Politik Tawadhu'

image
pixabay

Pernah ada cerita di Inggris, seorang perdana menteri ditolak jabat tangan oleh seorang warga dengan alasan ia tidak memilih sang perdana menteri. Andai ini terjadi di tempat kita, kita tidak bisa membayangkan nasib orang tersebut karena pastinya dianggap telah menghina kepala negara.

Pernah suatu ketika saya telpon seorang Teungku Chik di Aceh dalam kapasitas saya sebagai wartawan. Di akhir wawancara, beliau dengan tegas mengatakan bahwa beliau tidak memilih sang pemimpin yang baru terpilih. Oleh karenanya, persoalan-persoalan terkait kebijakan si pemimpin menyangkut agama umat, jangan tanyakan pendapat apapun padanya.

Herannya, beberapa minggu kemudian saya melihat foto beliau bersama si pemimpin. Tentu saya berpikir positif atas pertanyaan-pertanyaan menyangkut foto tersebut. Apakah undangan yang tidak mungkin beliau tolak atau memang beliau sudah berbalik arah dengan alasan-alasan demi kebaikan? Atau begitulah politik, berbalik arah bukan sesuatu yang harus dianggap tabu?

image
pixabay

Kita semua tahu, di akhir masa gubernur sebelumnya, mereka yang dianggap Teungku Chik atau bahasa kerennya ulama mendapatkan ole-ole dari Aubernur Aceh dr. Zaini Abdullah. Mungkin, kita bisa beranggapan, itu hanya bingkisan di penghujung beliau berkuasa atau itu hanyalah trik politik mencari dukungan. Dua kemungkinan ini gampang ditebak, tapi apa yang tersirat di hati sang gubernur, hanya ia dan Allah yang tahu. Saya sebagaimana Anda, hanya mampu melihat.

Sama juga hal dengan Bupati dan Wakil Pidie Jaya, jelang menitipkan jabatan karena maju dalam bursa calon bupati dan wakil bupati, di tengah momen maulid yang dikhidmati setiap tahunnya, baik Aiyub Abbas atau Said Mulyadi senantiasa menyampaikan pesan bahwa mereka akan maju lagi untuk episode kedua. Jika dirasa bahwa kepemimpinan mereka bermanfaat, maka pilihlah kembali. Namun, jika sebaliknya, itu adalah hak Anda sebagai masyarakat atau sebagai pemilik suara.

Lawan politik boleh berdebat bahwa itu kampanye. Akan tetapi, di akhir masa jabatan, kata-kata tersebut sangat layak dianggap sebagai kata-kata yang biasa diucapkan manakala seseorang hendak berpisah. "Meunyoe na umu panyang neumeulangkah bak lon meudua uroe. Neupeurame kamoe. Na kamoe sie aneuk lumo sineuk (Jika ada umur panjang, datanglah ke rumah kami untuk dua hari. Ada kami sembelih anak kerbau satu)".

Kata-kata ini sangat lazim digunakan di Aceh ketika mengundang seseorang ke acara atau pesta di rumah kita. Pertama berisi syukur ataupun doa dengan frasa 'jika diberikan umur panjang'. Kedua berisi sikap merendah atau tawadhu' dengan kata-kata 'na lon sie aneuk lumo sineuk'. Kata sineuk (satu) sengaja digantikan dengan saboh (satu) yang lazim digunakan untuk benda atau sesuatu yang tampak besar. Namun, demi merendah atau tawadhu', lembu pesta biasanya disembelih ayah kerbau, bukan anak kerbau, tapi malah dengan sengaja yang punya hajatan menyebut anak kerbau.

Politik merendah atau tawadhu' ini sangat berguna untuk memikat pemilih, terutama pemilih dewasa yang selama ini menganggap politik hanya lelucon. Politik yang kerap dibayangkan penuh dengan trik kotor, muka palsu, dan keajaiban-keajaiban lain. Sebab, saat pesta demokrasi, seorang kandidat tak ubahnya dengan peminta-minta. Mereka yang layak meminta-minta dan tidak layak, meskipun tidak dirumuskan dalam beberapa kriteria, kebanyakan masyarakat memiliki kriteria yang umum pada diri peminta-minta.

Terkait kisah di Inggris di atas, pada masyarakat modern, para peminta-minta yang kemudian berubah menjadi penguasa, mereka sadar benar bahwa tugas utama memimpin adalah melayani masyarakat. Suka atau tidak suka atas dirinya, dianggap atau tidak dianggap bahwa ia adalah pemimpin oleh masyarakatnya, ia tetap akan memimpin masyarakat sebagai kepala pelayan. Ini sebenarnya kunci pemimpin modern, pemimpin yang berpolitik tawadhu'.

image
pixabay

Demikian juga seorang Teungku Chik yang sebelumnya menolak sang umara, tapi kemudian malah hadir dalam satu acara yang dibuat si umara. Barangkali, sang ulama punya politik tawadhu'. Meskipun ia tidak memilihnya, tapi atas kuasa Allah maka sang ulama berpikir pragmatis-religis dialah pemimpin untuk periode ini.

Mungkin demikian. Mungkin juga bukan demikian. Yang jelas, saya gagal menganalisis apakah politik kasih ole-ole mobil untuk para Teungku Chik termasuk 'politik tawadhu' atau 'politik rayuan' agar si pemilik umat menggiring kaum muslimin seperti pemilik kambing menggiring pulang ternaknya menjelang mahgrib yang sedang keenakan meu-ret atau merumput.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
3 Comments