Dan Bayi Itu....

*** image

@HALIDABAHRI

SATU hari, di musim penghujan. Sebuah wajah muram, menahan sakit. Memilin perut. Sakit tak terkira. Rasa sakit seakan tak mau hilang dalam seminggu terakhir. Seperti disayat belati, diputar-putar oleh mesin penghancur padi.

“Sakitanya, luar biasa sayang,” ujar Ummi pada suaminya. Sang suami pun kelimpungan. Menurut tes sensitif yang dilakukan tadi pagi, Ummi, dipastikan positif mengandung. Dua garis merah yang keluar dari alat tes kehaliman, keluar. Artinya, Ummi positif mengandung. Ini anak pertama..

Satu hari sakit itu bisa ditahan. Dua hari, plek merah muncul di bagian peranakannya.

“Bi, keluar plek merah. Apa Ummi halangan lagi ya?”

“Kita cek saja dulu ke dokter. Mana tau, ada solusinya,” ujar Abi mencoba menentramkan hati sang istri. Padahal, jauh direlung hatinya, Abi sangat khawatir.

Cerita tentang orang-orang yang gagal mendapatkan anak, setelah keguguran anak pertama, menghantui. Kepalanya dipenuhi rasa takut. Takut akan kondisi istrinya. Ditambah lagi, Asnawi, temannya di kantor bercerita, bahwa istrinya juga pernah mengalami hal yang sama. Akibatnya, sampai sekarang, istri Asnawi belum dikaruniani sang cabang bayi.

Cerita lain paling menakutkan, didengar dari Armia. Teman yang satu ini, sudah empat tahun menikah. Istrinya, pernah mengandung. Lalu, keguguran. Sampai sekarang belum mendapatkan keturunan.

Satu sore di bulan Juni, Abi pun menemui seorang dokter spesialis kandungan di kota itu. Dokter ini disebut-sebut sebagai dokter terbaik. Sabar, murah senyum, dan tidak banyak bicara. Penuh wibawa.

Untuk berkonsultasi semua orang harus mengantri dua sampai tiga jam. Pasiennya padat. Di rumah sakit, di ruang praktik, pasiennya selalu padat.

“Sabar dulu. Sebentar lagi sudah giliran kita,” kata Abi. Mata Ummi memerah. Menahan kantuk dan sakit perut tak terkira. Hujan terus membasahi kota itu. Sesekali matanya menoleh ke petugas pemanggil pasien. Menunggu kapan giliran dipanggil, dan segera menceritakan keluhan yang dialami.

Hal yang ditunggu pun datang. Dokter Marzuka, duduk dibalik meja kerja. Matanya tajam. Memperhatikan setiap pasien yang datang. Lalu mengajak Ummi ke ruang pemeriksaan, memasang alat USG untuk mengetahui kondisi kandungan.

“Tidak apa-apa. Terpenting, jangan stress, dan jangan terlalu lelah,” kata dokter berbadan tambun itu.

Lalu, dia pun, memberikan resep obat. Setelah menebus obat di apotik, pulang ke rumah. Darah segar semakin banyak keluar dari mulut rahim. Tiga hari berlangsung. Obat telah diminum secara teratur. Namun, darah itu tak mau berhenti. Kekhawatiran semakin menjadi.

“Ummi berhenti kerja saja dulu. Istirahat penuh. Kata teman-teman Abi, yang ngerti kesehatan, katanya memang harus berhenti total,” ujar Abi.

Ummi berkeras tidak mau berhenti. Tidak berani meminta izin pada atasannya. Ini menjadi dilema tersendiri. Khawatir akan dipecat.

Empat hari berlalu. Darah itu belum berhenti juga. Sedangkan sakit diperut semakin menjadi.

“Umi, kita periksa ke dokter lagi ya. Ini sangat membahayakan. Mengkhawatirkan,” kata Abi.

Umi sebenarnya enggan memeriksakan. Dia merasa tegar. Merasa yakin, bahwa kondisi kandungannya kuat dan sehat. Tidak ada keluhan yang berarti. Sesekali sakit diperut datang, dia hanya meringis, sambil melemparkan senyum pada suami. Menandakan dia kuat menahannya, dan tak perlu berobat.

“Harus berobat. Besok kita ke dokter,” kata sang suami.

Umi pun kembali ke dokter. Pemeriksaan dokter memvonis bahwa kandungannya lemah. Selain itu, diwajibkan untuk istirahat total. Paling tidak selama empat atau lima hari.

Dokter pun mengeluarkan surat keterangan tanda perlu istirahat. Surat itu ditujukan untuk perusahaan tempat Ummi bekerja.

Meski telah istirahat, namun darah segar itu belum ingin berhenti. Suaminya pun telah bernazar, jika darah itu berhenti, anak mereka lahir dengan normal, maka akan menyumbangkan satu zak semen untuk rumah ibadah.

Perlahan, namun pasti, darah itu mulai berhenti. Atas kehendak Tuhan semua bisa terjadi. Memberi penyakit dan memberi tawarnya.

Bulan demi bulan, Ummi terus bersabar. Perut semakin membuncit. Sang cabang bayi, mulai terasa bergerak-gerak. Sang suami menggantikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Suaminya sepulang kerja, langsung memasak, menyuci, dan membersihkan rumah. Dia memanjakan istri, demi sang buah hati.

Setelah rasa sakit hilang, masalah lain muncul. Ummi ngidam. Wanita hamil memang selalu ngidam. Namun, selalu saja aneh-aneh. Suatu hari, Ummi meminta keripik yang hanya dijual di kabupaten tetangga. Sekitar dua jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Hari lainnya, Ummi ngidam, mau makan asam Jawa, khusus dari Jawa Tengah. Tidak boleh asam jawa dari daerah lainnya.

Semua itu dipenuhi oleh sang suami. Tepat, adzan Subuh, di awal Minggu ketiga Maret, lahirnya gadis kecil. Imut. Manis, matanya tajam. Menunjukkan sebagai bocah tangguh, pemberani dan tidak cenggeng. Itulah cabang bayi yang ditunggu-tunggu. Menanti selama sembilan bulan, penuh dengan cobaan, dan rintangan.

Sang cabang bayi kini tersenyum manis. Diberinama Fenomena. Semoga, menjadi fenomena di negeri ini. Fenomena positif, untuk kemajuan semua bangsa di dunia. Amin.


REESTEM - UPVOTE - FOLLOW

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center