:: Kata-Kata Berselimut - Cerpen ::

Tanpa penjelasan Al-Qur’an-pun, aku sangat yakin bahwa surga itu benar-benar berada di telapak kaki Ibu. Oleh karena itu, aku selalu ingat apa yang dikatakannya pada siapapun, yang keluar dari mulut wanita nomor satu dalam hidupku. Mulai dari hal-hal kecil, misalnya tentang hal yang menjadi tradisi lama keluarga kami, yaitu larangan keluar rumah ketika azan magrib berkumandang, -kecuali kemasjid-, duduk di pintu, makan dengan suara berisik, makan sambil kentut, atau makan beling campur kecap. Untuk yang terakhir itu hampir pernah kusempurnakan. Ketika itu baru pulang dari pertunjukan kuda lumping.
Keluargaku adalah keluarga Jawa. Wanita yang melahirkanku lahir di tanah Jawa. Ketika masih kecil beliau hijrah bersama ibunya ke ujung barat pulau Sumatera. Aku selalu ingin tahu tentang wanita pendiam itu. Selalu kutanyakan hal itu berulang-ulang dan dia selalu menceritakannya berulang-ulang juga tanpa lewat satu kesanpun. Sedangkan suaminya, Ayahku, juga seorang Jawa yang kutahu sejak lahir ia sudah di tanah serambi mekah.

Dibanding ayah yang selalu menjunjung tinggi adat-istiadat, namun tidak mencoba untuk diajarkan padaku, Ibuku yang tidak terlalu mengetahui justeru lebih memperhatikan hal-hal kecil yang kadang terlihat sepele bahkan aneh.

Dulu, ketika masa kecil, menurutku apa yang dikatakan wanita beranak empat itu adalah hal-hal mitos yang berbau mistis. Ia pernah mengatakan; Jangan sekali-kali kencing di bawah pohon, nanti ‘anu’-mu bisa bengkak sebesar labu. Setelah itu aku tidak pernah lagi ngucur di sembarang tempat. Atau yang lain lagi; Kalau makan mesti dihabiskan kalau tidak nasinya bersedih, ini dengar, menangiskan? Mungkin karena itu sekarang aku lebih sering berbincang dengan kucing dibanding manusia.

Pernah suatu ketika aku pulang di saat azan magrib tengah berkumandang. Ibuku dengan nada kesalnya setengah berteriak.
“Sebelum magrib harus sudah di rumah, jangan keluyuran, iso digondol kelong wewe !” sambil menunjuk-nunjukku dengan centong nasinya. Bukan kelong wewe yang kutakutkan, melainkan centong nasi yang berubah fungsi menjadi bumerang.

Bagaimanapun caranya, itulah sebuah nasihat yang diberikan pada Ibu. Aku sadar itulah sebuah kasih sayang yang ditunjukan untuk anaknya namun lewat cara yang unik. Hal itu yang membuatku penasaran dan kadang-kadang berimajinasi. Meski sekarang telah menjadi lelucon bagi masa kecil. Bagaimana mungkin alat kelamin bisa sebesar labu kalau pipis di pohon? Bagaimana sebuah butir nasi dapat menangis jika tidak dihabiskan, dan bagimana ada mahluk yang namanya kelong wewe. Itu semua adalah kamuflase kasih sayang yang menakjubkan dan tak sedikitpun kulupakan kata-kata yang telah menjadi selimut selama hidupku. Selimut kasih sayang.

Ibu juga mengajarkan sebuah filsafat yang dalam hal ini aku sangat tertarik. Beliau mengajarkanku tentang bahasa nyanyian burung-burung prenjak yang sering hinggap di halaman rumah. Katanya, prenjak itu adalah burung pembawa berita, kau bisa dengar dari suaranya, gerak-geriknya, caranya menatap kita saat mereka sedang bercicit-cicit ria. Mereka membawa kabar berita. Kadang keburukan, kadang kebaikan. Jika mereka berkelompok mencicit-cicit di sebelah kanan rumah, maka akan ada tamu yang memberi kabar baik. Jika di sebelah kiri rumah maka ada tamu pemberi kabar tak terduga yang akan datang. Mereka adalah perantara Tuhan yang memberi berita lewat alam dan suara.

