggap kotor dan jelek. Rasanya jengkel sekali! Pernah juga saya membakar semua tulisan dan buku harian saya, sebuah protes karena buku harian saya dibaca dan ditertawakan begitu saja. Sungguh membuat saya malu dan sekaligus sangat marah karena mereka langsung menuduh tanpa pernah bertanya apa isi tulisan saya sebenarnya. Untung saya keras pada keinginan dan terus fokus pada cita-cita sebagai penulis dan pendidik, apapun yang terjadi tidak mengubah pendirian, tetapi berapa banyak yang kemudian gagal melakukannya?!

20161020_200307.jpg

Membaca itu penting tetapi menulis juga sangat penting. Orang bisa membaca tetapi sulit mengerti arti dan makna yang sesungguhnya dari tulisan, karena tidak terbiasa menulis. Hasilnya, tulisan apapun diterima “plek-plek” begitu saja tanpa diolah dan dipikirkan lebih lanjut, dan inilah yang kemudian digunakan sebagai cara paling mudah melakukan pembodohan di dunia ini. Sudah malas belajar, maunya instant, keras kepala, sombong, tidak juga mau belajar untuk mengerti arti dan makna kata dan tulisan dengan belajar menulis. Senang pula dengan intrik dan berintrik serta menghalalkan segala cara. Kacau sudah, kapan mau majunya negeri kita ini?! Baru tahu sedikit pun sudah seperti tahu segalanya, giliran menulis pun yang diprioritaskan uang dan eksistensinya melulu. Aduh, duh!!!

Kemarin malam saya berbincang dengan seorang dokter dari BNN, dan bertanya apakah benar anak dari kelurga “broken home” yang paling banyak menjadi pecandu narkoba? Jawabnya, tidak, justru dari keluarga yang terlalu ingin anaknya sempurna sesuai dengan keinginan orang tua, orang tua yang terlalu memaksakan kehendak, orang tua yang tidak membiarkan anak mandiri dan terlalu memanjakan anak, serta orang tua yang tidak konsisten antara ucapan dan perilakulah yang paling banyak menghasilkan anak pecandu narkoba. Anak-anak tersebut menjadi pengguna karena pelarian, pemberontakan, dan karena tidak tahu harus bagaimana menyelesaikan masalah. Anak-anak ini kehilangan jati diri dan percaya dirinya, sehingga sangat mudah sekali terjerumus oleh lingkungan dan budaya yang menghancurkan. Nah, loh!!!

Yuk, ajarkanlah anak Indonesia menulis. Biarkanlah perputakaan rumah dan sekolah serta di mana-mana dipenuhi dengan karya mereka. Walaupun hanya di kertas dan coret-coret, bukan buku yang dicetak mahal di penerbit, tetapi akan sangat berarti sekali bagi mereka dan masa depan. Bantulah mereka untuk dapat berkembang, menemukan diri mereka sendiri, dan percaya diri. Latih mereka juga untuk sabar, konsisten, dan terus mau belajar sebab ini adalah kunci penting di dalam menulis. Biarkan mereka menikmati proses, hargai setiap langkah dalam proses itu. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada, bantulah mereka, bantulah anak Indonesia! Berikan mereka masa depan yang cerah dan gemilang!

indonesia menulis.jpg

Bandung, 4 Februari 2018

Salam hangat selalu,

Mariska Lubis

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now