Dear Steemian Friends yang lagi beraktivitas
Hari ini saya ingin berbagi tulisan yang sudah lama dan berkarat. Tulisan kali ini bisa dibilang sedikit serius karena merupakan hasil riset kecil-kecilan ketika saya masih berdomisili di Jakarta. Semoga bermanfaat.
Manusia dilahirkan di dunia dengan tujuan agar terciptanya generasi baru (anak) sebagai penerus dari generasi sebelumnya (orang tua). Tetapi bagaimana jadinya bila tujuan itu disalahgunakan oleh orang tua yang menginginkan anak-anak mereka menjadi seseorang berdasarkan keinginan dan ambisi oleh orang tua tersebut? Hal ini banyak ditemukan di kota-kota besar, dimana anak tidak mendapatkan haknya untuk memutuskan apa yang menjadi kehendak mereka, segala sesuatunya sudah ditentukan oleh orang tua mereka sendiri.
Kasus ini dapat menyebabkan pembunuhan karakter secara tidak langsung terhadap perkembangan mental seorang anak, yang dapat mengakibatkan anak menjadi bandel dan membangkang. Bahkan tidak jarang anak menjadi depresi yang berujung pada penyimpangan perilaku. Setelah semuanya terjadi barulah orang tua sadar akan perbuatannya, dan menyesali perbuatan tersebut. Namun tidak sampai disitu, rasa sesal dan kesal yang di alami oleh orang tua masih tetap dibebankan kepada si anak dengan menyalahkan dan mengungkit-ungkit kekeliruan yang telah dibuat anak tersebut sampai anak merasa tidak ingin lagi tinggal bersama orang tua, dan pada titik akhir anak tadi akan melakukan percobaan bunuh diri.
Hal ini dapat dipicu oleh kurangnya rasa kasih sayang kepada anak dan terlalu membebankan anak untuk mengikuti keinginan orang tua. Memberikan cap/stigma yang buruk kepada anak atas kekeliruan yang pernah dilakukan anak tersebut. Padahal secara tidak sadar cap/stigma yang dilontarkan oleh orang tua tersebut akan terpendam di alam bawah sadar anak dan sewaktu-waktu akan mengingatkannya kembali kepada trauma yang sebenarnya ingin dilupakan.
Kejadian traumatik merupakan peristiwa kehidupan yang dapat mengenai setiap orang. Dalam setiap kejadian traumatik, selalu ada implikasi pada kesehatan jiwa dan anak lebih rentan terhadap kondisi traumatik tersebut, ada rasa cemas dan rasa bahwa dirinya tidak berguna pasca kekeliruan yang telah diperbuatnya. Anak merasa tidak mempunyai hak lagi untuk hidup karena apa yang akan dilakukannya pasti akan selalu salah dimata orang tua. Kompleksitas gangguan kecemasan ini dikenal sebagai gangguan stres pasca trauma (Posttraumatic Stress Disorder/ PTSD).
Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah pertama, mengalami kembali kejadian traumatik. Anak kerap teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
Kedua, penghindaran stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Gejala ini menjadikan anak menghindari aktivitas rutin dan percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, perasaan tidak berharga dan emosi yang dangkal serta kurangnya harapan akan masa depan yang menganggap bahwa segala hal tidak akan pernah bertambah baik.
Ketiga, gejala ketegangan. Gejala ini meliputi sulit tidur, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan. Yang menyebabkan anak tersebut selalu merasa dalam kondisi bahaya. Anak akan mengalami psikotraumatik seumur hidupnya apabila hal ini tidak cepat-cepat ditangani.
Anak-anak seperti ini kerap kali mengancam untuk melukai dirinya sendiri agar mendapat perhatian lebih dari orang yang dipercaya dan disayangnya. Hal seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Tangani anak tersebut dengan kasih sayang, bukan dengan cara mengungkit masa lalunya. Beri dia kepercayaan bahwa dia mampu untuk mengubah hidupnya jadi lebih baik, walaupun terkadang cara yang dilaluinya untuk berubah bukan cara yang semestinya. Dampingi Anak tersebut ketika dia ingin berkeluh kesah, bukan malah menghakiminya karena itu akan membuat mentalnya tambah hancur. Lalu beri anak tersebut pandangan bahwa apapun yang dialaminya tersebut adalah jalan untuk dia bisa bertahan hidup dengan kondisi yang mungkin akan jauh lebih parah lagi yang akan dihadapinya di masa yang akan datang, namun tetap berikan dukungan dan jaminan bahwa apapun yang terjadi tidak akan mengubah kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
Jakarta, 12 oktober 2011
Follow me
Steemit : @fararizky
Instagram : @tourpocket @fararizky
Facebook : Cut Farhani Rizky