Selain berbahasa dengan hewan dan alam, Ibu juga mengajarkan arti sebuah mimpi. Dibanding semua hal yang pernah ia ceritakan, mimpi adalah hal yang paling menarik. “Mimpi adalah keinginan yang tak tercapai di dunia, kau akan teringat, terbayang, berkhayal, berhalusinasi dan menjadi bunga tidur hingga mimpi menjadi hal yang nyata. Mimpi itu memiliki arti yang besar dalam kehidupan nyata. Hargai mimpimu sekecil apapun itu”. Bak peri mimpi, ia mengartikan banyak hal yang sering diimpikannya. Aku banyak bertanya tentang itu setiap hari. Bahkan setiap malam aku selalu berdoa untuk dapat mimpi yang baik dalam tidur. Sampai benar-benar terobsesi dengan semua hal yang berbau mimpi. Dan sang peri mimpi menganggap aku sudah overdosis imajinasi dalam waktu itu. Sehingga ia datang sebelum aku masuk ke alam lain dan mengatakan hal tak kuduga sebelumnya. Bermimpilah pada saat tidur, dan wujudkanlah saat kau bangun. Esoknya, kuikatkan sarung di leherku dengan membiarkan bagian sarung yang lain terurai di belakang punggung, seperti sayap. Aku melompat dari kursi, tempat tidur, dan pohon, sebab semalam aku bermimpi menjadi Superman.

Banyak hal yang tidak bisa kujelaskan tentang wanita yang tidak tahu arti I love U. Beliau hanya lulusan sekolah rakyat di Jawa, jadi hanya bisa membaca huruf latin dan Arab-Melayu serta dasar-dasar berhitung saja. Itulah kenapa aku percaya dan sangat yakin bahwa surga memang benar-benar berada di telapak kaki ibuku. Hal kecil yang kurasa surga sedikit jauh adalah aku tidak bisa menikmati nasi goreng terenak di dunia menjadi sarapan pagiku. Aku tidak mendengar rapalan ceramah setiap membangunkanku. Aku tidak lagi merasakan bagaimana sensasi cubitan yang sering mendarat di pahaku dan sakitnya meluncur ke seluruh tubuhku, dan tak terbayang nikmatnya makan disuapin olehnya. Harumnya, harum khas seorang tukang kebun bercampur harum masakan, aku tak bisa lupa oleh harumnya. Dan yang paling membuat surga kecil itu terasa jauh adalah aku tidak bisa melihat senyumnya. Senyum yang menjadi kunci surga.

Dan hal-hal besar yang membuatku terasa lebih jauh dari surga, aku tak mampu memberi perlindungan untuknya. Ia pergi jauh, meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan kenangan, meninggalkan suami, anak-anaknya, untuk demi satu anak. Seorang anak yang datang ke alam mimpinya dan mengisyaratkan bahwa mimpinya memberi tanda tentang dirinya di masa tua. Memiliki seorang anak yang sesuai dengan harapannya. Memiliki menantu seperti yang ia dambakan selama ini. Setelah kegagalan yang ia alami dari anak-anak sebelumnya.

Di atas kursi yang tiap hari didudukinya, dengan kebaya kesayangan yang dipakai, dan dengan wajah lebih keriput dari terakhir aku berjumpa, wanita pemimpi itu berkisah; Bahwa diriku akan mendapati jalan yang baik. Dalam mimpinya ia mengajarkanku naik sepeda dengan cara memegangi sadel. Dan hanya hitungan detik saja aku sudah bisa mengendalikan sepedaku sendiri. Dengan raut sederhana beliau berkata; “Kau tahu itu artinya apa?” Aku menggelengkan kepala. Tak lama ia menjelaskan.

“Kau akan tahu apa tujuanmu…”
Seharusnya ia sudah tahu dan aku tak lagi mahfum tentang bunga tidur itu. Sudah berulang kali sejak aku keluar dari SMP dengan berbagai prestasi. Demi mimpinya itu, ibu melakukan hal yang berbeda untukku dibanding anak-anaknya yang lain. Baginya, aku adalah telur emas yang akan menetas dan nantinya akan menjadi anak ayam berbulu emas pula. Namun bagiku itu adalah beban. Beban yang tak tertahan. Apa bedanya aku dengan saudaraku yang lain? Hanya saja aku belajar dari kata-katanya yang selama ini menjadi selimutku. Hal yang paling kusakralkan, malah menjadi bumerang untukku.

Tapi sejak kepergian Ayah, beliau lebih pendiam dari sebelumnya. Dulu ibarat es krim yang dingin, manis, lembut dan menyegarkan. Kini ia berubah menjadi balok es yang berdiri seperti tembok. Mungkin lantaran lelahnya mengurusi Ayah yang sudah lama sakit, dan akhirnya pergi tanpa meninggalkan apapun. Meski segala ucapannya telah kurekam, namun aku masih tak bisa mengerti apa yang ia inginkan terhadapku.

Suatu pagi, setelah meletakan tehnya di atas meja, ia kembali menuntut hal yang tidak kuduga.
“Sudah, tunggu apa lagi, cepatlah kau cari pendampingmu, lekas punya anak. Aku sudah ingin menimang cucu.” Aku berpaling sebentar, lalu kembali menyetrika kemeja milikku. Ibu kembali melanjutkan; “Biar ada yang mengurusimu, menyiapkan pakaian, menyiapkan sarapan….”

