In the Field #3: Pengalaman Sebagai Etnografer

IMG02336-20120706-1207.jpg

Dalam edisi #inthefield kali ini saya akan mencoba mengupas pengalaman penelitian di beberapa kawasan di Nusantara. Dalam kajian antropologi, ada istilah dikenal dengan shaman (bukan saman). Tradisi shaman ada dalam setiap masyarakat, baik tradisional maupun modern. Namun dalam budaya di Nusantara, ada lagi fenomena yang dikenal dengam magik. Saya tidak mengupas hal ini secara mendalam, karena posisinya memang sudah terlarang dalam keyakinan umat Islam. Namun demikian, tidak sedikit umat yang masih menggunakan hal-hal yang bersifat magik, shaman, dan berbagai azimat untuk “membantu” kehidupan mereka sehari-hari, mulai untuk kebal hingga membunuh orang lain.

Akan tetapi, ketika saya di Kuala Lumpur, saya berkesempatan melihat berbagai bentuk barang-barang yang digunakan dalam persoalan magik. Agak sukar menelisik siapa saja yang menggunakan barang tersebut. Seorang dosen yang mengkaji ilmu sihir di kalangan masyarakat dari berbagai golongan, mendapati berbagai barang yang digunakan sebagai media magik. Dalam beberapa perjalanan saya diceritakan oleh orang tempatan, bahwa warung-warung atau restoran-restoran selalu menggunakan jampi atau berbagai jenis “barang-barang” sebagai media untuk memikat pelanggan. Tradisi ini bukan hanya di kalangan yang beretnik Melayu, tetapi juga di kalangan non-Melayu (India dan Cina).

Di kalangan orang Melayu, penggunaan magik melalui barang dan mantra bukanlah sesuatu yang baru. Penggunanya adalah bomoh, dukun dalam bahasa Indonesia. Ketika saya di Thailand, fenomena magik ini pun sudah lazim malzum. Dalam masyarakat Melayu dikenal dengan jampi atau serapah. Harud Daud mengumpulkan ribuan jampi atau mantera yang digunakan oleh masyarakat Melayu dalam buku Ulit Mayang: Kumpulan Mantera Melayu (2004). Dalam buku ini dipetakan berbagai mentera untuk “pakaian diri,” “perdukunan dan perobatan,” dan “membantu dalam kegiatan ekonomi.” Ada ribuan mantera yang dikumpulkan oleh Harun Daud dari para penuturnya.

IMG02324-20120706-1205.jpg

Namun, yang menarik bagi saya adalah penggunaan barang-barang sebagai azimat (jimat). Dalam pameran yang diadakan di Universiti Malaya, saya mendapati berbagai barang yang dijadikan sebagai zimat. Ada baju kebal, uang kertas, minyak, dedaunan, kain, perangkat elektronik, dan lain sebagainya. Dari penjelasan seorang peneliti dituturkan bahwa benda-benda tersebut digunakan untuk kebal, pemikat atau pengasih, menundukkan orang lain, mencelakai orang lain, kepentingan bisnis, menjaga pasangan agar tidak dipikat orang lain. Benda-benda ini dibawa serta, disimpan di dalam pakain, digunakan sebagai aksesoris, ditempatkan di salah satu sudut bangunan atau ditanam diluar bangunan, atau bahkan dibenamkan dalam tubuh manusia. Dalam kajian antropologi, barang-barang ini juga sering disebut sebagai bagian dari vodoo.

image

Studi paling klasik tentang hal ini dapat dibaca dalam karya Walter William Skeat yang berjudul Malay Magic (1900) atau salah satu artikel Robert L. Winzeler yang berjudul The Study of Malay Magic. Di sini sering disebut sebagai Folklore atau Popular Religion. Karena itu, tradisi magik di kalangan masyarakat Melayu memang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat tersebut. Sekali lagi, budaya ini tidak hanya monopoli masyarakat Melayu, tetapi juga di berbagai masyarakat di seluruh dunia. Salah satu karya yang dapat dirujuk adalah Michel Stephen yang berjudul A’aisa’s Gifts: Study of Magic and the Self (1995).

