Hiu merupakan ikan dilindungi secara undang-undang. Meski demikian perburua terhadap hiu masih saja marak terjadi, terutama dikarenakan oleh harga siripnya yang sangat mahal untuk diolah jadi kuliner dan bahan pengobatan.
Tapi ironisnya perburuan terhadap hiu yang dilakukan oleh nelayan di Indonesia tidak tebang pilih, sampai anak-anak hiu pun ikut ditangkap. Ini menyebabkan penyebaran populasi hiu di lautan menjadi terancam, karena hiu merupakan jenis ikan yang lamban mengalami reproduksi, meski berumur panjang.
Bayi-bayi hiu yang diperdagangkan di Pelabuhan Lampulo
Seperti di Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Kota Banda Aceh, provinsi Aceh, setiap hari ratusan hiu dalam ukuran besar dan kecil diperdagangnya. Hiu-hiu tersebut ditangkap di sekitar perairan Selat Malaka dan Samudera Hindia.
Hiu-hiu itu diperdagangkan begitu saja di pasar, tapi kebanyakan untuk hiu-hiu besar tak lagi memiliki sirip saat dijual, karena sudah dipotong atau dipisahkan langsung oleh nelayan untuk dikeringkan, karena hanya sirip hui kering perkilogram bisa mencapai jutaan rupiah.
Hiu meski dilindungi terus diburu
Sementara daging-daging hiu itu oleh masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar dan Kota Banda Aceh diolah menjadi masakan dengan beragam cara, ada gulai ikan hiu khas Aceh, ikan hiu masak kari. Ragam kuliner berbahan ikan hiu itu merupakan warisan turun temuru masyarakat Aceh, ada beragam resep tradisional Aceh terkait cara mengolah ikan hiu menjadi sajian yang menggugah selera, karena itu masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat pengkomsumsi hiu di Indonesia bersama masyarakat Tanah Toraja di Sulawesi Selatan.
CITES membolehkan perdagangan hiu secara terbatas
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna dan Flora (CITES) atau KOnverensi Internasional Perdagangan Satwa Liar memang membolehkan perdagangan beberapa jenis hiu, tapi dengan aturan yang ketat, agar ikan predator teratas di laut itu tidak terancam punah.
Hiu akan terancam punah jika terus diburu