“Menikahi seorang wanita ‘kan bukan hanya untuk memasak atau mencuci pakaian atau menyetrika, Bu. Lagi pula aku sudah terbiasa dengan pekerjaan remeh-temeh seperti ini” bantahku sambil meneruskan pekerjaanku. “Dan aku lebih suka nasi goreng buatan Ibu dari pada buatan orang lain. Ibu meminta cucu? bukankah sudah berjejer dari Kakak dan Abang?”
Ibu berdiri. Wajah datarnya berubah, “Kau ini lelaki sudah hampir kepala tiga dan masih sendiri... “ lalu dilanjutkan dengan nama-nama temanku yang sudah beranak. Dari temanku Si Maryam yang punya anak kembar dua dan tentang Si Dammar yang hendak kawin lagi.

“Bukankah kau tahu, Kakak dan Abangmu di hari besar seperti ini saja tak berniat mengunjungiku.” Ibu berjalan ke pintu depan. Melihat sekeliling taman rumah. Aku cepat-cepat menghampirinya, memegang erat punggungnya yang semangkin ringkih. Seperti sebuah hubungan batin. Alam serasa sepi. Tidak ada lagi dedaunan berterbangan yang dapatku tangkap seperti dulu, tak ada lagi prenjak hutan yang mampir bergoyang-goyang pinggul sambil bercicit-cicit ria, dan tidak ada lagi angin sepoi yang mendawaikan nyanyian peri-peri sungai.

Aku sangat menyayanginya. Untuk itu, demi mewujudkan mimpinya aku berusaha menjadi apa yang dia inginkan. Tapi itu juga yang sangat tidak aku harapkan. Pergi jauh dari tanah kelahiranku, menjejaki tanah kelahirannya. Tapi entah mengapa ia tidak menakutkan suatu hal. Mungkin saja aku akan menjadi durhaka atau melenceng dari rencana. Apapun yang kulakukan tidak bisa beliau lihat. Entah kenapa ia sangat percaya padaku hanya karena mimpinya yang kini, semangkin bertambah umurku, hanyalah mimpi di siang bolong yang tidak mengandung arti.

Aku yang telah banyak menelan teori-teori pendidikan semangkin meragukan kalau alam dan hewan berbahasa. Bagiku mereka hanyalah sebuah hiasan kehidupan manusia. Mereka hanya hidup untuk makan. Semua itu, ucapan-ucapan itu kini berubah menjadi dedaunan rimbun yang berguguran seiring datangnya musim gugur. Akan menjadi daun kering dan busuk bersama tanah.

Meski begitu aku tidak serta merta mengatakan hal itu kepadanya. Sering kali lewat telpon aku terus mengiyakan apa yang ia katakan tentang kampung yang sudah lama tak kuinjak. Tentang mimpi-mimpi yang semakin hari semakin aneh dan tidak penting. Tentang firasat-firasat di awang-awang. Sampai pada titik kebosananku. Aku tidak lagi menghiraukan apa yang dikatakannya tentang hal-hal itu kecuali sebuah nasihat-nasihat ibu kepada anaknya. Menghubunginya untuk hal seperlunya saja. Namun seperti sebuah firasat ia juga tak lagi menghubungiku dan begitu sebaliknya yang aku lakukan padanya. Dan itu bukan sesuatu yang penting bagiku untuk sebuah komunikasi. Yang utama adalah kesehatanya.

Namun tidak ketika setelah burung-burung tetangga sebelah berkicau-kicau bak prenjak kampung. Tidak pula setelah sebuah foto jatuh dengan tiba-tiba dan pecah berantakan. Tidak dengan pecahan kaca yang melukai tanganku dan darah yang mengucur seperti air mata. Dan tidak setelah mimpiku melihat seorang wanita yang sangat kukenal tidak lagi diselimuti oleh sebuah selimut indah melainkan diselimuti dedaunan kering. Aku melihat kenyamanan di wajahnya. Dan tanpa kusadar dalam mimpi itu, selimut yang selama ini menjadi selimutnya terpasang di tubuhku tanpa bisa kulepaskan. Dan ketakutanku adalah ketika setelah melihat gumpalan awan hitam yang berputar-putar di atasku. Sampai pada akhirnya aku menyadari itu adalah sebuah firasat yang selama ini telah kulupakan. Yang dulu telah menjadi kata-kata bak selimut. Dan pada akhirnya, segalanya kuketahui. Ibuku tertidur dan tidak akan bangun untuk selamanya. Ingin sekali rasanya tidur bersamanya. Bersama selimut kasih sayang yang telah ia berikan selama ini padaku.

By: my friend #Iskandar

" Jika sobat menyukai postingan ini silahkan di upvote, resteem dan ikuti @agus-maulana untuk bisa melihat postingan saya selanjutnya di feed sobat dan pastinya bakalan ada postingan menarik lainnya dari saya "
Terimakasih

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now