Mendalami Krueng Aceh: Semacam Hobi Baru

image

Banda Aceh adalah kota air. Berabad-abad silam, ketika Kerajaan Aceh Darussalam masih menjadi satu negara terkuat di Asia Tenggara, Banda Aceh adalah satu bandar yang menggunakan sungai dan kanal sebagai jalur transportasi, selain jalur daratnya.


Deretan kalimat di atas adalah apa yang pernah disebut oleh Dedy Satria alias Dedy Besi suatu kali waktu. Dedy Satria merupakan arkeolog yang banyak mendalami sejarah Aceh berdasarkan penelitian-penelitiannya terhadap benda atau situs-situs bersejarah. Lamuri adalah salah satu situs yang sampai sekarang masih ditelitinya, dan ini sudah berlangsung bertahun-tahun.

Sejak mendengar pernyataan Dedy, aku seperti punya semacam hobi berjalan-jalan di pinggir Krueng Aceh seorang diri. Krueng adalah kata bahasa Aceh yang berarti sungai. Tidak hanya itu, hingga sekarang aku masih berupaya mencari literatur dan data-data yang bisa menjelaskan (membuktikan) apa yang disebutkan si arkeolog.

Kota yang cantik adalah kota yang tahu benar memanfaatkan sungai yang ada, dan mahfum banyak bagaimana mengelola jalur-jalur air atau kanal yang mengular di sekujur tubuhnya.

Setidaknya itulah yang kupahami dari perkataan Dedy Satria ketika menjelaskan betapa pentingnya sungai dan kanal bagi sebuah kota. Dan itu sudah pernah dilakukan oleh endatu-endatu Aceh berabad silam.

Itu sebabnya, ketika duduk ngopi di kedai kopi Cek Yuke yang letaknya tepat di pinggir Krueng Aceh--tepat pula seberang Kodam-- aku kerap membayangkan, sejatinya Banda Aceh adalah setara dengan London yang punya sungai Thames. Bisa menyandingkan diri dengan Kota Paris yang dibelah sungai Seine. Boleh jadi juga Banda Aceh bisa bertukar cerita tentang keindahan kotanya dengan Kota Shanghai yang dilintasi sungai Huangpau di tengahnya.

image

image

Sayangnya, yang kubayangkan itu barangkali hanya pernah berlaku pada zaman kerajaan saja, dan mustahil terjadi lagi pada masa sekarang. Krueng Aceh, khususnya di daerah pusat kota, sepertinya, hanya boleh dikuasai tentara belaka. Kuta Alam dan Peuniti dua daerah pinggir sungai telah diduduki asrama tentara dan polisi militer. Begitu pun kawasan Peunayong; mulai jembatan Pante Pirak hingga belakang Hotel Medan telah menjadi markas Kodam Iskandar Muda.

Di daerah-daerah yang sangat strategis itu, barangkali, jangankan orang sipil atau turis datang untuk sekadar menikmati suasana pinggir sungai. Kambing pun enggan mendekat saat kebelet makan meski ada rumput hijau menghampar di depan sana.

image

image

Keindahan pinggir sungai yang bersisa dan dapat dinikmati khalayak ramai hanyalah di lintasan jalan Cut Meutia saja. Itu pun, dengan harap-harap cemas karena bisa saja Polresta yang berkantor di samping gedung Bank Indonesia mengkapling tanah pinggir sungai, yang entah untuk keperluan apa.[]

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center