Batal Pajoh Mangat Bersebab Kantong Tengah Melarat

img_0.8859765988436404.jpg

PETANG TADI, aku pulang dari Peunayong melalui Jalan Taman Siswa, lalu berbelok ke Jalan Pang Lateh untuk kemudian berbaur dengan sumpeknya pangkal Jalan Rama Setia, terutama tepat di simpang Kedai Kopi Sanusi. Dari sini aku menyusuri Lampaseh Kota, lalu Lampaseh Aceh dengan maksud akan memasuki Desa Lambung melalui seruas jalan yang berada di perbatasan Desa Deah Teungoh dengan Deah Glumpang.

Setiba di Deah Teungoh aku berhenti oleh karena melihat tumpukan ikan segar di lapak orang penjual ikan. Ada beberapa jenis ikan yang terjaja di situ, dan yang menarik perhatianku adalah belasan ekor ikan kerapu dengan ukuran yang beragam. Aku membayangkan makan malam dengan ikan kerapu bakar atau kerapu asam pedas tentulah menu yang sangat menggugah selera. Bisa kupastikan, apalagi yang meramu resep dan memasaknya nanti jemari tangan istriku yang tirus itu, hasil masakannya sedap bukan kepalang.

"Berapa, Bang?" Tanyaku pada penjual ikan sambil mengarahkan jari telunjuk pada setumpuk kerapu kerang.

"140 ribu sekilo," jawab penjual singkat sembari mengumbar senyum. "Kerapu merah juga sama," timpalnya lagi merespon pandanganku yang kini mengarah pada seekor kerapu merah seukuran betis orang dewasa yang baru sembuh dari penyakit tipes.

img_0.03830634468455013.jpg

img_0.8201420305141212.jpg

Aku tersenyum kecut mendengar harga ikan tersebut. Kekecutanku bukanlah karena mahalnya harga. Yang kutahu harga sekilogram kerapu memang segitu adanya. Lazim harga standarnya di kisaran 100-an ribu hingga 150-an ribu rupiah. Apalagi ikan yang dijual di sini terkenal segar-segar karena diambil langsung dari nelayan-nelayan yang baru pulang melaut dan biasanya ikan-ikan ini akan habis terjual tanpa sempat disimpan dalam fiber penuh es balok.

Begitulah. Aku kecut dengan harga ikan ini bukan karena kemahalan, melainkan oleh sebab isi kantongku yang melarat, nyaris semelarat-laratnya kata melarat. Uang yang kukantongi hanya 50 ribu rupiah saja. Sadar akan ketidakmampuanku membeli ikan kerapu meski berkali-kali minta diskon, aku beralih ke setumpuk ikan lain.

Dalam peralihan perhatian dari ikan kerapu ke tumpukan ikan lain, aku juga tersadar bahwa apa yang kubayangkan tadi sirna tak berbekas. Bayangan pajoh mangat (makan enak) pupus sudah. Betapa tidak enaknya miskin begini, kataku dalam hati. Dan aku berusaha membesarkan hati dengan beralih pada setumpiluk ikan tuwih alias kerisi atawa pink perch.

img_0.24272289055485002.jpg

img_0.6113308343564159.jpg

"Kalau itu murah saja, bang. 50 ribu rupiah per kilo," kata si penjual ikan meski aku tak bertanya sama sekali. Sekali lagi ia tersenyum dengan ramah. Tapi selagi miskin begini, keramahannya malah terkesan macam-macam di pikiran. Sampai di sini aku ingat petuah orang bijak, orang miskin lebih gampang mengidap penyakit hati dan yang paling lazim di antaranya adalah syak wasangka.

"Saya ambil setengah kilo saja, bang," kataku padanya untuk tumpukan ikan kerisi yang dibilangnya murah tadi.

Dengan sigap si penjual mengambil beberapa ikan kerisi yang tampak sama segarnya dengan kerapu lalu menimbangnya di timbangan. Untuk setengah kilogram, lebih kurang berhimpun 9 ekor ikan kerisi seukuran dua atau tiga jari dihimpit jadi satu dalam wadah timbangan. Kukira, dengan jumlah ikan segitu cukuplah memenuhi menu makan malam dan juga jadi lauk sarapan pagi keesokannya. Sebagian dimasak asam pedas, selebihnya digoreng sambal.

Setelah bayar, sebelum penjual memberikan kembalian, aku memintanya untuk membersihkan ikan yang kubeli. Seperti halnya di beberapa lapak penjual ikan lainnya, juru pesiang ikan langsung siap sedia untuk permintaanku ini. Dengan cekatan ia melepas insang, memotong sirip, dan sisik-sisik ikan kerisi pesananku itu dibersihkannya dengan sikat kawat kecil.

Aku menunggui prosesi pesiang ikan kerisiku dengan mengingat-ingat kembali petuah orang bijak seperti kusebutkan tadi. Aku insaf. Miskin dalam keadaan bersyukur tentu lebih bikin gembira hati ketimbang memerosokkan diri dalam lubang gelap buruk sangka. Lantas aku mencoba bercakap-cakap dengan penjual ikan yang terus tersenyum tadi, perihal yang membuatnya seperti menemukan tempat pelampiasan keramahtamahan yang ia punya. Ia pun bercerita tentang berbagai tipikal para pembeli ikan yang pernah dihadapinya.

img_0.13311192846990605.jpg

img_0.42230171956611395.jpg

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
3 Comments