Awas penumpang Gelap: In-memoriam Leo Batubara

image

Sahabat steemit yang berbahagia.

Kamis 29 Agustus 2018 pagi, suasana kota Bireuen masih terasa sejuk dan lenggang. Udara dingin dari mesin mendingin ruangan, air conditioner (AC) masih menyelimuti kamar “Radio Rimba Raya” di pendopo Kota Juang itu.

Di kamar tersebut, dulu pada tahun 1948 sempat disimpan perangkat “Radio Rimba Raya”, setelah dipergunakan oleh pejuang Indonesia dari pedalaman hutan belantara Gayo di Aceh untuk mematahkan propaganda Belanda yang menyatakan bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi.

Berkat siaran yang di riley sampai India dan sejumlah negara di Timur Tengah hingga ke Belanda ini, maka sejumlah negara dunia menyatakan Indonesia masih ada dan mematahkan propaganda Belanda bahwa Indonesia telah takluk dibawah negara Ratu Wilhelmina saat itu.

Dan Indonesiapun berdiri kokoh, yang pada 17 Agustus 2019 lalu baru saja merayakan hari jadi kemerdekaannya ke 73. Dan Aceh punya satu catatan senjara sendiri, pada 1948, Presiden Soekarno sempat memimpin Indonesia dari Pendopo Kota Juang ini selama 7 hari.

Selang 70 tahun dari situ, dari kamar “Radio Rimba Raya” itu, satu pesan masuk di WhatsApps (WA) saya dari Bang Dahlan TH (Direktur Aceh TV) yang mengabarkan seorang senior dan tokoh pers Indonesia Sabam Leo Batubara atau lebih akrap dengan panggilan Leo Batubara, meninggal dunia.

Saat itu saya baru sekitar 3 jam memejamkan mata sejak pukul 05.00 wib, setelah tiba dari Banda Aceh. Kedatangan saya ke “Kota Steemit”-nya Aceh ini, guna menghadiri Konferensi ke V PWI Bireun.

Dalam suasana pesta demokrasi di tubuh PWI Bireuen itu juga, kabar duka tersebut terdengar. Dan hal itu membuat kenangan saya bersama Pak Leo – begitu kami akrab menyapa beliau – terbuka kembali.

Saat itu, tepat 7 tahun silam, pada 2 Agustus 2012, Pak Leo yang masih menjabat salah satu anggota Dewan Pers berkunjung ke PWI Aceh, guna mendapatkan informasi sekaligus melakukan verifikasi terhadap media-media yang ada di Aceh.

Bersama Ketua PWI Aceh Tarmilin Usman – yang juga sempat mendaftar diri sebagai keluarga besar steemit melalui @rismanrahman, tapi tak tau apa sudah aktif atau tidak akun beliau— dan Bang Azhari (bendahara PWI), disela-sela verifikasi tersebut, kami berdikusi tentang banyak hal tentang pers.
image

“Awas, jangan sampai ada penumpang gelap di tubuh pers kita,” itulah satu kalimat yang sangat membekas dalam ingatan, yang dilotarkan oleh Pak Leo.

Penumpang gelap yang di maksud Pak Leo, jangan sampai pers ini disusupi oleh pihak-pihak tertentu yang hanya menjadikan pers sebagai alat untuk bisa melancarkan aksinya dari profesi penumpang gelap itu sendiri.

Sebagai contoh, pak Leo mengatakan, misalnya ada kontraktor yang memiliki kartu pers, ia bisa menggunakan kartu persnya itu untuk mendapatkan proyek dari pihak lain dengan embel-embel pers. Begitu juga dengan profesi-profesi lainnya, dengan menjadi pers sebagai alat untuk ia meraih keuntungan, sedangkan ia sendiri tidak menjalankan tugas jurnalistiknya.

Disamping “Penumpang Gelap”, Pak Leo juga mengingatkan bahaya wartawan dan media abal-abal. Istilah Media dan wartawan abal-abal ini, merupakan istilah yang diperkenalkan Pak Leo terhadap wartawan dan Media palsu.

Abal-abal sendri merupakan istilah dari bahasa Batak atau Medan, untuk menggambarkan barang palsu (KW) atau tidak bermutu. Jadi pers dan wartawan abal-abal ini tidaklah pantas hadir di Indonesia, karena fungsinya jauh dari fungsi pers itu sendiri sebagai penyampai informasi, pendidik, menghibur dan Kontrol Sosial.

Tentu diskusi hangat itu terus saya ingat dan akan tetap menjadi memori terlekat dalam benak saya dari seorang Leo Batubara. Selama jalan Pak Leo.. semoga abadi di surga. RIP

Gp Baro, 31 Agustus 2019
@catataniranda

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center