Steemians, in this Sunday afternoon my family visit my parents' hometown at Indrapuri to attend my relatives' wedding reception.
Sobat Steemians, Minggu siang tadi keluarga saya mengunjungi kampung halaman orang tua saya di Indrapuri. Ada sebuah resepsi pernikahan atau walimah kerabat kami di sana.
In the last few weeks, we harvest rambutan fruit from our family's garden. The garden belongs to my aunt, her name is Mrs. Hamdiah. Usually, we called her as Cek Neh (Che' Neh).
Dalam beberapa minggu terakhir, kami memanen rambutan dari kebun keluarga kami. Kebun itu milik adik Bapak saya, namanya Ibu Hamdiah. Kami biasa memanggil beliau Cek Neh.
The quality of rambutan fruits from Indrapuri, Aceh Besar is supposedly as good as the rambutan Binjai. Very sweet. The fruit is crusty, not sticky to the skin of the fruit.
Kualitas kelezatan buah rambutan dari Indrapuri, Aceh Besar ini konon tidak kalah dengan rambutan Binjai. Manis-manis sekali. Buahnya lekang, tidak lengket pada kulitnya.
In the yard of Check Neh also planted rambutan that it tasted sour sweet. I guessed this type of rambutan is Rambutan Luna. But it is not Luna Maya, a popular actress, lol.
Di halaman rumah Cek Neh juga ditanami rambutan yang rasanya manis bercampur asam. Kalau tak salah, rambutan ini berjenis Rambutan Luna. Bukan artis Luna Maya, ya. Hehe.
Since childhood, we often return to Indrapuri. The distance of our house in Banda Aceh to Indrapuri is about 27 km. Close enough to go my parents' hometown every weekend and once in a while stay too.
Sejak kecil, kami sering pulang ke Indrapuri. Jarak rumah kami di Banda Aceh ke Indrapuri sekitar 27 km. Cukup dekat untuk bisa pulang ke Indrapuri setiap akhir pekan dan sesekali bisa menginap juga.
Usually Cek Neh carry rambutan dan langsat fruits by hiring labi-labi, a kind of public transport in another area known as Sudaco. That is if we are no one had the opportunity to return home.
Biasanya Cek Neh membawa buah rambutan dan langsat dengan menyewa labi-labi, sejenis angkutan umum yang di daerah lain dikenal sebagai Sudaco. Itu jika kami sedang tidak ada yang berkesempatan pulang kampung.
Cek Neh was happy to share the fortune she earned. To him this is a happiness.
Cek Neh merasa senang bisa berbagi rezeki yang diperolehnya. Baginya hal ini merupakan sebuah kebahagiaan.
This is the evidence of hospitality shown by the Acehnese; a sense of social solidarity that still continues today.
Begitulah keramahtamahan yang ditunjukkan oleh orang Aceh; rasa kesetiakawanan sosial yang masih diteruskan hingga kini.
This hospitality is still visible from deliberation and mutual cooperation in community affairs. The same intimacy is also shown in the commemoration of certain religious holidays and custom ceremonies.
Keramahtamahan ini masih terlihat dari musyawarah dan gotong royong dalam urusan masyarakat. Keakraban yang sama juga ditunjukkan dalam peringatan hari-hari besar keagamaan serta upacara adat tertentu.
Aceh people love to welcome guests. There is a hadih maja or Aceh proverb mentioning "peumulia jamee adat geutanyoe" meaning "to glorify the guests is our customs".
Orang Aceh gemar memuliakan tamu. Ada sebuah hadih maja atau peribahasa Aceh yang menyebutkan "peumulia jamee adat geutanyoe" yang berarti "memuliakan tamu adalah adat istiadat kita".
According to parents words, if there is a family quarrel or dispute in a village, residents will hide it from the guest. They will "reconcile" for a moment until the guest returns to their place of origin.
Konon, jika sedang terjadi pertengkaran keluarga atau pertikaian di suatu desa, warga akan sama-sama menyembunyikannya dari sang tamu. Mereka akan "berdamai" sejenak hingga sang tamu kembali ke tempat asalnya.
I don't know how long this culture will survive. Today, modernization make people spend a lot of time for access information and maybe even dozens of hours per day.
Entah sampai kapan budaya dan kearifan lokal ini akan terus bertahan. Saat ini modernisasi telah menyita waktu masyarakat untuk mengakses informasi yang bahkan mencapai belasan jam per hari.
The time that we provide for face to face with our social environment is getting more less.
Semakin berkurang saja kesempatan kita untuk bertatap muka dengan lingkungan sosial kita.
But I am still optimistic, there will always be a way for continuing the culture and local wisdom.
Namun saya tetap optimis, selalu akan ada jalan bagi budaya dan kearifan lokal untuk tetap diteruskan.
The Acehnese in the past were clever and civilized. The kingdom of Aceh is one of the five great Islamic kingdoms in the world before the Middle Ages.
Orang Aceh di masa lalu pintar dan berperadaban. Kerajaan Aceh adalah salah satu dari lima kerajaan besar Islam di dunia menjelang abad pertengahan.
Surely this is not for pride, but as an encouragement that we continue to learn and work well. Hopefully, one day the Aceh region can come forward and be respected.
Tentunya ini bukan untuk berbangga diri, namun sebagai penyemangat agar kita terus belajar dan bekerja dengan baik. Semoga, suatu hari nanti daerah Aceh bisa kembali maju dan disegani.
So my writing this time is Steemians. See you again. Stay healthy, keep the spirit, so we can continue to walk and eat with Wisata Kuliner (haha, little jokes from me, my friends).
Demikian tulisan saya kali ini Steemians. Sampai berjumpa lagi ya. Tetap sehat, tetap semangat, supaya kita bisa terus jalan-jalan dan makan-makan bersama wisata kuliner (haha, lawak sedikit ya sayanya, rakan).
