Marginalized Facilities and Art Workers (Bilingual)

For a long time, the attention of the Indonesian Government, including Aceh, towards art and sports was very different. Artists often voice protests because they are discriminated against. The government poured so much funds into sports, and some even burdened the regional budget. Budget accountability is problematic. In Aceh, officials who were arrested for corruption of sports funds, especially football, have happened several times.

Not only art workers who feel treated unfairly, even fellow athletes and administrators feel the same. For example, a basketball coach who has made the name of Aceh on the national scene, once expressed disappointment because the government only poured such a large amount of funds, but the achievements of Acehnese football were just that. The coach's resentment was conveyed when an Acehnese footballer was seen fighting on a green field a few years ago.

The government's alignments to the world of sports and a little ignoring the world of art can also be seen from existing facilities. Fields and sports facilities with various branches can be found anywhere. In Aceh, soccer fields can be found in almost every village, at least in one sub-district there are several standard-sized soccer fields. Likewise with volleyball, basketball, badminton and other sports facilities. But it's very difficult to find a youth arena for art activities. Art buildings are almost only in one or two cities.

It was sad to see the younger generation practicing vocal or dance or theater on the football field, in the park, and in other public spaces. At the same time, the stadium was empty because it was not used for training. Many facilities are redundant.

It's not wise to compare sports with art because each field has its own advantages. The young generation wants to express themselves in both fields, the government must provide facilities for both and must pay attention to the development of sports and art in a balanced manner.

If there are athletes who will compete outside the area with a fragrant name, the government is willing to provide funds. Art should also be like that. A poet who wants to take part in the Gunung Bintan International Literature Festival in Riau, has to cancel because there are no travel costs (for other expenses the committee has already paid). In fact, the poet brought the name Aceh in the international event, and there was no contribution from the Aceh government in that moment.

Science, religion, art, and sports have benefits in different aspects. Like what we often read: with life science becoming easier, with life religion becoming more focused, with the art of life becoming more beautiful. But without a healthy body, we cannot achieve maximum results in all three fields.

*****

Image source: 1, 2, 3

*INDONESIA*

Fasilitas dan Pekerja Seni yang Terpinggirkan

Sejak dulu, perhatian Pemerintah Indonesia termasuk Aceh terhadap seni dan olahraga berbeda jauh. Para seniman sering menyuarakan protes karena diperlakukan diskriminatif. Pemerintah menggelontorkan begitu banyak dana untuk olahraga, bahkan ada yang sampai membebani APBD. Pertanggungjawaban anggaran bermasalah. Di Aceh, pejabat yang ditangkap karena kasus korupsi dana olahraga, terutama sepakbola, sudah beberapa kali terjadi.

Bukan hanya pekerja seni yang merasa diperlakukan tidak adil, bahkan sesama atlet dan pengurus olahraga pun merasa sama. Misalnya, seorang pelatih basket yang sudah mengharumkan nama Aceh di kancah nasional, pernah mengungkapkan kekecewaannya karena pemerintah hanya menggelontorkan dana yang sedemikian besar, tetapi prestasi sepakbola Aceh hanya begitu-begitu saja. Kekesalan pelatih itu disampaikan ketika pesepakbola asal Aceh terlihat perkelahian di lapangan hijau, beberapa tahun lalu.

Keberpihakan pemerintah kepada dunia olahraga dan sedikit mengabaikan dunia seni juga terlihat dari fasilitas yang ada. Lapangan dan sarana olahraga dengan berbagai cabang bisa ditemukan di mana saja. Di Aceh, lapangan bola hampir bisa ditemukan di setiap desa, paling tidak di satu kecamatan terdapat beberapa lapangan sepakbola berukuran standar. Demikian juga dengan lapangan bola volley, basket, bulutangkis,  dan sarana olahraga lainnya. Tapi sangat sulit menemukan gelanggang remaja untuk kegiatan seni. Gedung seni hampir hanya terdapat di satu dua kota saja.

Cukup miris menyaksikan generasi muda berlatih vokal atau tari atau teater di lapangan sepakbola, di taman, dan di ruang publik lainnya. Pada saat yang sama, stadion kosong karena tidak dipakai untuk berlatih. Banyak fasilitas yang mubazir.

Memang tidak bijak membandingkan olahraga dengan seni karena masing-masing bidang memiliki kelebihan tersendiri. Generasi muda ingin mengekspresikan diri di kedua bidang, pemerintah harus menyediakan fasilitas bagi keduanya dan harus memperhatikan pengembangan olahraga dan seni secara berimbang.

Kalau ada atlet yang akan bertanding ke luar daerah dengan membawa nama harum daerah, pemerintah bersedia menyedikan dana. Harusnya untuk seni juga demikian. Seorang penyair yang ingin mengikuti Festival Sastra Internasional Gunung Bintan di Riau, harus membatalkan karena tidak ada biaya perjalanan (untuk biaya lain sudah ditanggung panitia). Padahal, penyair tersebut membawa nama Aceh dalam even internasional tersebut, dan tidak ada kontribusi pemerintah Aceh sedikit pun dalam momen itu.

Ilmu, agama, seni, dan olahraga memiliki manfaat dalam aspek yang berbeda. Seperti kutipan yang sering kita baca: dengan ilmu hidup menjadi lebih mudah, dengan agama hidup menjadi lebih terarah, dengan seni hidup menjadi lebih indah. Tapi tanpa tubuh yang sehat, kita tidak bisa meraih hasil maksimal di ketiga bidang tersebut.

*****

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now