Di Aceh sendiri, saya sudah pernah membimbing skripsi mahasiswa yang mencoba fenomena magik dalam masyarakat. Salah satu mahasiswa saya mengkaji tentang fenomena Aji di kalangan masyarakat di sekitar Aceh Selatan dan tradisi Tube di kalangan masyarakat Gayo. Tube dan Aji masih dipraktikkan di kalangan pedesaan. Walaupun tidak menutup kemungkinan hal ini juga dipraktikkan di kalangan masyarakat perkotaan. Agak tidak etis menguraikan bagaimana prosesi ritual Aji dan Tube dalam postingan ini. Satu kata untuk menggambarkan bagaimana proses ritual Aji dan Tube adalah Mengerikan!

image

Ketika meneliti tentang budaya masyarakat pesisir, fenomena ini juga dijumpai. Mereka menggunakan untuk saling menjatuhkan pesaing di tengah laut. Ada yang menjampi jaring atau mencelakai orang. Dalam masyarakat lain di Nusantara, fenomena ini malah menjadi lahan bisnis untuk kepentingan ekonomi dan politik. Bala bantuan makhluk ghaib sering diikutkan dalam memenuhi dua kepentingan tersebut. Tentang kata kunci di sini adalah menghalau saingan! Ada juga fenomena menggunakan ilmu ini untuk memperkuat kharisma atau menarik minat orang pada dirinya.

IMG02325-20120706-1205.jpg

Dewasa ini, muncul fenomena baru di dalam masyarakat yaitu tradisi bekam atau rukyah. Mereka, katanya, menggunakan metode Nabi Muhammad di dalam tradisi bekam. Tetapi tidak sedikit pula yang menggunakan rukyah untuk mengeluarkan makhluk ghaib dari tubuh seseorang. Tentu saja jasa ini juga tidak gratis alias berbayar. Artinya bekam dan rukyah menjadi lahan bisnis baru di dalam tradisi pengobatan secara islami. Setelah membaca beberapa ayat suci, sang pasien akan merasakan sesuatu, jika ada sesuatu di dalam tubuhnya. Kalau tidak salah, memang ada kitab secara khusus yang menjabarkan metode pengobatan pada era Rasulullah. Namun begitu, ada juga kitab yang menjadi rujukan yakni Manba’ Ushul al-Hikmah, karya Abi al-Abbas Ahmad ibn ‘Ali al-Buni. Dalam tradisi masyarakat Aceh juga terdapat kitab untuk pengobatan dan astronomi, yaitu Taj al-Mulk.

Jadi, dalam studi sosial antropologi, kita akan bertemu dengan hal-hal seperti di atas. Antropolog bertugas menjabarkan fenomena tersebut. Banyak fenomena kebudayaan dalam masyarakat yang perlu dipahami dan dijelaskan. Biasanya, setelah ada penjelasan secara detail dan rinci, para pembaca akhirnya yang memutuskan, apakah fenomena tersebut baik atau buruk bagi diri dan masyarakatnya. Antropolog selalu hadir untuk memberikan pemahaman dengan metode etnografi. Narasi di atas adalah catatan-catatan etnografi yang saya temui di dalam masyarakat di Nusantara.

IMG02328-20120706-1205.jpg

Terkadang harus menyaksikan sendiri apa yang dipraktikkan oleh masyarakat. Kadang mencicipi masakan yang tidak diketahui makna yang jelas akan kata enak dan sehat. Tentu saja keyakinan religi menjadi limit, ketika harus mencicipi makanan. Sebagai contoh, di kalangan masyarakat Thai, makna Muslim adalah tidak makan babi, “tidak minum,” dan makan anjing. Tiga hal tersebut yang dipahami seorang Muslim. Tetapi, bagi Muslim makna tersebut tentu tidak akan bekerja sama sekali.

Ketika menyaksikan berbagai ritual pengobatan, terkadang harus memahami dengan cara berpikir mereka yang melakukan ritual. Dari pola tersebut, kesimpulan dapat ditemui. Penjelasan dapat ditutur secara thick description. Fenomena magik di Nusantara sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Hal-hal yang bersifat supra natural selalu mengeringin kehidupan masyarakat. Campur aduk pandangan selalu ada ketika mencari legitimasi religi. Namun, fenomena ini terus berlanjut hingga hari ini.

IMG02325-20120706-1205.jpg

Orang tidak yakin dengan kualitas warungnya, sehingga perlu menempel atau menyimpan benda-benda ghaib. Orang tidak yakin dengan kualitas diri yang diberikan oleh ilahi, hingga mencari pembantu ghaib untuk dirinya. Orang tidak yakin dengan kemampuan akal dan firasat yang menjadi anugerah dari rabbi, hingga harus mencari kemampuan makhluk JIS (Jin, Iblis, dan Syaitan). Postingan ini memberikan gambaran bahwa menjadi seorang etnografer tidak semudah dibayangkan duduk di dalam ruang AC perpustakaan. Sebab etnografer membaca bacaan mereka di “perpustakaan kehidupan nyata” masyarakat. Mereka harus membaca sedalam mungkin dan terkadang mereka susah kembali, ketika ada hubungan emosional yang kuat antara etnografer dan tempat dia meneliti.

K. Bustamam-Ahmad

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center